Perdagangan Karbon dan Kerusakan Hutan Indonesia
Berbicara mengenai kerusakan hutan Indonesia , penulis langsung teringat kepada sebuah petikan nan berasal dari Mahatma Gandhi.
“Sebenarnya, bumi ini mampu buat memenuhi kebutuhan hayati semua manusia di dunia. Tetapi, tak akan pernah sanggup buat memenuhi keserakahan dari satu manusia saja…” (Mahatma Gandhi)
Sungguh sebuah petikan nan mengandung makna begitu dalam, terlebih jika dikaitkan dengan peristiwa kerusakan hutan Indonesia nan hampir sebagian besar diakibatkan oleh kepentingan segelintir orang saja.
Memang, kekayaan alam Indonesia sangatlah banyak, bahkan dapat dikatakan tak terbatas. Jika pengelolaannya sudah tertangani dengan sangat baik, bukan mustahil Indonesia akan menjadi negara paling maju di dunia. Namun, jauh panggang dari api, alih-alih menjadi negara maju berkat kekayaan alamnya, kerusakan hutan Indonesia saja pun sudah banyak terjadi.
Memang, pemanasan dunia nan diikuti dengan perubahan iklim sangat terkait dengan terjadinya kerusakan hutan Indonesia.Namun, tentu saja bukan faktor alam nan berpengaruh sangat signifikan terhadap kerusakan hutan Indonesia, melainkansumber daya manusia nan tinggal di Indonesianya.
Coba bayangkan, dalam kurun waktu 50 tahun, Indonesia sudah kehilangan hampir separuh wilayah hutannya. Kerusakan hutan Indonesia merupakan kerusakan hutan terburuk nan terjadi di dunia. Padahal, seperti nan kita tahu, hutan Indonesia sangat diharapkan agar dapat jadi paru-paru dunia, seperti halnya hutan Amazone di Amerika Selatan.
yang jadi pertanyaan, apa nan menyebabkan kerusakan hutan Indonesia dapat sebegitu parahnya dibanding nan dialami negara lain? Lantas, bagaimana kita menyikapi kenyataan kerusakan hutan Indonesia nan sudah sangat memprihatinkan ini? Sedikitnya, dua pertanyaan tadi akan terjawab dengan teori nan akan penulis jelaskan berikut.
Teori Kelangkaan dan Kerusakan Hutan Indonesia
Sedikitnya, ada dua teori pendekatan nan dapat digunakan buat mencermati kerusakan hutan Indonesia, dan kerusakan lingkungan secara umum. Pertama, teori kelangkaan ( environmental scarcity ). Teori ini mempercayai kerusakan hutan Indonesia terjadi sebab adanya konflik dominasi sumber daya. Peningkatan jumlah penduduk nan pesat merupakan salah satu faktor nan turut memberi andil dalam konflik dominasi sumber daya alam nan terbarukan ( renewable resources ) ini.
Dampak dari pertumbuhan penduduk nan teramat pesat, secara logis akan meningkatkan permintaan kebutuhan manusia terhadap alam. Implikasinya, hal ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya nan ada. Karenanya, situasi ini akan memicu pendayagunaan nan hiperbola terhadap sumber daya alam.
Teori pertama ini mudah dipatahkan. Karena kalau hanya buat memenuhi kebutuhan hayati manusia secara wajar, maka hutan Indonesia masih sangat mampu. Kerusakan hutan Indonesia tak akan sedemikian parahnya, hanya sebab penduduk sekitar hutan menebangi hutan sekadar buat membuat rumah atau berladang.
Ya, ada kepentingan lain nan menyebabkan kerusakan hutanIndonesia ini dapat sedemikian parah. Suatu kepentingan terselubung dari segelintir manusia tak bertanggung jawab nan berdiam dan berlindung di bawah langit negara nan sedang dirusaknya. Rasanya, penulis tak perlu menyebut nama aktor primer kerusakan hutan Indonesia, sebab mungkin semua masyarakat Indonesia sudah mengetahui siapa pelaku utamanya.
Jika kita melihat berita, kerusakan hutan Indonesia nan disebabkan oleh alam seperti kemarau panjang dan kebakaran masih jauh lebih sedikit dibanding dengan kerusakan hutan Indonesia nan diakibatkan oleh kasus pembalakan liar atau illegal logging nan selalu bersembunyi di balik istilah pembangunan.
Pembangunan seperti apa nan sebanrnya diarapkan? Pembangunan nan akan menyengsarakan jutaan rakyat lainnya? Pembangunan nan hanya akan memberikan rasa kenyang pada perut sendiri? Atau pembangunan nan seperti apa? Jelas-jelas nan terlihat oleh mata penduduk lainnya ialah pengrusakan.
Teori Politik Ekologi dan Kerusakan Hutan Indonesia
Baiklah, kita tinggalkan dahulu teori pertama nan memang selalu mengundang reaksi nan berapi-api. Selanjutnya, mari coba kita lihat teori kedua, yaitu teori politik ekologi. Teori ini menerangkan bahwa kerusakan hutan Indonesia tak dapat dilepaskan dari aspek kepentingan politik-ekonomi. Cara pandang ini mencoba mendudukkan masalah kerusakan hutan Indonesia dengan memperhitungkan aspek kekuasaan.
Ketajaman teori ini bisa kita lihat pada cara memahamikerusakan hutan Indonesia nan disebabkan oleh praktik kekuasaan dan pasar. Kerusakan hutan Indonesia, dapat jadi sebab adanya kekuatan pasar dunia nan tak terlihat secara langsung.
Lebih jelasnya, mari kita lihat bagaimana bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia berlangsung. Pada mulanya, pengusaha (nasional ataupun asing) mengajukan permohonan kepada kepala daerah buat dapat memperoleh izin membuka huma perkebunankelapa sawit. Luas areal nan diminta pun tak tanggung-tanggung, dapat puluhan, bahkan ratusan ribu hektar.
Tentu saja, pemerintah tak memiliki kebun seluas itu. Maka, biasanya ditunjuklah hutan buat dijadikan sebagai areal perkebunan kelapa sawit. Dapat dibayangkan, secara nasional, ada berapa juta hektar hutan nan harus dialihfungsikan setiap tahunnya. Hal semacam ini biasa terjadi di Sumatera. Sedangkan, buat Kalimantan dan Papua lebih disebabkan oleh bisnis pertambangan.
Jelaslah bukan penduduk sekitar hutan nan jadi penyebab kerusakan hutan Indonesia. Namun, kepentingan ekonomiglobal nan berkolaborasi dengan penguasa lokallah nan jadi biang penyebabnya. Sungguh sudah menjadi misteri generik nan klasik, bukan?
Penguasan lokal dan pemerintah daerah sebenarnya ialah orang hebat, mereka ialah orang-orang nan diberikanamanah buat mnyejahterakan masyarakat nan berada di wilayahnya, Namun, kekuasaan uang nan mampu memperbudak siapa pun telah sukses menjadikan penguasa layaknya orang bodoh.
Mereka lupa akan amanah nan dibebankan masyarakat kepada dirinya. Mereka berpikiran pendek dan tak pernah memikirkandampak nan akan dirasakat masyarakat akibat kerusakan hutan Indonesia nan ditimbulkannya. Kalaupun adabencana nan terjadi sebab imbas samping perbuatannya, mereka tinggal pergi ke luar negeri sambil ongkang-ongkang kaki melihat pemberitaan mengenai masyarakatnya nan menderita sebab ulahnya.
Perdagangan Karbon dan Kerusakan Hutan Indonesia
Akhirnya, kerusakan hutan Indonesia dan di negara-negara lain di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, menjadi perhatian serius global internasional. Hasil dari Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada Desember 2005 mulai merancang langkah guna mengurangi emisi gas karbon nan menyebabkan pemanasan global. Fungsi hutan sebagai penyerap emisi gas karbon menjadi penting.
Protokol Kyoto nan dilangsungkan di Nairobi pada November 2006, memutuskan agar negara-negara industri maju harus membayarkompensasi buat menyerap emisi gas karbon nan sudah menyerupai rumah kaca nan menyelimuti atmosfer bumi. Keharusan ini kemudian dikenal dengan istilah perdagangan karbon.
Keputusan ini didasarkan pada anggapan bahwa konservasi terhadaphutan tropis sangat penting. Karena, keberadaan hutan tropis akan sanggup menghambat pemanasan dunia dan membersihkan udara. Untuk memahami perdagangan karbon itu dilakukan, dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini:
Sebutlah ada sebuah negara maju nan tak mampu mereduksiemisi gas karbon di negaranya sebab tak memiliki areal buat dijadikan hutan lagi. Alasan ini tak dapat membebaskannya dari kewajiban membuat hutan. Alternatifnya, ia harus membuat hutan di negara lain, dengan cara membiayai negara lain itu buat membuat dan memelihara hutan.
Sebenarnya, dari perdagangan karbon ini, Indonesia memiliki peluang buat dapat mendapatkan miliaran dollar tanpa harus menebang hutan sehingga tak akan ada lagi kerusakan hutan Indonesia. Semoga para penguasa menjadi sedikit lebih pintar dengan adanya perdagangan karbon ini.