Anomali Kehidupan di kota metropolitan
Tak bisa dipungkiri bahwa kota metropolitan menawarkan segala macam fasilitas dan kemudahan nan menggiurkan banyak orang. Setiap tahun jumlah penduduk nan ada di kota metropolitan sudah niscaya bertambah, dan sebagian besar pertambahan penduduk tersebut bukan dikarenakan oleh angka kelahiran melainkan sebab urbanisasi.
Mereka, nan berurbanisasi memiliki impian buat mengubah nasib di kota nan katanya menjanjikan tersebut. Mereka membangun mimpi dan berharap bahwa mimpi itu menjadi fenomena dalam tempo nan singkat. Mereka berkhayal bahwa mereka akan berjumpa dengan orang kaya. Lalu orang kaya itu akan membantu mereka sehingga mimpi mereka buat hayati enak berlimpah harta terwujud. Setelah itu mereka akan membanggakan diri atau paling tak menunjukkan kepada teman-temannya nan ada di desa betapa beruntungnya mereka.
Namun, Nyatanya? Dapat Anda lihat sendiri. Tidak semua orang nan mendatangi kota metropolitan mampu meraih mimpi. Banyak nan datang bagai sebuah kelapa penuh santan, pulang hanya membawa tempurung kelapa nan telah jelek rupa. Kegagalan itu menyakitkan. Tidak sedikit nan menjadi stres. Tetap saja semua dinamika itu tidak menyurutkan orang buat datang ke kota metropolitan.
Kota Metropolitan Tak Seindah Impian
Memang benar, kota metropolitan menawarkan majemuk fasilitas mulai dari pendidikan hingga pekerjaa nan nyaman. Namun, benarkah mereka nan berbondong-bondong ke kota metropolitan tersebut dapat menikmati fasilitas nan ditawarkan? Sepertinya tidak. Hanya orang-orang nan mempunyai ketrampilan dan semangat juang nan diatas rata-ratalah nan akan mampu bertahan hayati di kota nan penuh dengan berbagai intrik kehidupan nan biasanya tidak ditemui di desa.
Para pendatang justru menambah jumlah taraf kriminalitas di kota metropolitan tersebut. Betapa tidak, sulitnya mencari pekerjaan sebab taraf pendidikan nan tak memadai membuat mereka menghalalkan segala cara. Meski, tidak semua bersikap seperti itu tentunya. Yang terpaksa mengorbankan keimanannya dan berganti haluan mengikuti gaya hayati nan ditawarkan oelh setan nan begitu lihai menggoda manusia, banyak juga nan akhirnya mengenyam dan mencicipi siksaan hayati di dalam penjara.
Kalau pun penjara tidak menjadi destinasi terakhir dalam kurun waktu nan lama, rumah sakit baik rumah sakit generik maupun rumah sakit jiwa menjadi loka berlabuh. Sedih! Sangat menyedihkan dan mengenaskan mengikuti para korban tipu daya kehidupan kota metropolitan nan harus menjalani kehidupan nan begitu menyiksa itu. Tapi itulah kenyataannya. Pemerintah bukannya tak tahu dan tak menghalangi kepergian warganya nan tidak memiliki ketrampilan itu buat mengadu nasib ke kota metropolitan.
Tetapi, siapa nan dapat menghalangi keinginan seseorang nan telah bertekad bulat melakukan sesuatu. Sayangnya memang terkadang mereka nan telah kalah di kota metropolitan itu tidak mau pulang ke kampung halamanannya lagi. Rasa malu telah menjadi benteng nan membuat mereka bertahan dengan kehidupan nan tidak manusiawi di kota. Mereka lebih baik wafat daripada menanggung rasa malu tersebut. Satu hal nan tidak mungkin juga dipaksakan.
Seandainya mereka mau kembali ke desa dan berjuang lagi dari nol, tak menutup kemungkinan bahwa kehidupannya akan lebih baik. Bahkan mereka mungkin dapat kembali ke kota metropolitan. Tapi mereka kembali bukan buat mengadu nasib. Mereka kembali hanya buat jalan-jalan dan bertamasya menikmati kota nan pernah menenggelamkan impiannya. Memang buat beberapa saat mereka harus rela menanggung pedasnya cemoohan dan ejekan dari lingkungan. Tetapi semua ejekan itu tidak ada artinya dibandingkan menyiksa diri menjadi seorang pemulung terlunta-lunta di kota. Jauh dari sanak saudara, jauh dari afeksi orang tua.
Meninggalkan kota metropolitan?
Godaan buat berbuat dursila ketika sedang terpepet memang sangat kuat. Ada juga sebagian orang nan sangat terpepet itu nan masih memiliki moral sehingga tidak sampai hati buat berbuat kriminal. Mereka lebih memilih buat menjadi: pemulung, penjual makanan kecil di perempatan, pengamen, atau pembantu rumah tangga. Yang jadi pertanyaan, kenapa mereka tidak pulang kampung saja? Pertanyaan ini mungkin mudah dijawab oleh orang-orang nan tidak mempunyai ego tinggi atau masih mempunyai citra asa kehidupan lebih baik di tanah kelahiran.
Tetapi, malu ialah alasan primer bagi mereka buat tak serta merta pulang ke kampung halaman masing-masing. Di samping itu juga mungkin sebab tak adanya kapital buat pulang. Di desa pun mungkin mereka sudah habis-habisan. Tanah dan rumah sudha mereka jual sebagai kapital pergi ke kota metropolitan. Semua harta tidak tersisa. Mereka bingung akan berbuat apa. Akhirnya keputusan berat harus diambil dan resiko terpedihpun harus ditanggung. Hayati dalam gerobak, beratapkan langit.
Anomali Kehidupan di kota metropolitan
Tentunya tidak semua urban memiliki nasib nan sama, yaitu mengenaskan ketika sampai di kota metropolitan. Nyatanya, sangat banyak para urban nan memang dapat mengubah nasib mereka ketika datang ke kota. Sebagian para urban tersebut memang memiliki latar belakang pendidikan nan cukup, sehingga mereka dapat bekerja di loka nan layak dengan gaji nan menjanjikan.
Beberapa urban nan lainnya memang tidak memiliki latar belakang pendidikan nan cukup, namun mereka memiliki semangat serta pandangan hidup kerja nan tinggi, serta kemampuan buat berkomunikasi dengan baik. Akibatnya, nasib mereka pun sedikit demi sedikit mulai terangkat. Contohnya saja ialah seniman nan berhasil di ibukota meski latar belakang pendidikan mereka tak tinggi. Tukul Arwana, Inul Daratista, ialah di antara para seniman nan bernasib bagus dan mampu mengembangkan daya juanga dan daya jual mereka hingga ke taraf nan luar biasa tingginya.
Krisdayanti, Anang, Yuni Shara juga merupakan contoh seniman nan beranjak dari nol. Mereka datang ke kota metropolitan. Mereka mengadu untung. Merka menyadari bahwa talenta besar nan mereka miliki tidak akan berkembang dengan baik kalau mereka tetap berada di loka asal mereka. Kerja keras mereka memang terbayar. Kehidupan arti syang keras dan penuh persaingan juga mereka lakoni denagn sabar dan tahan banting.
Syarat Primer ke Kota Metropolitan
Sebenarnya ketika seseorang memutuskan buat urbanisasi ke kota metropolitan apa nan harus mereka miliki sehingga di kota tersebut tidak bernasib lebih buruk?
Mungkin hal-hal berikut ini dapat dijadikan pertimbangan.
1. Pendidikan nan Memadai
Pendidikan memang bukan serta merta faktor kunci kesuksesan seseorang nan ingin berurbanisasi ke kota metropolitan, sebab pada kenyataannya banyak juga orang dengan pendidikan seadanya, namun dapat menggapai kesuksesan di kota impian metropolitan. Namun demikian, pendidikan nan memadai dapat dijadikan tameng atau senjata ketika kita ingin pergi ke kota metropolitan
2. Keuletan
Hal ini ialah syarat absolut nan harus dimiliki. Kita tahu, taraf persaingan di kota metropolitan sangat tinggi, persaingan dalam bidang apapun. Bila kita cepat menyerah, maka tujuan kita tidak akan pernah terwujud. Itu sebabnya keuletan, kerja keras, dan sikap tahan banting menjadi hal nan wajib kita miliki saat berada di kota metropolitan.
3. Link atau Jaringan
Pendidikan saja tidak cukup bila kita tidak memiliki teman atau jaringan. Itu sebabnya krusial bagi kita menambah teman atau jaringan. Kita dapat mendapatkannya dengan mengikuti organisasi tertentu.
4. Doa
Di samping hal-hal nan sudah ditulis di atas, doa menjadi hal nan sangat penting. Doa harus kita ikut sertakan ke manapun kita melangkah.
Setelah membaca gambaran di atas, apakah kita akan menyimpulkan bahwa kota impian kota metropolitan ialah kota nan memilukan? Tentu saja hal tersebut kembali kepada kita. Banyak cerita-cerita latif tentang keberhasilan seseorang di kota, namun tidak sedikit pula nan menceritakan kegagalannya bertubi-tubi saat mengadu nasib di kota.