Kumpulan Puisi-puisi Chairil Anwar

Kumpulan Puisi-puisi Chairil Anwar

Siapa nan tak mengenal sosok Chairil Anwar, seorang pujangga angkatan 45 dalam sejarah sastra Indonesia. Sajak-sajak selalu manjadi kajian anak-anak sekolah dari mulai SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Puisi-puisinya terus abadi sepanjang masa dan terus dipejari dari mulai struktur isi, bentuk, pemilihan diksi, sampai pada interpretasi makna.

Chairil Anwar dilahirkan 26 Juli 1922 di Medan dan meninggal global di Jakarta pada usia 27 tahun, pada 23 April 1949 di Jakarta. Kumpulan puisi Chairil Anwar berjudul Kerikil Tajam dan nan Terhempas , dan Yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949) dan Tiga Menguak Takdir (1950), kumpulan puisi nan terakhir merupakan antologi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin.

Sajak-sajak Chairil Anwar juga banyak diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Burton Raffel diantaranya dalam Selected Poems of Chairil Anwar (New York, 1962) dan The Complete Poerty and Prose of Cairil Anwar (New York, 1970). Puisi Chairil Anwar juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerma oleh Walter Karwath dengan judul Feur und Asche (Wina, 1978)



Kumpulan Puisi-puisi Chairil Anwar

Kumpulan puisi-puisi Chairil Anwar, meskipun tak banyak, tetapi sarat dengan makna kemanusiaan. Puisi pertamanya nan berjudul nisan ialah kisah tentang kematian neneknya.

Nisan

Bukan kematian menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutabu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertahta

(Oktober, 1942)

Dalam puisi itu, kita bisa berempati tentang kekalahan manusia dalam menghadapi maut.

Puisi-puisi Chairil Anwar juga banyak bicara tentang pemberontakan (lihat puisi 'Aku'), tentang kekhusuan dalam berdoa pada Tuhan (lihat Puisi 'Doa'), tentang cintanya nan latif ( lihat puisi 'Cintaku jauh di Pulau') tentang semangat nan nan berapi-api dalam semangat patriotik (lihat puisi Krawang-Bekasi), tentang kepedihan hati, tentang kegagalan cinta, dan tema-tema nan lain nan berkaitan dengan pembelaan terhadap manusia dan kemanusian.

Aku

Kalau sampai Waktuku

Kumau tidak seorang pun kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya nan terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bias kubawa berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan saya akan lebih tak perduli

Aku mau hayati seribu tahun lagi

Maret, 1943

Puisi di atas menggambarkan semangat dan pemberontakan terhadap sesuatu di luar dirinya dan dia ingin hayati bebas tanpa terikat anggaran layaknya binatang jalang nan bias mengekspresikan dirinya seluas mungkin.

Doa

Tuhanku dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

Memngikat kau penuh seluruh

Cahyamu panas suci

Tinggal kerdip lilin di kelas sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintumu saya mengetuk

Aku tidak bias berpaling

Puisi tersebut termasuk dalam genre realisme nan mengungkapkan curahan hati kepada Tuhan dengan mengunakan ungkapan-ungkapan apa adanya tak hiperbola atau lebay . Metafora nan digunakan pun selalu ada kaitannya dengan kelogisan maksud penyair. Misalnya, "Kerdip lilin di kelas sunyi," hal itu melambangan sesuatu nan sangat berarti.

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda nan lincah nan tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian

ada di sisiku selama menjaga daerah wafat ini

Aku suka pada mereka nan berani hidup

Aku suka pada mereka nan masuk menemu malam

Malam nan berwangi mimpi, terlucut debu......

Waktu jalan. Aku tak tahu apa nasib waktu !

(1948)

MALAM

Mulai kelam

belum buntu malam

kami masih berjaga

--Thermopylae?-

- jagal tak dikenal ? -

tapi nanti

sebelum siang membentang

kami sudah tenggelam hilang

KRAWANG-BEKASI

Kami nan kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak dapat teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah nan tak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak

Kami wafat muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa nan kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum dapat memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi ialah kepunyaanmu

Kaulah lagi nan tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang buat kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tak buat apa-apa,

Kami tak tahu, kami tak lagi dapat berkata

Kaulah sekarang nan berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini

tuan hayati kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Versus banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat nan tidak dapat mati.

MAJU

Ini barisan tidak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hayati harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

(Februari 1943)

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

dipanggang diatas apimu, digarami lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada kedap di sisimu

Aku sekarang barah saya sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan saya satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

AKU

Kalau sampai waktuku

'Ku mau tidak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan dapat kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan saya akan lebih tak perduli

Aku mau hayati seribu tahun lagi

Maret 1943

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan nan dulu lagi

Bak bunga sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang saya dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali

Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin saya enggan berbagi.

Maret 1943

HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat-mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.

DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu saya mengetuk

aku tak dapat berpaling

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari rona pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu bunga mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita Mati datang tak membelah...

SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat: Sri Ajati

Ini kali tak ada nan mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, bahtera tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan dapat terdekap

1946

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole untuk si pacar.

angin membantu, bahari terang, tapi terasa

aku tak 'kan sampai padanya.

Di air nan tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

"Tujukan bahtera ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu nan bersama 'kan merapuh!

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau 'ku mati, dia wafat iseng sendiri.

1946

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah nan membikin dingin,

Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?

Sekali ini saya terlalu sangat bisa jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

menggigir juga ruang di mana dia nan kuingin,

malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan saya dapat lagi lepaskan kisah baru padamu;

tapi kini hanya tangan nan bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949