Wallpapper dan Titik Jenuh Itu
Kebiasaan mengabadikan tokoh dalam karya seni ialah Norma antik prasejarah. Barangkali, sang tokoh tak akan mengira, dan tak memesan citra dirinya dapat disimpan dalam relief, stupa, lukisan, dan artefak simbolis lainnya, ini sebab nan dipertuan begitu istimewa di hati para pengagumnya.
Ada dalam diri manusia, sebut seorang psikoanalis Dr. Sigmund Freud, nan akan memindahkan cinta ke dalam bentuk dimensi nan dapat disentuh sebagai pemuas hasrat dirinya. Hal tersebut dinamakan Totemisme. Menurutnya, penyimbolan bentuk fisik manusia-manusia agung merupakan hasil dari pengalaman sensualitas atau seksualitas banyak orang kepada satu orang. Hal itu dibantah muridnya Carl Jung. Bukan seks, tapi salutisme. Hormat dan kagum belaka.
Well, apa pun ungkapan Mr. Freud, nan jelas tak semua orang horni melihat patung-patung kaku para pahlawan. Akan tetapi, barangkali berkecenderungan dengan orientasi seksual masing-masing. Bila diperlihatkan patung-patung karya Rodin tentu saja lama-lama akan mulas juga. Tentu saja, budaya mengabadikan tokoh ternama, bahkan melebih-lebihkan penggambaran dirinya telah lama dilakukan umat manusia.
Gambaran orang ternama dahulu secara tradisional diabadikan dalam patung perunggu, agar dapat dilihat banyak orang. Sejak adanya postcard versi fotografi pertama nan dicetak banyak, gambar para idola itu telah masuk dompet. Termasuk para artis. Dan, bukan hanya foto murni, homogen cetakan kertas foto saja. Yang berada di dompet itu sering kali gambar pin-up majalah, koran, poster iklan tempel, bahkan gambar nan ada pada produk sabun, sikat gigi, sereal, asalkan diwakili si seniman nan cantik dan ganteng, nan digunting kecil-kecil, dilipat-lipat, dan menjadi bahan fantasi dan inspirasi para fans pada para sosok idolanya. Very very sweeet banget.
Wallpapper dan Titik Jenuh Itu
Akan ada suatu masa, di mana para gambar wafat itu akan mengalami titik jenuh. Ketika revolusi sudah semakin digital. Citra para seniman telah semakin digital pula, melalui produk PC wallpapper nan lebih ekpresif, lebih stimulatif, dengan resolusi gambar nan lebih tajam, dan pelbagai bentukan rekayasa nan memanjakan mata para pengguna komputer. Pada akhirnya, format berganti paras itu, merasuki sisi dokumentasi, foldering , lantas kehilangan makna asalnya.
Padahal, fungsi dari pemuatan patung idola di beberapa titik kota, penyimpanan gambar fisik idola, posterizing iklan, buat memompa semangat seseorang dalam bertindak dan berperilaku. Proses penyimpanan dan pendokumentasian data idola, dapat diartikan bahwa khayalan para idola itu telah menjadi semakin personal, semakin individualistik, dan tidak dapat dibagi-bagi lagi. Tidak lagi menjadi sumber inspirasi bersama. Global wallpapper digital telah menjadikan idola seniman sebagai benda subtil dengan fungsi pemenuhan hasrat sensualitas sampai akhirnya habis sama sekali.
Ditambah dengan kehadiran artis-artis baru, nan tak jelas rekam jejak prestasi, langsung terkenal, langsung dibuatkan wallpapper, dan langsung tenggelam. Sehingga, nan dinikmati para pecinta wallpapper seniman demi inspirasi dan kebanggaan, hanyalah download dan delete . Dua proses nan bila manunggal menandakan kesia-siaan.