Dunia Sinetron dan Perfilman Indonesia

Dunia Sinetron dan Perfilman Indonesia

Baim pernah mempunyai buku harian. Baim mana? Siapa lagi kalau bukan Baim nan kecil. Bukan Baim wong tetap Baim. Ia pernah bermain di banyak sinetron dan salah satunya ialah Buku Harian Baim nan sempat ditayangkan di SCTV. Jikalau Anda penyuka Raffi Ahmad maka dalam sinetron ini Anda juga akan menemukannya.

Sejenak aku menebak kalau sinetron Buku Harian Baim ini ialah angin segar dalam global sinetron Indonesia. Akan tetapi, sinetron ini ternyata sama halnya dengan sinetron-sinetron lain. Sinetron nan mengumbar kesedihan dan penyakit-penyakit seperti dalam film korea dan jepang nan sedang marak.

Saya salah dalam melihat Buku Harian baim. Katakanlah seperti A Moment to Remember atau One Litre of Tears nan menjual penyakit-penyakit mematikan. Tidak salah, tetapi ini menambah deret panjang sinetron Indonesia nan meniru. Hal ini juga terjadi dalam Buku Harian Baim.



Sekilas Sinopsis Buku Harian Baim

Hidup Baim awalnya terasa sempurna. Bocah nan berusia tiga tahun itu mempunyai orang tua nan sangat baik hati. Orang-orang nan ada disekitarnya sangat sayang kepada Baim. Hal ini lantaran ia selalu menghadirkan kebahagiaan. Namun, tidak ada manusia nan sempurna. Ternyata Baim mengidap suatu penyakit.

Ia memiliki penyakit spinocerebellar degeneration. Ini ialah suatu penyakit kekurangan cairan di otak. Penyakit ini bisa menyebabkan kelumpuhan. Ibu Baim, Aila hanya dapat meratapi keadaan putranya tersebut. Maklum saja, hayati Baim sepertinya tinggal menghitung hari.

Meskipun begitu, Aila tetap membolehkan Baim bermain. Walaupun keadaannya semakin memburuk. Suatu hari anak ini harus dibawa ke rumah sakit. Keadaannya semakin parah. Baim nan besoknya akan berulang tahun tak mau diajak ke dokter.

Lalu Aila membujuknya. Ia mengatakan bahwa ulang tahun Baim dapat dirayakan di rumah sakit. Di sisi lain, Baim mengutarakan keheranannya dengan polos sebab dia harus terus menerus menemui dokter. Padahal teman-temannya hanya sesekali menemui dokter.

Setelah terdiam beberapa saat, Aila menjelaskan bahwa kedatangan Baim ke rumah sakit bisa membuat pasien lain di rumah sakit itu bahagia. Semakin hari, Baim semakin curiga kalau ada sesuatu dalam dirinya nan tak beres. Lalu Baim meminta Ariel buat mencari tahu apa masalah nan sebenarnya terjadi.

Namun, Ariel lebih memilih mengunci mulutnya rapat-rapat setelah ia tahu penyakit nan diderita oleh Baim. Misteri ini pun lama-kelamaan ketahuan juga oleh orang tuanya. Akhirnya, Baim mengetahui tentang penyakit nan diidapnya.

Baim lalu minta tolong kepada Ariel buat mencarikan sebuah buku harian. Maksudnya agar Baim dapat menuliskan apa-apa ia alami sehari-hari hingga ajalnya menjemput. Lalu Baim menulis di buku itu. Hal ini jadi asal mula kenapa nama sinetron ini berjudul Buku Harian Baim. Dalam sinetron ini memang benar-benar ada buku hariannya, bukan hanya metafora.

Masalah nan terjadi dalam Buku Harian Baim bukan hanya itu. Ada konflik baru nan mengatakan ternyata Aila bukan ibu kandung baim. Ibu kandung baim datang dan menyalahkan Aila dengan tiba-tiba mengenai penyakit nan diidap oleh Baim. Selanjutnya ia bersikeras mengambil alih hal asuh Baim kembali padanya.

Kejadian ini kemudian memperumit masalah kehidupan baim nan sedang mengalami sakit itu. Sampai di sini sinopsis ini kemudian sudah terbaca bagaimana kesedihan nan sama terjadi pada film-film drama Korea atau Jepang. Namun, dibumbui dengan konflik-konflik dan intrik keluarga khas sinetron Indonesia. Ini jelas bukan angin segar bagi global sinetron di Indonesia. Ini hanya sekedar saduran dan saduran.



Dunia Sinetron dan Perfilman Indonesia

Dunia sinetron Indonesia tentunya sangat stagnan dalam variasi tontonan. Sedikit angin segar muncul ketika ada sinetron Kepompong nan mengingatkan kita pada sinetron-sinetron awal tahun 2000 nan banyak mengangkat tentang remaja.

Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Keremajaan nan semakin lama dipaksa buat lebih cepat dewasa makin banyak ditayangkan sebagai sinetron. Sinetron baru nan menurut aku tak bermutu ialah sinetron Puith Abu-Abu. Sinetron nan bercerita tentang percintaan-percintaan nan semakin serius sampai anak sekelas Taman Kanak-kanak pun digambarkan berpacaran hingga menikah.

Peran anak itu hanya sebatas itu. Coba bayangkan apa nan akan dibawa pikiran anak itu sampai dewasa. Sinetron di Indosiar lebih lagi. Hal ini seringkali disindir dalam Stand Up Comedy. Bukan seperti Buku Harian Baim atau sinetron jiplakan korea dan jepang lainnya.

Tapi lebih konyol, memasukkan makhluk-makhluk nan tak pernah ada. Bayangkan sebuah fragmen seorang anak nan disuruh seorang ayah dibelikan rokok oleh ayahnya, anak itu keluar rumah dan memanggil elangnya. Elangnya bertujuan buat mengantar anak itu beli rokok.

Entah parkir di mana elang itu tapi nan jelas ini benar-benar absurd. Entah Indosiar nan masih menganut sinetron-sinetron Rahasia Gunung Merapi atau apa. Tapi ini lebih seperti stasiun televisi nan kesetanan akan hobinya menjiplak dan memaksa script writer mereka terus menerus memproduksi sinetro-sinetron tak bermutu nan tambah banyak.

Saya kira rupanya cukup. Film layar lebar nan menyampah seperti horor-seks-komedi, aku pikir sudah cukup menyampahi layar lebar. Maka tidak perlulah layar kaca ikut-ikutan memproduksi sinetron nan seperti itu.

Seperti Tali Pocong Perawan atau Pocong Ngesot, Suster Keramas nan lebih tidak jelas lagi. Kuntilanak Beranak, Setannya Kok Masih Ada dan nan paling parah Kuntilanak Kesurupan! Ada apa ini? Setan nan kesurupan? Apa nan menghinggapi global kreatif audio visual di layar kaca indonesia?

Kejengahan ini tentunya bukan tidak ada protes hanya saja sepertinya memang stasiun televisi Indonesia saja nan bebal dengan hal-hal seperti ini. Baim nan bermain dalam Buku Harian Baim sepertinya malah jadi korban dalam hal pendayagunaan anak. Baim di sini hanya ditukarposisikan dengan Chelsea Olivia nan sinetronnya meniru One Litre of Tears dan berjalanlah ceritanya seperti apa nan ada di sinopsis tadi.

Begitulah nan terjadi. Kebaharuan dari sinetron di Indonesia hanya sebatas pergantian pemain dan perubahan bumbu cerita. Tinggal ditunggu saja akan ada film Baim hayati kembali atau Baim kesurupan dan tiba-tiba hayati sendiri. Mari kembali ke global nyata.

Indonesia termasuk global ketiga nan keadaannya masih amburadul. Layar kaca dalam hal ini mempunyai peran dalam proses mencerdaskan masyarakat. Setidaknya menyadarkan hal-hal krusial nan harus dikembangkan oleh masyarakat sendiri.

Baik dalam hal penyelesaian masalah atau lainnya. Namun ini tidak terjadi. Padahal televisi dapat menjadi metode baru melalui program-program televisi dalam berbagai bentuk. Entah itu sinetron, film, program anak seperti permainan bahkan hingga iklan produk atau iklan layanan masyarakat.

Tapi apa daya, kita hanya konsumen dan komunikasi nan terjadi hanya satu arah. Lalu apa nan dapat kita lakukan? Hal terdekat nan dapat kita lakukan ialah melakukan media literasi. Bagaimana itu? Media literasi ialah salah satu upaya dalam mencerdaskan masyarakat dalam hal konsumsi media.

Penonton nan pasif dan tak dapat memprotes hingga mengubah acara lebih baik menyebabkan penonton hanya sebagai objek. Hal ini akan menimbulkan imbas bola salju nan akan menimbulkan protes-protes lebih banyak terkait dengan tontonan-tontonan nan tak bermutu.

Kembali ke Buku Harian Baim. Sinetron ini baik dikonsumsi. Akan tetapi alur cerita nan menjual kesedihan terus menerus akan membuat anak menjadi terlalu melankolis. Hipotesa nan terburu-buru ini sebaiknya harus lebih diteliti lagi.

Namun hipotesa ini tidak lain terkait dengan penampakan nan dimunculkan oleh tanda-tanda dari petanda nan bernama televisi tersebut. Buku Harian Baim setidaknya memberikan penghasilan pada Baim dan orang tuanya buat hayati lebih layak melalui gaji nan di dapat.

Maka dari itu, kita juga sebaiknya mengatakan pada Baim, kalau dia besar nanti proteslah mengenai mutu program televisi nan ada seperti sekarang. Tuntutlah mereka nak!