Konflik Menyangkut UU Ketenagakerjaan
Sebelum kita membahas pentingnya UU Ketenagakerjaan bagi pekerja, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dan fungsi UU Ketenagakerjaan ini. UU Ketenagakerjaan ialah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Menurut undang-undang ini, ketenagakerjaan itu ialah segala sesuatu nan berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Menurut undang-undang ini pula, UU Ketenagakerjaan memiliki pengertian sebagai peraturan-peraturan nan mengatur tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Artinya ialah UU Ketenagakerjaan itu ialah peraturan nan dibuat oleh pemerintah buat mengatur segala sesuatu baik hak dan kewajiban seluruh penduduk nan berprofesi sebagai tenaga kerja baik sebelum seseorang tersebut masuk ke dalam global kerja, selama ia menjadi pekerja, dan sesudah masa bekerjanya selesai.
Berdasarkan pengertian UU Ketenagakerjaan ini, akhirnya juga ditetapkan pula fungsi UU Ketenagakerjaan bagi para tenaga kerja. Fungsi UU Ketenagakerjaan ini menurut Profesor Mochtar Kusumaatmadja ialah sebagai wahana pembaharuan masyarakat nan menyalurkan arah kegiatan manusia ke arah nan sinkron dengan apa nan dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan.
Maksudnya ialah adanya UU Ketenagakerjaan ini, bisa digunakan sebagai pengaturan hak dan kewajiban para tenaga kerja dalam global kerja agar bisa mencapai tujuan pembangunan nan diwujudkan dari seluruh bidang pekerjaan nan dilakukan oleh para tenaga kerja tersebut.
Peran UU Ketenagakerjaan dalam Masyarakat
Sayangnya, UU Ketenagakerjaan di dalam masyarakat belum berfungsi secara maksimal sehingga masih banyak para tenaga kerja nan tak mengetahui tentang UU Ketenagakerjaan ini. Hal ini bisa terlihat pada praktik tenaga kerja outsourching di mana hak para tenaga kerja nan bekerja di bawah naungan suatu perusahaan outsourching tak sinkron dengan UU Ketenagakerjaan nan berlaku saat ini di negara kita.
Para tenaga kerja nan mendapatkan pekerjaan melalui perusahaan outsourching tak mendapatkan haknya sebagai tenaga kerja seperti nan sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Hak-hak tersebut misalnya ialah pengaturan pembayaran bagi para tenaga kerja nan bekerja di bawah naungan perusahaan outsourching ini berada di bawah baku gaji nan sudah ditetapkan di dalam UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, hak-hak lainnya seperti pengaturan setelah masa bekerja selesai juga tak didapatkan oleh para tenaga kerja outsourching . Para tenaga kerja outsourching biasanya bekerja dengan sistem kontrak di mana ketika kontrak selesai maka tak ada uang pesangon sebagai balas jasa atas apa nan dikerjakan oleh para tenaga kerja tersebut di dalam suatu perusahaan.
Masih banyak lagi contoh tak berfungsinya UU Ketenagakerjaan di dalam masyarakat seperti sistem penggajian bagi para tenaga kerja nan masih banyak mendapatkan gaji di bawah baku UMR. Penggajian nan di bawah baku UMR ini menyebabkan banyak para tenaga kerja nan hayati di bawah baku masyarakat normal lainnya sebab ketidakmampuan mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal ini menyebabkan angka kemiskinan di negara kita masih tetap tinggi dan kesenjangan sosial pun masih banyak terjadi di dalam masyarakat kita.
Seharusnya dengan adanya UU Ketenagakerjaan ini, bisa mengatur dan meningkatkan tingkat hayati masyarakat pekerja kita menjadi lebih baik. Kenyataannya, sebab masih banyaknya masyarakat nan tak mengetahui UU Ketenagakerjaan ini membuat masyarakat menerima saja apa nan sudah ditetapkan oleh suatu perusahaan atau instansi di mana mereka bekerja hanya sebagai syarat agar mereka bisa diterima sebagai pekerja di perusahaan atau instansi tersebut.
Penerapan UU Ketenagakerjaan nan dipraktikkan saat ini kebanyakkan berpatokan pada sistem ketenagakerjaan peninggalan zaman penjajahan di mana para tenaga kerja diposisikan pada posisi nan tak menguntungkan. Para pekerja tersebut diharuskan bekerja dengan semaksimal mungkin tanpa mendapatkan imbalan dan pemenuhan hak nan memadai.
Padahal, adanya UU Ketenagakerjaan dimaksudkan agar bisa meningkatkan peran serta para tenaga kerja dalam pembangunan sosial melalui perindustrian nan memang memegang peranan krusial dalam pembangunan nasional secara keseluruhan. UU Ketenagakerjaan ini juga dimaksudkan buat meningkatkan produktivitas para tenaga kerjanya dalam mencapai tujuan perusahaan, meningkatkan interaksi nan serasi antara para sesama tenaga kerja dan pemilik perusahaan sehingga menghasilkan interaksi kerja nan nyaman dan aman serta menciptakan ketenangan dalam bekerja. Selain itu, dengan adanya UU Ketenagakerjaan ini juga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan para tenaga kerja beserta keluarganya nan menuju masyarakat nan maju dan sejahtera.
Konflik Menyangkut UU Ketenagakerjaan
Kehadiran UU Ketenagakerjaan di dalam global perindustrian terutama UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 membuat para pengusaha nan ada di Indonesia sempat melakukan protes. Para pengusaha tersebut menilai bahwa UU Ketenagakerjaan ini terlalu memihak kepada kepentingan buruh tanpa membuat pasal spesifik nan berguna buat pertimbangan aplikasi keputusan berdasarkan kondisi tertentu.
Peraturan nan diprotes oleh banyak pengusaha di Indonesia nan terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu undang-undang tentang masalah pesangon bagi para karyawan nan terkena PHK atau Pemutusan Interaksi Kerja. Bahkan, para pekerja nan mengalami pemutusan interaksi kerja dampak pelanggaran nan dilakukan oleh pekerja itu sendiri juga masih berhak buat mendapatkan pesangon.
Dengan adanya UU Ketenagakerjaan nan mengatur masalah pesangon termasuk pesangon bagi karyawan nan bermasalah membuat para pengusaha keberatan. Menurut para pengusaha tersebut, masyarakat kita masih belum bisa diberikan hak seperti itu sebab begitu melihat peluang adanya kesempatan buat mendapatkan pesangon tersebut, maka akan ada lebih banyak lagi pekerja nan secara sengaja melakukan pelanggaran atau perbuatan kriminal di dalam perusahaan dengan tujuan akan mendapatkan pesangon dari perusahaan nan besarnya cukup besar dibandingkan dengan gaji nan seharusnya mereka dapatkan setiap bulan.
Bisa dibayangkan apa nan akan terjadi pada perusahaan tersebut jika di dalam suatu perusahaan memiliki seribu orang karyawan dan seribu orang karyawan tersebut melakukan pelanggaran secara bersamaan dengan asa akan langsung mendapatkan pesangon, maka sudah bisa dipastikan perusahaan tersebut akan langsung runtuh dalam hal keuangannya sebab harus membayarkan seluruh pesangon bagi para pekerjanya nan melakukan pemberontakan tersebut.
Selain masalah pesangon ini, masih ada lagi peraturan di dalam UU Ketenagakerjaan nan sangat memihak kepentingan para pekerja dalam hal mengenai mogok kerja, mengenai Pemutusan Interaksi Kerja serta keharusan buat pemberian kesejahteraan bagi seluruh para pekerja termasuk keluarga nan menjadi tanggungan para pekerja tersebut.
Karena banyaknya pasal-pasal di dalam UU Ketenagakerjaan nan terlalu memihak pada hak para pekerja, maka banyak perusahaan nan memilih jalan keluar dengan memberlakukan sistem kontrak bagi para pekerjanya buat menghindari salah satu pasal UU Ketenagakerjaan nan mengatur tentang pemberian pesangon tersebut. Dengan sistem kontrak tersebut, perusahaan tak memiliki kewajiban buat memberikan pesangon kepada para pekerjanya baik pada para pekerja nan bermasalah dan harus diberhentikan sebelum masa kontrak selesai maupun pada para pekerja nan telah menyelesaikan masa kontraknya dengan baik.
Masalah ini pula nan akhirnya membuat lahirnya perusahaan-perusahaan outsourching atau perusahaan penyedia jasa tenaga kerja nan menjadi penyalur para tenaga kerja kontrak pada perusahaan-perusahaan industri nan membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak.
Masalah UU Ketenagakerjaan ini memang menjadi masalah nan cukup kompleks selama di satu pihak para pengusaha dirugikan dengan adanya UU Ketenagakerjaan ini serta banyaknya investor nan akhirnya batal menginvestasikan uangnya di perusahaan-perusahaan di dalam negeri sebab takut akan terjadinya pembayaran pesangon dalam jumlah besar. Sementara, para pekerja merasa UU Ketenagakerjaan ini tak memiliki fungsi apa pun bagi kehidupan mereka sehingga mereka tak perlu mengetahui hak-hak dan kewajiban para pekerja di dalam UU Ketenagakerjaan tersebut.