Kejanggalan dalam Film "Pengkhianatan G 30 S/PKI"
Tak dapat dipungkiri kalau selera penonton turut menentukan tema film. Suatu saat tema cinta digemari masyarakat, maka film nan diproduksi pun sekitar itu. Sekarang, tema-tema cinta nan bergelayut di langit khayal lambat laun mulai ditinggalkan.
Tema-tema cinta seperti itu dianggap telah basi dan patut dikremasi saja. Sekarang justru tema cinta nan berpijak pada empiris keseharian mulai digemari. Kenyataanya masyarakat menyukai film nan lebih riil.
Film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi mendapat sambutan bagus dari penonton, sebab diyakini sebagai empiris kehidupan nan diangkat ke global film. Begitu pun dengan film nan diangkat dari biografi pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan diharapan mendapatkan sambutan bagus.
Tak cuma di kumpulan film Indonesia , film produksi Amerika seperti The Killing Field, First Blood, Rambo dan film fenomenal, Titanic , mendapat sambutan hangat dari penonton global sebab dianggap diangkat dari realita, sekalipun tak sepenuhnya benar. Setidaknya film-film tersebut tidak terlepas dari unsur propaganda nan mengandung kebohongan.
Film laga nan temanya sederhana dan berkutat dalam empiris kehidupan juga mendapat perhatian penonton. Hanya saja jika dibanding dengan produk impor, produksi film laga kita masih ketinggalan.
Film laga kita tidak dapat mengungguli The Ways of the Dragon, Drunk Monkey atau Mission Kill . Baik dari ketajaman adegan ataupun dari kewajaran perkelahian. Keseruan film laga kita baru sampai berdarah-darah dan menampilkan kesadisan.
Lebih parah lagi buat film horor. Produksi film horor kita masih berkutat dalam penampakan sosok hantu cantik. Padahal kita pernah mencatat film horor nan baik seperti Mirror . Sayang, tidak diikuti produk-produk lain. Kita tidak dapat mengungguli Friday The 13th, Exosist atau Poltergeist nan berhasil mencekam penonton.
Kita Kalah Teknik?
Ini memang cerita lama. Tapi bukan satu-satunya alasan. Sepertinya taraf seriusan dan logika kreativitaslah nan jadi biang keladinya. Jangan dulu bicara masalah modal. Perusahaan-perusahaan eksklusif dengan sistem kerjasama, banyak nan berminat menggelontorkan dana buat produksi film, sejauh dapat mempertanggungjawabkan hasilnya.
Ihwal logika dalam berkreasi, memang sering dianggap hal remeh. Padahal penonton kita sudah cerdas dan dapat memilih mana produk nan baik dan tak baik. Bermunculannya pengarah adegan muda hasil belajar di luar pun belum mampu menularkan bagaimana mempergunakan dan menjaga logika dalam berkarya.
Barangkali kita harus tetap berkaca pada bagaimana mendiang Teguh Karya berkarya. Ia memang teguh dalam berkarya, buat selalu mempertimbangkan dan menjaga alur logika nan dapat diterima umum. Atau kecermatan Arifin C. Noer dalam menggunakan data dan logika, sekalipun agak sedikit kecolongan ketika menggarap Pengkhianatan G30S/PKI .
Penonton tetap menyukai film nan membumi, diangkat dari realita dan dapat diterima logika. Untuk beberapa catatan, film Laskar Pelangi cukup mewakili sebagai sebuah acuan. Indonesia nan memiliki sineas muda nan kreatif, cerdas, dan hebat-hebat tidak perlu terlalu mengumbar kreasinya buat sesuatu nan mengada-ada. Kecerdasan dalam berkreasi tetap harus dapat dipertanggungjawabkan.
Bagaimana Film Dokumenter dalam Kumpulan Film Indonesia?
Sebuah sejarah nan dijadikan sebuah film tentu akan sangat menarik perhatian penonton. Apalagi jika penonton nan dijadikan target pasar film ialah kaum akademis nan mayoritas menykai sejarah.
Namun, ada suatu cara pandang nan berbeda saat seseorang membaca, melihat sendiri, atau menonton suatu kejadian nan diangkat dari kejadian nyata. Seperti halnya film dokumenter Pengkhianatan G 30 S/PKI nan digagas oleh Arifin C.Noer.
Asumsi pengarah adegan dan penulis skenario sepertinya menjadi satu-satunya alat buat menginterpretasikan kejadian tersebut sebagai fakta atau anggapan karena peristiwa nan difilmkan pada dasarnya merupakan fakta nan diasumsikan kepada pendapat nan membuat film itu sendiri.
Tidak ada nan bisa mengetahui siapa nan salah dan sahih secara absolut mengenai sebuah peristiwa nan telah dialihwahanakan ke dalam karya, terutama mengenai sejarah.
Arifin C. Noer dengan biaya pemerintah Orde Baru membuat film mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965. Film dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI ini bercerita tentang peristiwa terbunuhnya enam jenderal Angkatan Darat dan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa tersebut.
Film nan di dalamnya terdapat berbagai sisipan nan berisi cuplikan dan kutipan dokumen resmi negara atas terjadinya peristiwa tersebut membuat penonton sulit membedakan antara fakta dan anggapan sehingga kejelasan peristiwa dalam film tersebut tidaklah absolut dianggap sebagai fakta tanpa asumsi.
Dengan demikian, kita sebagai penonton tak dapat menganggap bahwa film tersebut merupakan fakta atas sejarah nan ditampilkan secara objektif karena di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa subjektif atau adegan nan visualisasinya bersifat bias nan nantinya akan memunculkan interpretasi eksklusif antara satu sudut pandang dengan sudut pandang lainnya.
Film ini diawali dengan penampilan gambar-gambar replika nan terdapat di dinding monumen peringatan peristiwa G30S di Lubang Buaya. Dengan dukungan narasi serta dokumen nan divisualisasikan ke dalam film tersebut, penonton diajak buat menjadi saksi atas sejarah peristiwa krusial nan terjadi di Indonesia.
Trik pengambilan gambar serta imbas musik dalam film tersebut juga turut mendukung penciptaan suasana mencekam sehingga penonton seolah-olah menyaksikan kejadian sebenarnya dan melupakan bahwa nan disaksikan hanyalah sebuah film.
Hal-hal tersebutlah nan kemudian tanpa disadari mampu membentuk anggapan eksklusif terhadap kejadian serta tokoh-tokoh nan terlibat di dalam peristiwa tersebut.
Kejanggalan dalam Film "Pengkhianatan G 30 S/PKI"
Beberapa kejanggalan dalam film ini agaknya membuktikan bahwa film ini berusaha membiaskan fakta sejarah demi memberikan propaganda terhadap masyarakat penonton. Salah satu kejanggalan nan terdapat dalam film ini ialah saat Soeharto berdiri di belakang peta Indonesia nan di dalamnya terdapat propinsi Timor-Timur. Padahal, pada zaman tersebut Timor-Timur belum menjadi bagian dari Indonesia.
Jika hal tersebut merupakan kekhilafan pengarah adegan film dalam memperhatikan properti, maka kita sebagai penikmat seni atau setidaknya penonton bisa berasumsi bahwa film tersebut bukan merupakan karya nan diciptakan buat tujan estetika, melainkan demi tujuan pemenuhan terhadap kepentingan pihak tertenu sehingga hal-hal kecil nan sebenarnya bersifat detail tak diacuhkan, atau tak teracuhkan oleh pihak pembuat film.
Selain itu, terdapat pula kejanggalan lain seperti dalam adegan kunci penggambaran PKI, yakni saat salah seorang perwira militer digambarkan lebih 'lunak' daripada orang sipil nan dikonstruksikan sebagai oknum PKI.
Terdapat dua kemungkinan nan sama dengan kejanggalan sebelumnya, yakni ketidakhati-hatian pengarah adegan film dalam menggambarkan karakter tokoh atau memang adegan nan sengaja dibuat buat memberikan anggapan pada masyarakat mengenai karakter para pentolan PKI.
Film nan dipenuhi dengan pengambilan gambar nan ekstrim ini tak saja memberi tekanan pada penonton buat merasakan adanya ancaman dari pihak penguasa zaman itu, tapi juga membuat penonton seringkali bertanya tenang kebenaran fakta nan disajikan dalam film tersebut. Simbolisasi bias fakta sejarah tersebut terdapat pada penarikan gambar pada saat Soekarno mengambil gelas berisi air putih, nan pada saat itu kamera tak bergerak beralih mengambil aktivitas Soekarno dengan gelas nan dipegangya.
Secara simbolik, hal ini memberikan anggapan bahwa sebenarnya pengarah adegan sendiri memberikan wacana terhadap penonton buat menentukan sendiri interpretasi mereka terhadap peristiwa tersebut beserta tokoh-tokohnya. Stereotip masyarakat tentu beranggapan bahwa dalam adegan tersebut, Soekarno meminum air dalam gelas nan dipegangnya. Tapi pada faktanya, dapat saja air dalam gelas tersebut dibuangnya.
Namun, terlepas dari apapun kekurangan film "Pengkhianatan G 30 S/PKI", film tersebut telah menambah khasanah tema nan lumayan berkelas dalam kumpulan film Indonesia.