Jenis-Jenis Angklung Sunda

Jenis-Jenis Angklung Sunda

Apa nan Anda bayangkan jika mendengar alunan musik angklung? Ya. Tentu saja, ingatan Anda akan langsung menuju Tanah Pasundan. Itu sebab angklung ialah musik tradisional Jawa Barat nan mayoritas penduduknya berbahasa Sunda sehingga sering disebut angklung sunda .

Angklung nan bentuknya terlihat hanya batang-batang diameter bambu berbentuk seperti tabung ialah musik tradisional nan dibuat menggunakan bahan-bahan nan mudah didapat di Indonesia.

Alat musik ini sangat enak didengar. Apalagi, jika disemarakkan seumpama pementasan sebuah orkestra nan meriah. Anda tinggal menggoyangkan atau menggetarkannya sinkron kebutuhan, bambu itu akan memberikan alunan nan mengasyikkan.



Sejarah Angklung Sunda

Alat musik angklung memang berasal dari tanah Sunda. Akan tetapi tidak ada catatan niscaya kapan angklung mulai diciptakan dan digunakan. Dari bentuknya nan nisbi primitif dan sederhana, para pakar menduga angklung sudah ada sejak zaman Neolitikum. Jadi, angklung lebih tua dari kebudayaan Hinduisme di nusantara.

Catatan sejarah pertama terkait alat musik ini ialah catatan peninggalan Kerajaan Sunda nan berjaya pada abad ke-12 sampai ke-16. Alat musik dari bambu merupakan cerminan hayati masyarakat nan agraris dan menjadikan padi sebagai sumber pangan pokok.

Ketergantungan pada padi melahirkan legenda dan mitos tentang Dewi Padi nan disebut Nyai Sri Pohaci. Dewi ini juga dianggap sebagai dewi kehidupan. Hal ini terlihat di kebudayaan masyarakat Baduy nan masih menjunjung budaya Sunda asli.

Masyarakat Baduy melaksanakan upacara ritual penanaman padi dengan menggunakan angklung sebagai alat musik pengiringnya. Tujuannya secara religi ialah buat memanggil sang Dewi agar turun ke bumi dan menyuburkan tanaman padi.

Berdasarkan bahannya, ada 2 jenis bambu tradisional nan biasa digunakan buat membuat angklung, yakni bambu putih atau awi temen dan bambu hitam atau awi wulung . Keduanya menghasilkan rona suara nan berbeda. Angklung Sunda sendiri terdiri dari serangkaian bambu dengan ukuran nan berbeda-beda; dan masing-masing bambu menghasilkan nada nan berbeda.



Membuat Angklung Sunda

Lantas, apa sahih hanya dengan sebatang bambu akan tercipta alunan musik nan penuh keindahan? Jawabannya, tentu tidak.

Ternyata, mencari bambu buat dijadikan angklung bukanlah perkara gampang. Bahkan, konon, proses penebangan bambu pun mempunyai waktu khusus, yakni pukul 09.00 WIB sampai dengan 15.00 WIB. Ini harus ditaati jika ingin mendapatkan bambu nan baik buat angklung.

Idealnya, bambu nan dibutuhkan ialah bambu keras dan kuat nan biasa terdapat pada tanah berkapur di dataran tinggi. Bagi warga Bandung nan mempunyai tanah cenderung liat, ini ialah pekerjaan sulit tersendiri.

Pada dasarnya, jenis bambu apapun, seperti bambu kuning, hijau, hitam, dan coklat, dapat diolah menjadi alat musik angklung. Namun, nan perlu diperhatikan ialah umur bambu nan akan ditebang, yakni harus berusia empat sampai enam tahun. Ini ialah usia nan pas.

Jika terlalu muda, bambu tersebut biasanya masih kecil dan belum keras. Sementara jika terlalu tua, perajin akan kesulitan dalam membentuk angklung sebab terlalu keras. Sebelum menebang pun, bambu biasanya diketuk-ketuk. Jika terdengar nyaring, itulah bambu nan menjadi pilihan buat segera ditebang.

Tidak sampai di sini saja, cara menebang bambu pun harus tetap diperhatikan. Setiap batang nan akan dipotong harus berjarak dua jengkal dari bagian bawah akarnya. Selain agar menghasilkan bambu dengan suara merdu, ini ialah kearifan lokal agar bambu dapat tumbuh kembali. Termin terakhir ialah merendam bambu tersebut di dalam air atau lumpur agar anti rayap.



Jenis-Jenis Angklung Sunda

Berdasarkan lokasi kemunculannya, angklung terbagi menjadi beberapa jenis:

1. Angklung Baduy

Angklung Baduy ialah angklung nan digunakan masyarakat Baduy. Tidak ada catatan niscaya kapan dan bagaimana masyarakat setempat mulai menggunakan angklung. Angklung Baduy berbentuk sederhana, monoton, dan cenderung primitif.

Angklung Sunda jenis inilah nan digunakan suku Baduy Jero buat melakukan upacara ritual penghormatan Dewi Sri Pohaci nan dikenal juga dengan nama Sang Hyang Asri. Upacara adat tersebut bernama ngaseuk pare . Upacara ngaseuk pare dilakukan saat benih padi mulai ditanami di sawah (saat penanaman). Ada juga upacara nan disebut ngampihkeun pare , nan dilakukan saat panen padi diangkut ke lumbung desa (saat panen).

Seperangkat angklung Baduy terdiri atas 4 buah ancak. Nama keempat ancak tersebut ialah indo, king-king, gong-gong, dan panempas. Ada juga dog-dog serta bedug nan berfungsi buat mengiringi irama musik dan temponya.

2. Angklung Buncis

Angklung Buncis berasal dari Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari, Bandung. Pencetusnya ialah seorang pembubu ikan bernama Pak Bonce. Suatu hari, sungai loka Pak Bonce biasa mencari ikan meluap sebab banjir. Banjir menghanyutkan beberapa batang bambu. Pak Bonce membawa pulang beberapa batang bambu dan menyimpannya di atas tungku agar lekas kering.

Setelah kering, bambu tersebut rupanya menghasilkan bunyi merdu saat dipukul. Ia pun lalu mengolah bambu tersebut dan membuat alat musik angklung Sunda darinya. Angklung ini dinamainya Angklung Buncis. Pak Bonce membuat 7 set angklung Buncis lalu ia menjualnya kepada pemusik bernama Aki Dartiam. Olehnya, angklung Buncis dimainkan dengan kombinasi terompet dan dog-dog.

Angklung Buncis kemudian menjadi semakin berkembang. Angklung ini lazim dimainkan dalam mengiringi upacara-upacara adat dan acara-acara penting, misalnya upacara nginepkeun pare, upacara pawai menggiring anak nan hendak disunat ke pengkhitan, acara pernikahan, dan sebagainya.

3. Angklung Gubrag

Angklung Gubrag ialah angklung dari daerah Kampung Cipining, Bogor. Dahulu, warga Cipining dilanda bala kelaparan sebab padi nan gagal panen. Para penduduk saat itu meyakini bahwa bala kelaparan ialah dampak amarah Dewi Sri. Sang dewi syahdan murung sebab tak mendapat cukup hiburan dan penghormatan dari penduduk Cipining.

Dalam kepercayaan masyarakat Cipining, Dewi Sri hayati di langit. Olehnya sebab itu, mereka mengadakan berbagai pertunjukan musik tradisional di ruangan terbuka buat membujuk sang Dewi agar mau turun ke bumi dan memberi berkah kesuburan. Mereka memainkan seruling, karinding, dan alat musik lain. Mereka juga membuat majemuk sesajen untuknya.

Namun rupanya usaha mereka tak membuahkan hasil. Dewi Sri tak turun ke bumi dan padi tetap tak tumbuh baik. Syahdan saat tengah putus asa, ada seorang pemuda bernama Mukhtar dan teman-temannya nan bersemedi di Gunung Cirangsad sembari menebangi pohon bambu surat. Bambu dikeringkan selama 40 hari, sambil mereka bertapa.

Mukhtar dan kawan-kawannya mengolah bambu tersebut menjadi alat musik angklung Sunda. Angklung kemudian dilengkapi dengan 2 buah dog-dog lojor. Ia dan kawan-kawannya mengajarkan masyarakat Cipining bermain angklung buat menyenangkan hati Dewi Sri. Rakyat Cipining pun lantas mengadakan upacara pertunjukan angklung. Rupanya usaha ini berhasil, tanaman padi tumbuh fertile dan baik.

4. Angklung Bungko

Angklung Bungko berasal dari Desa Bungko, di perbatasan Cirebon dan Indramayu. Syahdan angklung Sunda ini telah ada sejak 600 tahun silam. Angklung Bungko sekarang merupakan barang nan mengandung nilai sejarah. Meski sudah tak mampu menghasilkan suara indah, angklung ini masih disimpan dengan baik.

Angklung Bungko pertama sesekali dikeluarkan buat menjadi simbol resmi sebuah pagelaran kesenian tradisional. Syahdan angklung ini dilestarikan oleh tokoh masyarakat setempat bernama Ki Gede Bungko atau Syeh Bentong. Semasa zaman dahulu, angklung jenis ini digunakan buat menyemangati penduduk berperang melawan bajak bahari dan digunakan dalam penyebaran agama Islam di wilayah Bungko.



Angklung Sunda sebagai Simbol Perlawanan

Beberapa catatan sejarah mengatakan bahwa lahirnya alat musik angklung ini bermula saat ritual padi, tepatnya buat menjadi daya pikat bagi Dewi Sri nan turun ke bumi. Tujuan warga dahulu berharap tanaman padi mereka dapat tumbuh subur.