Rangkaian Puitis
Kata puitis sebenarnya afiksasi dari kata puisi, sedangkan puisi bermakna sebagai aktualisasi diri bahasa nan kaya dan penuh daya pikat secara struktur fisik. Dalam puisi, konsentrasi bahasa terasa lebih intens dibandingkan dengan prosa dan drama sebab dalam penciptaannya, puisi ialah hasil dari pemilihan kata dan pemadatan bahasa (Waluyo, 1987:2). Oleh sebab itu, sebelum membuat kalimat puitis, kita juga harus memahami terlebih dahulu seperti apa kata-kata nan dianggap puitis.
Menjadi puitis dalam makna nan sebenarnya tidaklah mudah, meskipun hampir kebanyakan orang menganggap bahwa kata-kata puitis ialah kata-kata dengan pesona mendayu-dayu nan mengutarakan perasaan sehingga orang nan mendengar merasakan ungkapan perasaan tersebut.
Di satu pihak, pesona dalam mengungkapkan perasaan tersebut memang ada benarnya. Akan tetapi, di lain pihak, puitis juga tetap harus menggunakan ungkapan pikiran nan sinkron dengan realita sebab puisi merupakan pemadatan kata-kata, bukan sekadar pengumpulan kata-kata tanpa makna. Kata-kata atau kalimat puitis harus selalu menampakkan maknanya, baik makna secara tersurat maupun tersirat. Tanpa makna di balik semua kata-katanya, tak ada pula esensi puitis nan hendak ditampilkan.
Kontemplasi Puitis
Dalam menulis kata-kata puitis, kita dituntut buat memahami apa saja nan seharusnya dilakukan buat mendapatkan pemadatan kata nan bermakna sekaligus memuat estetika di dalamnya. Pertama, buat menjadi puitis, seseorang harus melakukan kontemplasi, baik secara spesifik maupun tidak. Dengan kontemplasi seperti ini, seseorang menjadi tahu hal apa nan hendak diungkapkannya, ide, dan amanat apa nan akan disampaikannya pada si pendengar kata-kata atau kalimat puitis tersebut.
Kontemplasi ialah perenungan nan biasa dilakukan seseorang buat mendapatkan inspirasi. Dengan kontemplasi inilah seseorang dapat menemukan hal-hal apa saja nan membuat sesuatu menjadi puitis. Meskipun pada kenyataannya, kontemplasi sendiri merupakan perbuatan nan puitis sebab melibatkan emosi, perasaan, dan pemikiran.
Sementara itu, puisi atau kalimat-kalimat puitis merupakan hasil dari perbuatan puitis tersebut. Oleh sebab itu, kontemplasi biasanya dilakukan di loka nan sepi, damai, dan nyaman agar pelaku kontemplasi bisa menyerap energi puitis nan berasal dari alam.
Lantas hal kedua nan mesti dilakukan buat memperoleh kegunaan kontemplasi puitis tersebut ialah menyimpan memori mengenai hasil kontemplasi. Memperoleh hasil kontemplasi memang cukup mudah sebab seseorang tinggal merasakan dan memikirkan apa nan ingin mereka tuangkan. Akan tetapi, sporadis sekali inspirasi tersebut dapat tersimpan dengan baik dalam memori kita sehingga pada masa kapan pun kita dapat membuka arsip konsep puitis tersebut.
Hal ini dapat dilakukan dengan menyimpan kata-kata krusial nan keluar dari jiwa dan pikiran kita. Sebagai contoh, saat melakukan kontemplasi di sebuah pantai nan sepi pengunjung serta nuansanya masih asri, kita akan mendapat kesan puitis bahwa pantai tersebut indah.
Namun, estetika tersebut tak dapat hanya dituliskan dalam kata ‘indah’ atau dalam kalimat “ pantai itu indah ”. Jika seseorang menulis seperti itu, maka hanya kesan kontemplasi saja nan ditangkap, sedangkan konsep puitisnya tak terekam dalam memorinya.
Dengan kondisi pantai nan indah, kita dapat menangkap semua pencitraan nan muncul disana sebagai bentuk keindahan. Untuk mengatakan bahwa pantai itu indah, kita juga dapat membuatnya menjadi kalimat puitis seperti “ ombak itu meliuk serupa gelombang bebas tidak bertirani ”.
Walaupun di dalam kalimat tersebut tak terdapat diksi ‘indah’, namun orang nan mendengarkan kalimat puitis itu dapat langsung menebak bahwa nan diceritakan oleh sang pembuat puisi ialah sebuah pantai nan nuansanya latif sebab hampir semua orang nan mendengarkan pencitraan tersebut akan berasumsi bahwa bagaimana pun keadaan sebuah pantai, akan tetap latif di mata mereka.
Pengetahuan dan kepekaan inilah nan diperlukan oleh seseorang buat dapat membuat kata-kata atau kalimat puitis . Terlebih lagi, jika ingin membuat kata-kata puitis tentang cinta, seseorang harus mengetahui dengan niscaya bagaimana cinta itu sebenarnya sehingga citraan puitis nan dibuatnya pun dapat sampai kepada telinga dan hati pendengarnya.
Rangkaian Puitis
Selain melakukan sebuah kontemplasi, kita juga harus dapat merangkai kejadian puitis nan didapatkan dari hasil perenungan itu. Kalimat puitis tak akan dapat menjadi sebuah kalimat nan utuh tanpa adanya rangkaian nan baik. Sebagai contoh, buat membuat kalimat puitis mengenai cinta, seseorang dapat saja langsung menuliskan kalimat berikut ini.
" Saat melihat wajahmu, kurasakan cinta nan begitu dalam ."
Kalimat tersebut mungkin saja dianggap puitis oleh sebagian orang, tetapi sebenarnya kalimat tersebut lebih tepat disebut gombal daripada puitis. Gombal dan puitis ialah dua hal nan berbeda. Gombal ialah kata-kata nan digunakan buat rayuan (mayoritas kebenarannya tak dapat dipastikan), sedangkan puitis lebih tepat disebut fenomena nan diungkapkan dengan indah.
Dengan kata lain, kata-kata puitis juga harus mengandung fenomena nan faktual. Setidaknya, saat menyatakan bahwa seseorang nan kita kagumi itu memang cantik atau tampan dapat dinyatakan dalam bentuk nan berbeda.
Untuk membuat kata-kata puitis tentang cinta, kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi cinta. Meskipun definisi cinta sangatlah beragam, namun kita dapat membuat definisi sendiri secara tepat menurut majemuk surat keterangan nan sinkron dengan pemikiran kita.
" Cinta ialah anugerah nan sangat menggembirakan bagi semua orang. Akan tetapi, cinta juga dapat membuat orang lupa diri sehingga terjebak dalam renungan kesedihan ."
Kalimat puitis tersebut sebenarnya dapat dijadikan definisi dan dapat pula dijadikan prolog saat hendak menyampaikan maksud hati kepada versus jenis nan kita cintai. Hal tersebut dimaksudkan agar orang nan mendengar kata-kata puitis dari kita, mengetahui apa nan kita maksud tersebut. Karena frame berpikir tiap orang berbeda-beda, maka pada tataran definisi inilah paradigma dua orang nan berbeda akan disamakan sehingga akan terjalin interaksi pikiran dan perasaan nan tak simpang siur.
Rangkaian puitis harus dimulai dengan memori nan didapatkan setelah kita melakukan kontemplasi. Setelah itu, suarakan memori tersebut dalam satu kata, lalu buatlah citraan nan serupa dengan satu kata tersebut.
Sebagai contoh, buat membuat rangkaian puitis mengenai cinta, kita akan mendapatkan memori bahwa cinta itu buta. Lantas, memori tersebut dapat kita suarakan dalam satu kata, yakni ‘gelap’. Maka, kita dapat membuat kalimat puitis berikut.
" Rasa tanpa nama itu telah membuat hati dan pikiranku menjadi gelap buat mengungkapkan bahwa cinta itu buta ."
Pada proses selanjutnya, kita tinggal memilih diksi nan tepat buat dapat membuat rangkaian puitis menjadi latif sekaligus bermakna. Interaksi antara diksi satu dengan diksi nan lain haruslah serasi, jangan sampai terjadi ketimpangan pada rangkaian sebab hal itu akan membuat rangkaian menjadi tak puitis.
Misalnya saja, saat hendak menuliskan kata-kata puitis bertema alam mengenai estetika laut, tiba-tiba kita menggunakan diksi nan bertema teknologi seperti contoh berikut ini.
" Lembah hijau menatap gelombang cahaya di mataku. Seperti gelombang tranversal nan diajarkan guruku padaku ."
Sebagai interaksi simile, gelombang cahaya pada mata tersebut mungkin dapat saja disetarakan dengan gelombang tranversal. Akan tetapi, kedua frasa tersebut tak akan menjadi puitis sebab pada termin awal, kita memilih frasa lembah hijau sebagai pembuka rangkaian puitis.
Oleh sebab itu, sebelum membuat kalimat puitis, kita juga harus memiliki wawasan nan luas mengenai hal nan hendak ditulis. Dengan wawasan tesrebut, kita juga dapat menghubungkan fenomena dengan estetika nan tertangkap oleh indera kita sebagai makhluk. Cara seperti itulah nan efektif buat membuat kalimat puitis dapat menjadi latif sekaligus bermakna.
Selamat membuat kalimat puitis!