Perbedaan UU no 22/ 1997 dan UU No 35/ 2009
Pengertian narkoba nan terdapat dalam Undang-Undang tentang narkoba No 35/ 2009 ialah suatu zat atau obat nan berasal dari tanaman ataupun nan bukan tanaman, buatan atau semisintesis, nan jika digunakan bisa menimbulkan penurunan kesadaran, mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan bisa menimbulkan imbas ketergantungan .
Barang Haram
Dari pengertian tersebut nampak jelas bahwa narkoba ialah zat atau obat nan berbahaya, tak hanya menimbulkan imbas ketergantungan namun dapat menyebabkan kematian. Oleh karenanya permasalah narkoba harus bisa diselesaikan. Salah satunya ialah memberlakukan UU tentang narkoba nan cocok dan sinkron dengan kondisi dan situasi kejahatan narkoba.
Kondisi dalam hal ini mengacu pada berbagai jenis obat-obatan nan mempunyai bahan pembuat nan semakin beragam. Seperti metilon atau daun kat nan ternyata belum ada dalam UU sebelumnya, kini pemerintah harus segera mengubah UU tentang narkoba tersebut.
Hampir semua negara, berusaha membasmi penanaman, peredaran dan pemakaian obat-obatan nan masuk jenis narkoba. Bahkan di antaranya ada nan membentuk tim-tim spesifik buat memberantas peredaran narkoba, salah satunya ialah Indonesia. Negara republik ini membentuk BNN nan sepak terjangnya mendapatkan perhatian luas. Perhatian ini bukan hanya sebab pekerjaannya nan menantang tetapi sebab orang-orang nan ditangkap terkadang bukan orang biasa.
Perubahan Undang-Undang Tentang Narkoba
Sebuah undang-undang berubah sebab adanya hal-hal nan dianggap sudah tak sinkron dan tak mewakili permasalah pada jamannya. Semakin banyaknya sindikat dan pengedar narkotika, dengan jaringan nan lebih besar dan semakin banyaknya korban pengguna narkoba menjadi salah satu alasan perubahan UU tentang narkoba No 22/ 1997.
UU tentang narkoba pada masa orde baru tak terlalu memfokuskan pada masalah narkoba. Pada saat itu terdapat padangan nan menganggap permasalah narkoba tak akan berkembang di Indonesia, sebab Indonesia ialah bangsa nan memegang dasar pancasaila dan beragama.
Pandangan tersebut membuat bangsa Indonsia tak siaga dan kurang sigap terhadap kemungkinan ancaman bahaya narkoba. Permasalahan narkoba mulai muncul kepermukaan pada pertengahan yahun 1997, bersamaan dengan krisis moneter.
Sepanjang tahun 1997, masalah narkoba semakin meningkat. Banyaknya gembong narkoba di tangkap. Bahkan di Indonesia pernah ditemukan loka memproduksi pembuatan pil ektasi. Semakin banyak orang nan menjadi pecandu, tak hanya dari kalangan masyarakat umum, banyak para pengusaha, pegawai, pejabat , artis, publik pigur nan terjerat kasus sebab menggunakan narkoba.
Ini menjadi indikasi kuat bahwa peredaran narkoba di luar sana masih dapat bergerak dengan leluasa. Hal ini nan menjadi salah satu alasan perlu adanya perubahan Undang-Undang narkoba No 22/ 1997.
Berdasarkan sidang Generik Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) mengeluarkan ketetapan MPR-Ri No VI / MPR/ 2002 pada tahun 2002, nan mengeluarkan rekomedasai kepada DPR-RI dan juga presiden buat merubah Undang-Undang No 22 tahun 1997 tentang narkoba. Kemudan pada tanggal 14 September 2009, pemerintahan dan DPR-RI mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, tentang narkoba
Perbedaan UU no 22/ 1997 dan UU No 35/ 2009
Adapun nan menjadi disparitas UU lama dan baru ini nampak terlihat dari tujuan pengaturan atau diberlakukannya Undang-Undang narkoba, berikut perbedaannya:
UU No 22, tahun 1997, bertujuan buat menjamin penyediaan narkotika nan digunakan buat kepentingan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkoba dan memberantas peredaran atau penjualan gelap narkotika.
UU No 35, tahun 2009, memiliki tujuan menjamin ketersediaan narkotika / narkoba nan digunakan buat pelayanan kesehatan atau buat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, buat melindungi, mencegah dan menyelamatkan warga negara Indonsia dari penyalahgunaan narkoba, memberantas peredaran gelap dan precursor narkoba, adanya agunan pengaturan dalam usaha rehabilitasi medis dan juga social bagi para pecandu.
Selain itu terdapat disparitas lainnya, beberapa diantaranya adalah:
1. Di dalam UU tentang naorkoba No 35, tahun 2009 memperluas atau memasukkan lagi penambahan jenis narkotika nan masuk ke dalam Golongan, yaitu dengan memindahkan psikotropika ke golongan I :
- golongan 1, diantaranya adalah: ekstasi, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, tanaman ganja dan masih banyak jenis lainnya.
- golongan II, diantaranya ialah Sabu.
2. Narkotika nan terdapat pada golongan I, tak digunakan buat kepentingan kesehatan manusia, sebab memiliki imbas nan berbahaya. Oleh sebab itu, jika ada organisasi kriminal / sindikat narkoba nan memproduksi, mengimpor dan melakukan pengedaran maka akan mendapatkan sanksi nan sangat berat. Jika berat jenis golongan I melebihi sampai 5 gram narkotika dalam bentuk bukan tanaman (heroin atau kokain) maka akan dijatuhi sanksi pidana wafat atau dengan pidana penjara.
3. Untuk pengguna dan pencandu narkoba, sanksi nan dijatuhkan lebih ringan. Jika korban (pecandu) masih berada dibawah umur dan sudah dilaporkan olej walinya buat mendapatkan rehabilitasi baik secara medis maupun social, sedangkan bagi pecandu nan sudah cukup umur, melakukan dua kalo perawatan rehabilitasi medis dengan loka rehabilitasi nan direkomendasikan oleh pemerintah. Mereka tak akan dituntut secara pidana, namun wajib buat mengikuti rehabilitasi baik secara medis maupun sosial.
Disamping itu UU No 35/ 2009 mewajibkan para pecandu narkoba buat melaporkan diri kepada rumah sakit, loka rehabilitasi medisi dan sosial, kepada pusat kesehatan masyarakat dan menjadi tanggung jawab orangtua atau keluarganya.
4. Perubahan nan signifikan dari UU nan lama dengan UU nan baru (UU No 35, tahun 2009) bahwa badan negara (BNN) Badan Narkotika nasional nan bergerak di sebuah forum non kementrian.diberi kewenangan penyelidikan terhadap tindakan pidana narkotika dan juga precursor narkoba. . BNN ialah organisasi vertical nan bergerak dari pusat sampai ke provinsi dan kota atau kabupaten, buat memberantas mafia atau sindikat penjualan narkoba beserta jaringannya nan meracuni hampir 3,6 juta orang Indonesia.
5. Penangkapan Menurut UU No 35 tahun 2009
Di dalam UU No 35 selain memuat hukum material, juga memuat hukum formal, salah satu diantaranya ialah masalah mengenai penangkapan. Masalah penangkapan termuat pada pasal 76, ketentuan khususnya diatur didalam KUHP. Jadi di dalam UU No 35 penyidik memiliki wewenang buat menangkap tersangka selama 6 hari sebelum ia ditahan.
6. UU No 35/ 2009 juga mewajibkan masyarakat buat turut serta berperan aktif dalam upaya/ pencegahan, pemberantasan narkoba. Masyarakat dijadikan seperti seorang penyelidik dengan cara mencari, memperoleh. Selain itu masyarakat juga diberi hak buat melakukan kegiatan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap para pecandu.
Dari gambaran sebagian poin nan terdapat pada Undang-Undang No 35/ 2009 terdapat kesamaan mengkriminalisasi orang, baik nan bertindak sebagai produsen, distributor, nan mengkonsumsi dan masyarakat, yaitu dengan mencantumkan ketentuan tindak pidana sebanyak 39 pasal.
Undang-Undang No 35/2009 juga menggunakan pendekatan secara pidana buat kegiatan supervisi dan mencegah tindakan penyalahgunaan penggunaan narkoba.
Kejahatan narkoba merupakan suatu kejahatan nan terorganisir menjadi ancaman terbesar bangsa. Imbas dari penggunaan narkoba bisa merusak dan masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan.
Terlebih lagi para gembong-gembong narkoba/ sindikat dan jaringannya tak peduli apakan korbannya dari generasi tua atau muda, kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak. Mereka hanya mencari laba baik bagi individu maupun bagi kelompok tanpa memikirkan efeknya. Dengan adanya UU tentang narkoba No 35/ 2009 bangsa Indonesia berharap agar permasalahan / kejahatan narkoba dapat terselesaikan.