Motif Alam Ukiran Kalimantan
Kiranya, tidak ada nan menyangkal bahwa ukiran Kalimantan (ukiran suku Dayak) punya estetika setara dengan ukiran Bali, Jepara, atau ukiran lain di Indonesia. Motif etnik nan menjadi daya tariknya, membuat ukiran tersebut jadi primadona para wisatawan luar maupun dalam negeri. Ukiran Kalimantan menunjukkan kepada global bagaimana etnis Kalimantan nan memiliki karakteristik khas tersendiri ini, mampu melahirkan karya ukir nan unik dengan kualitas bisa diandalkan. Kekayaan hias ragam tradisional ini memang semakin mengukuhkan bahwa seni tradisional memiliki estetika nan tidak dapat dicapai oleh seni modern. Kesederhanaan dan ikatan spiritual seni tradisional - seperti juga seni ukiran Kalimantan - melahirkan karya dalam bentuk dan ragama nan berbeda.
Tidak percaya? Cobalah meluangkan waktu pergi berwisata ke beberapa kota di Kalimantan, seperti kota-kota di Kalimantan Timur atau Barat. Niscaya Anda akan menjumpai berbagai jenis ukiran dengan motif lokal nan mempesona. Setiap lekuk dan ragama ukiran timbul tenggelam dalam setiap karya seni ukir Kalimantan ini, terdapat torehan nan berbeda bila dibanding dengan ukiran Jepara bahkan ukiran tradisonal suku Asmat. Semua itu terjadi sebab beda latar belakang, kultur dan tujuan membuat karya ukir tersebut.
Ukiran tersebut biasanya dijadikan penghias pada berbagai barang khas Kalimantan, yaitu mandau (parang suku Dayak), sumpitan, tameng khas Dayak, peti ulin, gasing, majemuk cendera mata, patung, meja, kursi tamu, bingkai cermin, ranjang, kusen dan daun pintu, serta banyak lagi nan lainnya.
Bila anda termasuk penggemar kerajinan tradisional berkualitas baik dengan karakteristik khas tersendiri, sebaiknya memang memiliki seni ukiran Kalimantan ini. Selain ragam hias nan unik, bahan bakunya juga dari kayu nan baik, sehingga selain tahan lama juga memunculkan ukiran nan halus.
Bahan Standar Kayu Ulin
Ukiran Kalimantan dibuat dari kayu ulin, yakni homogen kayu nan tumbuh di hutan-hutan Kalimantan. Sifat kayu ini hampir sama dengan kayu jati di pulau Jawa, bahkan lebih kuat, keras dan tahan lama hingga dapat mencapai ratusan tahun. Kayu ulin cenderung tenggelam jika dimasukan ke dalam air. Kayu ulin kini termasuk langka. Tak lagi mudah ditemukan di hutan tropis Kalimantan.
Dengan berbahankan kayu ulin, dibentuklah benda nan hendak dibuat. Apakah itu meja, kursi atau berbagai jenis barang lainnya. Setelah jadi, barulah benda tersebut diukir dengan motif ukiran Dayak nan elegan dan memiliki taraf kedetailan luar biasa. Soal detail dari ukiran khas Dayak ini akan mengingatkan orang pada keragaman ukiran suku Asmat. Tapi tentu saja seperti telah disebutkan sebelumnya, masing-masing ukiran ini berbeda baik dalam detail, rupa ragam hias, pewarnaan dan penyelesaian akhir atau finishingnya.
Suatu barang nan dibuat dengan ukiran Kalimantan dapat dibilang sebagai sebuah karya seni berkualitas tinggi. Harga jualnya pun luar biasa mahal. Tak hanya sebab berbahankan kayu ulin nan terbilang langka, seni ukiran Kalimantan juga mendongkrak nilai jualnya. Sekarang ini, satu set meja tamu beserta kursi dapat mencapai puluhan bahkan ratusan juta.
Ukiran Kalimantan sebenarnya dapat saja dibuat tak menggunakan kayu ulin. Jenis kayu seperti kayu jati, kapur, atau meranti, juga dapat dijadikan bahan ukiran. Hanya saja, harga jualnya tidak akan setinggi jika kayu ulin nan dijadikan bahan ukiran.
Bahkan, sebagian pencinta karya seni etnik menganggap ukiran Dayak nan tak berbahankan kayu ulin, bukanlah ukiran nan "asli". Keberadaan kayu ulin sudah identik dengan keotentikan suatu ukiran Kalimantan. Kerekatan antara ukiran Dayak nan khas dengan kayu ulin, seperti dua sisi dalam sekeping uang logam, sama-sama krusial dan tak dapat dipisahkan. Itulah nan menjadi pemahaman pasar baik pasar domestik maupun pasar internasional. Berbicara ukiran Kalimatan maka akan langsung tertuju pada ragam hias dari seni ukir Dayak. Dan berbicara ukiran Dayak maka akan langsung tertuju pada ragam ukiran nan dipahatkan pada kayu ulin.
Tapi tentu saja buat urusan komersial, dapat saja dibuat ukiran Kalimantan pada kayu lain selain kayu ulin, sehingga dapat dijual dengan harga lebih murah. Dengan cara seperti ini, maka melestarikan ukiran Kalimantan khas suku Dayak, dapat tercapai. Semakin banyak nan menyimpan barang-barang dan pernak-pernik berukirkan ukiran Dayak, akan semakin terjaga dan lestarinya jenis ukiran tradisional nan merupakan kekayaan tidak terhingga dari bumi Indonesia ini. Kebijakan inilah nan harus dilakukan apabila menginginkan ukiran Kalimantan tetap lestari, selain hanya memikirkan dan berpatokan pada otentisitias ukiran Kalimantan nan berbahan standar kayu ulin.
Motif Alam Ukiran Kalimantan
Karena suku Dayak merupakan masyarakat nan hayati di hutan-hutan Kalimantan, motif ukirannya pun sering mengambil bentuk alam, yaitu tumbuhan, satwa, serta berbagai simbol kepercayaan mereka. Mulai dari arsitektur bangunan rumah, peralatan rumah tangga, hingga perangkat kesenian termasuk ukiran, mengambil pola atau motif alam. Motif ukiran nan biasa dibuat berbentuk pohon, bunga (bunga anggrek), dan majemuk jenis hewan. Namun sebab lingkungan suku Dayak nan hayati di hutan Kalimantan itu sendiri merupakan satu karakteristik khas, akan melahirkan pengamatan nan khas pula, sehingga ketika diaplikaskan dalam ukiran, akan sangat terlihat bagaimana khasnya ukiran Kalimantan ini. Misalnya saja ketika mengambil ukiran bentuk kembang anggrek, tentu akan berbeda antara ukiran kembang anggrek dari Jepara, Bali maupun ukiran Kalimantan atau khas suku Dayak. Semua itu dapat terjadi sebab masing-masing pengukir berada pada alam dan lingkungan nan berbeda, nan melahirkan cara pandang dan penyerapan informasi dari alam sekeliling nan berbeda pula.
Motif-motif ini dikerjakan dengan penuh ketukanan dan keuletan. Awalnya motif tersebut digambar dalam lembaran karton, kemudian dijiplak ke permukaan kayu ulin nan akan diukir.
Bermodalkan pisau pahatan dan palu kayu, tangan-tangan terampil para pengukir akan memahat kerasnya kayu ulin hingga tercipta pola etnik Kalimantan. Menghasilkan seni ukir nan latif dan sangat unik. Karena keunikannya itu, masyarakat nan awam dengan ukiran akan dengan mudah mengenali motif ukiran Kalimantan. Seperti juga ketika disodorkan ke hadapannya ukiran dari Jepara maupun ukiran suku Asmat. Ada nan berbeda dalam sekali pandang saja. Disparitas itu mengacu kepada disparitas masing-masing suku baik secara spiritual, kepercayaan kepada makhluk gaib, cara pandang dalam kehidupan sehari-hari dan menyatunya unsur-unsur emosional dengan lingkungan sekitar. Begitu pula motivasi ketika membuat ragam hias dalam bentuk ukiran tersebut.
Ketika seorang suku Asmat mengukir pada sebilah tongkat dengan tujuan sebagai bentuk sesembahan buat para dewa misalnya, tentu akan melahirkan ukiran nan lain bila ketika mengukirnya sudah diniatkan sebagai peralatan biasa. Hal nan sama terjadi pula dengan ukiran Kalimantan dari suku Dayak ini. Tujuan dan latar belakang kehidupan suku Dayak nan khas dan mandiri, melahirkan corak hias nan khas dan berdikari pula bila dibanding dengan ukiran dari suku lain. Inilah satu kekayaan nan semestinya tetap dijagar agar lestari.