Undang-Undang Anti Terorisme di Indonesia
Undang-Undang Anti Terorisme dibuat setelah sekian lama aksi teror terjadi. Kini, terorisme jadi momok bagi peradaban modern. Majemuk aksi kekerasan dari sekelompok orang tersebut kian meresahkan. Semakin hari, aksi-aksi nan mereka lakukan makin sistematis dan menelan korban jiwa. Nah, Undang-Undang Anti Terorisme ini dibuat buat mencegah terorisme.
Negara nan jadi sasaran primer para teroris, tidak tinggal diam. Berbagai aksi balasan maupun pencegahan (kontra teroris) pun dilakukan. Baik itu berupa pemberatasan terorisme dengan aksi militer maupun pembuatan undang-undang nan memayungi aksi penumpasan teroris.
Keberadaan Undang-Undang Anti Terorisme
Sejak peristiwa Agresi 11 September 2001 atau nine eleven (9/11), terorisme jadi wacana dunia. Semua negara mulai merapatkan barisan dalam menempatkan terorisme sebagai musuh bersama. Amerika jadi pemimpin dalam gerakan melawan terorisme.
Setiap unit militer dari negara mulai mendapat pelatihan spesifik dalam melumpuhkan pelaku teror. Dibentuknya majemuk unit spesifik anti teror jadi contoh bagaimana seriusnya usaha tersebut. Termasuk perumusan dan ratifikasi undang-undang anti teror.
Adanya Undang-Undang Anti Terorisme dianggap penting. Karena, pola teror dari para pelaku kejahatan humanisme itu makin sulit dijerat dengan undang-undang biasa. Diperlukan suatu anggaran khusus nan mengupas bagaimana melumpuhkan kejahatan 'khusus' tersebut. Yaitu kejahatan nan bukan lagi sekadar berbentuk kekerasan destruktif biasa, tapi sudah berwajah 'siluman' dan brutal dalam memangsa para korbannya. Siapa saja bisa menjadi korban. Terlepas apakah ia ada kaitan langsung atau tak dengan tujuan para penebar teror. Inilah sosok orisinil dari terorisme.
Namun, di sini timbul masalah baru. Apakah setiap pelaku nan meneror suatu negara langsung dapat disebut terorisme? Bagaimana jika negara itu sendiri nan meneror rakyatnya atau rakyat negara lain ( state terorism )? Lalu, bentuk tindakan seperti apa nan tepat bagi para pelaku teror tanpa mencederai hak-hak asasi mereka?
Masih banyak lagi pertanyaan lain nan membuat perumusan dan penerapan undang-undang anti teror seakan jadi 'mati gaya'. Jalan panjang dan berliku pun mesti ditempuh. Karena memang tidak mudah menyamakan persepsi apa dan bagaimana itu terorisme. Termasuk juga dalam menyamakan sikap dan tindakan dalam melumpuhkannya.
Berikut ini dua contoh undang-undang anti teror nan diberlakukan oleh negara dan dinamika permasalahannya. Undang-undang ini ada nan mendapat dukungan penuh dari warga negaranya, tapi ada juga nan ditolak dan dianggap mengancam Hak Asasi Manusia atau warga negara.
Undang-Undang Anti Terorisme di Amerika
Ditabraknya dua menara kembar (WTC) oleh para pelaku teror, jadi momentum untuk pemerintah Amerika dalam meneriakkan perang internasional terhadap terorisme. Tak tanggung-tanggung Amerika dengan presidennya ketika itu, George Bush, membagi global jadi dua kubu. Memihak Amerika dalam memerangi terorisme atau berada di kubu berseberangan memihak para pelaku teror.
Terorisme diangkat jadi isu dunia dan musuh internasional dengan Amerika jadi poros penggerak penumpasannya. Undang-undang anti teror segera dirancang sebagai master plan undang-undang terorisme internasional. Acuan bagi negara lainnya.
Kontan saja, kebijakan hitam putih ini membuat negara-negara di global terbelah menjadi dua kubu atau pandangan. Yang memihak Amerika segera menyuarakan keberpihakannya. Seperti nan dilakukan oleh Inggris. Tony Blair, Perdana Menteri Inggris segera mengeluarkan Undang-Undang Anti Terrorism, Crime and Security Act pada Desember 2001.
Begitu juga Filipina dengan Anti Terrorism Bil -nya. Negara-negara sekutu Amerika di Eropa pun melakukan tindakan serupa. Dukungan terhadap Amerika telah dikumandangkan.
Sebaliknya, negara-negara di kawasan Amerika Latin pada umumnya tak menanggapi serius seruan dari Amerika tersebut. Hal ini wajar-wajar saja mengingat kebijakan politik dan ideologi mereka bertolak belakang dengan negeri Paman Sam itu. Bahkan, beberapa negera seperti Kuba, Peru dan Venezuela menganggap seruan buat memerangi terorisme hanya bentuk akal-akalan dari Amerika.
Dibuatnya undang-undang anti teror dan kemudian diikuti dengan tindakan militer buat memberantas teroris, dinilai merupakan bentuk penegasan penguasaan politik dari Amerika kepada negara lain. Undang-undang digunakan sebagai topeng dari insting imperialisme modern Amerika.
Perang terhadap terorisme nan dipimpin oleh Amerika ini, awalnya mendapat sambutan meriah dari banyak negara. Mereka saling manunggal dalam memberantas teroris. Mulai dari perumusan atau meratifikasi undang-undang anti teroris Amerika, hingga membentuk dan mengirimkan pasukan milter buat memberangus keberadaan teroris.
Invasi ke Afghanistan sepanjang Oktober 2001, digelar buat melumpuhkan kekuatan Taliban dan al-Qaeda nan dituding sebagai pelaku dari tragedi 9/11. Ini ialah bentuk usaha Amerika dan para sekutunya dalam melakukan perang terhadap terorisme internasional. Menumpas mereka dan mengembalikan perdamaian dunia.
Namun, ketika beberapa fakta terkait perang di Irak dan Afghanistan sarat dengan kepentingan Amerika Serikat, membuat banyak dukungan jadi mengendur. Perlakuan tak manusiawi terhadap para tawanan perang di Guantanamo, dan fakta-fakta terbaru berkaitan dengan tragedi 9/11, juga membuat opini masyarakat internasional meragukan niat baik ( good will ) dari Amerika.
Benarkah negara adikuasa itu memerangi teroris buat kepentingan dunia, dan bukan sebaliknya? Sejauh mana pula kebenaran dari peristiwa 9/11 hingga membuat peta perpolitikan global hingga kini jadi berubah 180 derajat? Termasuk bagaimana keberadaan undang-undang anti teror itu mampu melindungi hak asasi dari manusia, khususnya para pelaku teror? Karenanya menjadi masuk akal bila ada sebagian kelompok nan melihat undang-undang anti teror dibuat buat melindungi kepentingan Amerika, dan bukan buat kepentingan bersama masyarakat dunia.
Warga negara Amerika pun, mulai banyak nan meragukan keefektifan dari undang-undang anti teror tersebut. Karena dalam praktiknya, banyak warga masyarakat nan ditangkap dan dikenai tuduhan sebagai teroris. Padahal, mereka sama sekali bukan pelaku teror.
Kasus salah tangkap ini pun semakin diperparah dengan kebijakan nan cenderung rasis terhadap kelompok masyarakat tertentu, yaitu para penganut agama Islam di Amerika. Mereka jadi target kebencian tak berdasar dan tindakan diskriminatif dari sebagian warga Amerika. Hak asasi mereka terancam.
Undang-Undang Anti Terorisme di Indonesia
Banyaknya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan undang-undang anti teror, juga terjadi di Indonesia. Pada mulanya, Indonesia tak terlalu dipusingkan dengan masalah terorisme internasional.
Namun, itu semua berubah ketika pada tanggal 12 Oktober 2002, terjadi peledakan bom di di Jalan Legian, Kuta, Bali. Tercatat, peristiwa nan kemudian dikenal dengan nama Tragedi Bali itu, merupakan tindakan teror brutal nan menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Mereka semuanya ialah para korban dari warga sipil.
Pada tahun-tahun berikutnya, Indonesia kembali jadi target terorisme internasional nan bernama Jamaah Islamiah (JI). Serentetan ledakan bom di loka publik (pub dan hotel), serta rumah ibadah (gereja) jadi isyarat bahwa diperlukan tindakan tegas dari negara (kepolisian). Maka, dibuatlah undang-undang anti terorisme nan kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan satuan spesifik anti teror (Densus 88).
Keberadaan Densus 88 bentukan undang-undang anti teror ini ternyata efektif dalam menumpas dan menghentikan mobilitas laju teroris nan telah meresahkan masyarakat Indonesia. Beberapa pelaku teror sukses ditangkap dan kemudian dihukum mati. Tapi lebih banyak nan dibunuh di loka ketika terjadi pengerebekan oleh Densus 88.
Banyaknya pelaku teror nan tewas di tempat, ternyata memancing permasalahan baru. Sebagian masyarakat menganggap negara telah hiperbola dan sewenang-wenang dalam bertindak. Ini karena, para pelaku teror tersebut tak lagi melalui proses pengadilan. Hak asasi mereka sebagai manusia dinilai telah diabaikan oleh negara hanya sebab mereka dicurigai sebagai teroris.
Tuntutan agar dilakukan peninjauan kembali keberadaan undang-undang anti terorisme pun semakin menguat. Ini supaya para pelaku nan dicurigai sebagai teroris tak diperlakukan semena-mena dan hak asasi mereka tetap dihargai.