Tegangan dan Pembayangan
Sebuah cerita disusun dari unsur bahasa, mulai dari kata, frasa, dan kalimat. Bunyi ujaran nan dilambangkan dengan sebuah fonem mendukung pemaknaan sebagai bagian dari sebuah cerita atau teks terinci atau narasi (narative teks). Teks terinci ditemui pada karya aliran prosa, baik fiksi (cerpen, novelet, novel, dan roman) maupun nonfiksi, seperti biografi atau memoar.
Paparan dalam narative teks biasanya memuat interaksi kausalitas atau karena akibat. Interaksi kausalitas nan merekatkan antarkata dan antarkalimat itu membangun sebuah plot atau alur. Berikut ini kami kutip contoh teks terinci atau narative teks dalam biografi dari buku Memoar Seorang Eks Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan Mohamad Bondan (2011: 62):
Karena tak mendapat tambahan bahan makanan, keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan. Setelah semua barang muatan disusun kembali dalam perahu, kami tinggalkan loka itu ketika kepala arus baru saja lewat. Waktu kira-kira pukul 09.00 pagi. Soal waktu serba kira-kira saja, karena tidak seorang pun di antara kami nan mempunyai jam tangan.
Seharian penuh kami berlayar. Terkadang mengikuti tepi kali sebelah kiri, terkadang pindah ke kanan. Hari mulai gelap, kami merapat ke sebelah kanan sungai. Ketika aku mengurusi “dapur” bersama Mul Susur, dua teman nan lain keluar sebentar. Kembalinya mereka membawa seekor kura-kura beserta telur-telurnya. Kami pun berpesta besar malam itu. Tidur jadi nyenyak. Tak ada gangguan binatang buas selain nyamuk.
Dari dua paragraf di atas mengisahkan seorang narator (pencerita) nan mengisahkan pengalaman hidupnya bersama beberapa kawannya (karena itu si narator menggunakan kata ganti “kami”) saat dibuang ke Tanah Merah di Boven Digul, Papua. Mereka sebagai tahanan politik Pemerintah Hindia Belanda. Interaksi kausalitas terlihat dari “tidak mendapat tambahan bahan makanan” sehingga harus “melanjutkan perjalanan”.
Lalu, cerita dilanjutkan dengan informasi tentang pelayaran nan terpaksa dilakukan hingga seharian. Juga, bagaimana si narator berusaha buat dapat melaju di atas sungai dengan perahunya dan menyesuaikan kekuatan arus sungai. Walhasil, bahtera kadang harus dilayarkan di tepian kiri sungai dan kadang berpindah ke sebelah tepi kanan sungai.
Demikian pula informasi tentang mencari kura-kura beserta telurnya buat dikonsumsi. Interaksi kausalitasnya dengan informasi sebelumnya nan menyebutkan mereka “tidak mendapat bahan makanan”.
Makna Konotatif
Narative teks dibangun dengan mengoptimalkan gaya bahasa. Pemakaian gaya bahasa membangun makna konotatif. Makna konotatif memperkaya wawasan dan khayalan pembaca sehingga merangsang lebih jauh buat menikmati cerita
Menurut Gorys Keraf (2007) makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, ataupun makna evaluatif, ialah suatu jenis makna ketika stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Terjadinya makna konotatif sebab penulis ingin melibatkan pembaca ikut aktif menafsirkan atau mengapresisasi cerita.
Pemakaian gaya bahasa atau style, yaitu keahlian atau kemampuan dalam menulis dengan kata-kata indah. Pemakaian gaya bahasa acap dikaitkan dengan diksi, yaitu ketepatan dalam pemilihan kata, frasa, atau kalusa eksklusif buat menghadapi konteks atau situasi tertentu. Gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup sebuah wacana, juga naada nan implisit di alik sebuah wacana.
Makna konotatif bisa dibangun dari sinonim terutama nan memiliki makna konotatif, misal “mati” bersinonim dengan “meninggal, wafat, mangkat, gugur, berpulang” dari makna denotasi memiliki kecenderungan yaitu kematian atau ajal nan dialami nan bersangkutan. Namun, dengan pemakaian “gugur, mangkat, dan wafat” menimbulkan konotasi lain, misalnya menimbulkan nilai atau kesan keluhuran atau kebesaran pada nan mengalami kematian.
Gaya bahasa sangat fungsional buat membangun tegangan dan pembayangan. Terutama gaya bahasa nan berkaitan dengan narative teks . Misalnya, klimaks, antiklimaks, paralelisme, antithesis, dan repetisi. Dapat pula digunakan gaya bahasa nan berkaitan dengan pemaknaan, seperti hiperbola, paradoks, ataupun eufemisme. Selain itu, masih ada pemakaian gaya bahasa sebagai kiasan, misalnya metafora, alegori, personifikasi, ironi, sinisme ataupun sarkasme.
Tegangan dan Pembayangan
Sebuah cerita akan memiliki kekuatan bila didukung unsur tegangan ( suspence ) dan pembayangan ( foreshadowing ). Karena, menurut teoritikus sastra, Rene Wellek dan Austin Warren (1977), bukan hasil akhir (ending) nan penting, melainkan kejadiannya.
Kejadian merupakan unsur terinci nan lebih kecil sebagai bagian dari narative teks. Jadi, nan dituntut teknik penceritaannya, narative teks-nya. Unsur pembayangan dalam cerita diilustrasikan dengan isyarat, firasat, ataupun tanda lainnya nan dimaknai sebagai tanda-tanda kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa.
Burung gagak misalnya, dimunculkan buat menggambarkan kemungkinan terjadinya kematian. Pemakaian unsur tegangan dan pembayangan merangsang pembaca buat berpikir atau berimajinasi dan juga melibatkan emosinya buat terpancing.
Jadi, timbul perasaan cemas, was-was, ataupun risi terhadap protagonis (tokoh utama) dalam cerita nan digambarkan pada kemungkinan-kemungkinannya mengalami bencana, apes, atau celaka. Sebaliknya, tegangan akan menggugah emosi pembaca merasa gemas hingga jengkel terhadap berlawanan (tokoh nan menjadi versus tokoh utama).
Pramoedya Ananta Toer banyak mendayagunakan unsur tegangan dan pembayangan. Salah satu novel Pramoedya dari tetraloginya, yaitu Bumi Manusia dibuka dengan tegangan sedari awal, sebagai berikut:
Orang memanggil aku: Minke. Namaku sendiri…. Sementara ini tidak perlu kusebutkan. Bukan sebab gila mysteri. Telah saya timbang: belum perlu sahih tampilkan diri di hadapan mata orang lain.
Sebagai protagonis, si saya menyembunyikan bukti diri lengkapnya atau jati diri nan sebenarnya. Menyembunyikan buat sementara buat diungkapkan di belakang cerita. Teknik tegangan tersebut menarik. Pembaca akan penasaran. Siapakah Minke sebenarnya? Pembaca akan melanjutkan pembacaan hingga terbuka bukti diri atau jati diri si saya nan akrab dipanggil Minke.
Mochtar Lubis dalam novelnya Jalan Tak Ada Ujung juga mendayagunakan tegangan dan pembayangan secara optimal. Mochtar mengeksplorasi rasa takut nan menjadi karakter tokoh protagonis Guru Isa. Ia dilawankan dengan Hazil nan ditampilkan sebagai sosok nan berani.
Namun, pada akhir cerita terjadi pembalikan karakter. Ketakutan Guru Isa nan telah mencapai puncak akhirnya bisa dikuasai dan justru tumbuh keberanian. Sementara, Hazil nan terlihat banyak tampil sebagai sosok nan memiliki keberanian ternyata secara individual ia penakut.
Pada akhir cerita pun diungkap bahwa keberanian Hazil lantaran ia berada bersama-sama pejuang kemerdekaan. Hazil berani sebab berada di tengah-tengah mitra seperjuangan sehingga timbul rasa aman. Sebaliknya, ketika dalam keadaan sendiri, rasa takut menguasai dirinya.
Alur (Plot)
Gambaran dari sejumlah kejadian nan membangun narative teks bisa berfungsi menjelaskan karakter tokoh, perubahan atau perkembangan tabiat atau sifatnya. Selain itu, pengarang juga bisa memanfaatkan pemakaian alur sorot balik ( flashback ) nan mengilustrasikan kejadian nan dialami tokoh cerita di masa sebelumnya.
Jadi, flashback berfungsi membandingkan terjadinya perubahan atau perkembangan karakter tokoh cerita. Selain flashback (alur mundur) dan linear (alur maju atau kronologis), ada pula alur terbuka atau sebaliknya tertutup nan diletakkan di akhir cerita.
Bahkan, NH Dini pernah menyajikan alur ganda (paralel) dalam novel Pada Sebuah Kapal. Bagian pertama alur cerita mengisahkan tokoh penari dan bagian kedua alur cerita mengilustrasikan kehidupan dan pandangan global dari tokoh pelaut.
Pada alur tertutup memberi kesan pengarang sudah mengakhiri cerita dan tak memberikan kemungkinan penafsiran lebih luas dan menulis lanjutan cerita tersebut. Sementara itu, pada alur terbuka masih dimungkinkan pengarang melanjutkan penulisan cerita menjadi trilogi atau tetralogi. Atau, setidak-tidaknya pengarang memberi kebebasan penafsiran lebih luas atas ceritanya kepada pembaca.
Misalnya, novel Larung karya Ayu Utami diakhiri dengan alur terbuka, mengilustrasikan tokoh cerita Larung nan diculik sekelompok orang dengan menyeberangi selat dan di tengah samudera di saat dini hari terdengar letusan pistol. Letusan itu mengusik pembaca sebab Ayu Utami tak menjelaskan siapakah nan kena tembakan dampak letusan itu.
Memahami Paragraf dalam Narative Teks
Tujuan membaca ialah memahami ide atau gagasan pokok holistik cerita. Namun, dalam proses mencapai pemahaman secara menyeluruh isi cerita, diperlukan pemahaman atas ide atau gagasan primer pada tiap-tiap paragraf.
Dalam teks terinci atau narative teks, ide atau gagasan pada tiap-tiap paragraf dapat berupa peristiwa, pemikiran atau pernyataan tokoh cerita, atau narasi pengarang. Bagian narative teks nan lainnya ialah gagasan penjelas.
Dari kutipan paragraf pertama di atas (buku Memoar Seorang Eks Digulis: Totalitas Perjuangan Mohamad Bondan), bisa diketahui ide atau gagasan primer berupa peristiwa disertai pemikiran narator.
Peristiwa nan diilustrasikan dalam paragraph tersebut ialah melanjutkan pelayaran dari pukul 09.00 sampai 14.00. Sebagai ide penjelas diilustrasikan kehabisan makanan dan ikhtiarnya mencari kura-kura dan telurnya.