Penyebab Terjadinya Kejahatan Genosida
Kejahatan genosida bukan menunjukkan satu tindak kejahatan nan terjadi di sebuah daerah bernama Genosida. Untuk Anda nan memang belum betul-betul paham, estimasi bahwa Genosida merupakan sebuah daerah nan terletak di daerah Jepang, China, atau Taiwan dapat jadi terlintas. Karena kesan begitu kuat pada nama Genosida memang merujuk pada negara-negara nan baru saja disebutkan.
Kejahatan di muka bumi ini terlahir dapat sebab beberapa faktor. Disparitas etnis, suku, rona kulit dan hal-hal nan sebenarnya tak dapat dijadikan kambing hitam, sedikit saja ada nan menyulut, emosi akan naik dan kerusuhan, peperangan bukan hal nan tak mustahil buat terjadi. Rasisme dan merasa bahwa ras dirinya ialah nan terbaik, juga menjadi hal nan rawan menimbulkan perselisihan.
Ini semua akan semakin niscaya ketika taraf emosional manusia tak semuanya dapat dikontrol dengan baik oleh masing-masing individu. Karena kenyataannya, siapa nan akan terima jika golongannya dijelek-jelekkan oleh golongan lainnya? Dianggap rendah, dan remeh. Perasaan terhinakan dan ingin membalas rasa sakit hati, niscaya lahir dalam hati.
Membicarakan hal ini dalam konteks kejahatan genosida , pembantaian, dan penghilangan satu golongan masyarakat eksklusif dengan cara nan sadis ialah dibenarkan. Manusia bebas menghabisi manusia nan lainnya. Tujuan mereka melakukan hal ini pun dianggap paling benar.
Secara keseluruhan, kejahatan seperti model genosida ini tergolong sebagai krisis kepekaan naruni manusia. Manusia nan sejatinya ialah makhluk paling sempurna, memiliki nalar dan naluri, justru menggunakannya buat menghabisi manusia lainnya.
Mereka nan dianggap tak sama, maka harus siap-siap buat dihabisi.
Ini sungguh sebuah “kegiatan” pelanggaran humanisme terbesar di muka bumi. Ini mirip dengan nan terjadi pada masa-masa penjajahan. Bangsa nan dijajah ialah korban pelanggaran hak asasi manusia dan mereka nan menjajah ialah pelanggar hak asasi manusia.
Sudah sangat seharusnya jika ada hukum nan mengikat para pelaku penindasan. Sayangnya, meskipun hukum tersebut ada, pelanggaran hak asasi manusia tetap saja terjadi di muka bumi.
Kejahatan Genosida - Kejahatan Massal Terbesar
Pertanyaan di atas terdengar konyol, tapi sungguh, Anda perlu tahu mengenai hal ini. Pertanyaan tersebut akan menjelaskan hal nan sebelumnya menurut Anda tak begitu jelas. Kejahatan genosida merupakan tragedi humanisme terbesar nan ada di muka bumi.
Tragedi humanisme ini bukan membicarakan tragedi humanisme nan terjadi di satu daerah tertentu. Tapi, semua daerah nan kebebasan kehidupannya dirampas. Ketika hak hayati bukan lagi menjadi hak makhluk hidup. Manusia nan hayati dibuat mati, alias dibunuh, dengan alasan nan tak manusiawi ialah hal fundamental nan terjadi dalam setiap genosida.
Meskipun namanya terdengar kejepang-jepangan, genosida pada istilah kejahatan genosida sama sekali bukan dilahirkan oleh masyarakat Asia. Istilah genosida, atau genosid pertama kali diciptakan oleh seseorang berkebangsaan Polandia. Ia ialah seorang pakar hukum bernama Raphael Lemkin.
Istilah genocide atau genosida pertama kali dikenalkan olehnya di sekitar tahun 1994 dalam bukunya nan diterbitkan di Amerika Perkumpulan dengan judul Axis Rule in Occupied Europe . Secara etimologi, kata genosid atau genosida ini berasal dari bahasa Yunani, nan artinya 'ras, bangsa, dan rakyat'. Dalam bahasa Latin, dikenal istilah caedere nan artinya 'pembunuhan'.
Dilihat secara deskripsi, genosida atau genocide merupakan sebuah tragedi pembantaian terhadap manusia nan tergabung dalam satu kelompok atau suku eksklusif secara masif dan sistematis. Pembantaian tersebut bertujuan buat memusnahkan satu kelompok tertentu. Ini sungguh merupakan sebentuk kejahatan terbesar di muka bumi. Kejahatan genosida ialah mesin pembunuh berbahan dasar keserakahan manusia.
Benar saja, sebuah pengadilan internasional nan menaungi permasalahan hukum bernama International Criminal Court memang sudah mengategorikan kejahatan genosida ini sebagai satu dari kejahatan bernuansa pelanggaran HAM terberat. Tiga lainnya ialah Kejahatan Agresi, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Kemanusiaan.
Dalam Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 mengenai Genosida, dijelaskan bahwa genosida merupakan satu bentuk kejahatan nan tujuannya ialah menghancurkan, memusnahkan sebagian atau bahkan seluruh anggota dari satu kelompok masyarakat tertentu, baik bangsa, ras, agama atau etnis.
Cara nan dilakukan ialah dengan membunuh, membinasakan anggota-anggota kelompok nan dijadikan sasaran. Para pelaku kejahatan akan menghadiahkan penderitaan fisik serta mental nan sangat berat bagi anggota kelompok sasaran. Mereka juga berkuasa buat menciptakan sebuah suasana sosial nan nantinya bisa berimbas pada hancurnya kelompok tersebut, baik fisik maupun psikis dan keseluruhan.
Para pelaku kejahatan genosida juga akan mencegah, melarang kelahiran pada kelompok target kejahatan. Anak-anak juga tidak luput dari kebinatangan mereka. Anak-anak akan dipindahkan secara paksa buat pindah ke kelompok lain. Sungguh sebuah tragedi humanisme nan tidak dapat diampuni.
Genosida ternyata tak hanya menyerang hak hidup, tapi juga hak berbudaya. Istilah itu dikenali dengan nama genosida budaya. Budaya nan menjadi target buat dihancurkan akan mengalami hal-hal mengerikan. Peradaban sebuah budaya akan dibunuh.
Dimulai dari dilarangnya penggunaan bahasa sebagai simbol budaya, sejarah sebuah kebudayaan diubah atau dihancurkan sama sekali, simbol-simbol peradaban juga akan dimusnahkan.
Dalam genosida budaya, tak akan ada budaya nan tertinggal. Budaya musnah bukan sebab zaman, tapi sebab paksaan. Seperti itulah kira-kira nan terjadi.
Ketika kejahatan genosida terjadi, hal-hal nan melanggar nilai-nilai humanisme ialah hal lumrah. Seperti pembunuhan, perbudakan, perkosaan, pemusnahan, penganiayaan, pelecehan seksual, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, dan pengusiran serta kejahatan-kejahatan lain nan dilakukan secara sadar.
Kejahatan Genosida nan Pernah Terjadi
Membaca pengertian tentang genosida, Anda niscaya sudah dapat membayangkan bagaimana bentuk kejahatan nan terjadi. Citra tentang saat kejadian itu terjadi pun niscaya sudah terbayangkan di benak Anda. Teror nan mengakibatkan ketakutan luar biasa. Tidak mengenal anak-anak, dewasa dan tua, semua terkena efek dari pembantaian tersebut.
Di global ini, genocide terjadi beberapa kali, dimulai sejak zaman Sebelum Masehi. Bangsa Kanaan dibantai oleh bangsa Yahudi. Dilanjutkan dengan pembantaian nan dialami oleh bangsa Helvetia, pelaku utamanya ialah tokoh nan sudah sangat terkenal, Julius Caesar.
Musnahnya suku Indian di Amerika juga dampak Kejahatan Genosida nan dilakukan bangsa Eropa buat menguasai kawasan tersebut. Pembantaian itu terjadi pada 1492. Kemudian suku Aborigin nan merupakan suku orisinil Australia. Suku tersebut juga mengalami nasib nan sama. Mereka dibantai oleh pasukan Britania Raya. Pembantaian kejam ini terjadi pada 1788.
Peristiwa mengerikan ini kembali terjadi. Anda ingat dengan pemusnahan Yahudi nan dilakukan oleh Nazi. Peristiwa tersebut juga tergolong sebagai genocide . Kemudian giliran suku bangsa Jerman nan menjadi korban keganasan. Mereka dimusnahkan oleh Ceko, Uni Soviet dan Polandia. Peristiwa tersebut terjadi pada akhir PD II.
Peristiwa genocide nan baru-baru ini terjadi dan menggemparkan global ialah peristiwa pembantaian suku Hutu dan Tutsi nan ada di Rwanda. Peristiwa mengerikan ini terjadi pada 1994 lalu. Kemudian, upaya pemusnahan pada suku bangsa Bosnia dan Kroasia nan ada di Yugoslavia. Pembantaian tersebut dilakukan oleh bangsa Serbia dan terjadi sekitar 5 tahun, dari 1991 hingga 1996.
Nasib nahas kali ini menimpa masyarakat dengan rona kulit hitam nan tinggal di daerah Darfur. Mereka dibinasakan oleh milisi Janjaweed nan ada di Sudan. Pembantaian tersebut terjadi di abad 20, tepatnya 2004 lalu.
Penyebab Terjadinya Kejahatan Genosida
Kejahatan terbesar di muka bumi ini memiliki latar belakang keserakahan. Keinginan buat menguasai suatu daerah atau kelompok dengan tujuan menjadi pemimpin ialah alasan nan mendasar. Untuk bisa menguasai suatu daerah, masyarakat nan tak satu paham dengannya harus dimusnahkan. Agar, perjalanannya menuju tampuk kekuasaan berjalan dengan mulus.
Alasan politik memang paling banyak digunakan. Kekuasaan dan keserakahan telah membutakan mata hati manusia-manusia tersebut. Salah satu kejahatan genosida nan berlatar belakang politik seperti ini ialah pembantaian nan terjadi di Rwanda.
Peristiwa kelam ini bermula dari keputusan Presiden Juvenal Habyarimana buat menyatukan semua etnis nan ada di Rwanda. Keputusan tersebut tertuang dalam Piagam Arusha. Juvenal ialah Presiden Rwanda nan memerintah sejak 1993. Pada 6 April 1994, setelah menghadiri rendezvous dengan Presiden Burundi, Juvenal ditembak di dalam pesawat nan membawanya.
Peristiwa ini benar-benar ulah para agresif nan tak setuju jika sistem pemerintah melibatkan banyak suku. Mereka ingin pemerintah hanya dijalankan oleh satu suku, yaitu Hutu. Ditunjuknya Agathe Uwilingiyama nan berasal dari suku Tutsi sebagai perdana menteri jelas menyakiti hati para agresif tersebut.
Padahal porsi pembagian kekuasaan pun lebih banyak dilimpahkan pada suku Hutu (militan nan nantinya menjadi pembantai pada peristiwa ini), suku Tutsi hanya mendapatkan 14%, dan 1% diberikan pada suku Twa. Sisanya nan 85% absolut dimiliki oleh suku Hutu. Tapi, keserakahan terlanjur menguasai hati mereka sehingga angka sebanyak itu masih belum membuat mereka puas.
Meninggalnya Presiden Juvenal, menjadi awal mula peristiwa pembantaian warga Rwanda nan setuju dengan keputusan presiden Rwanda tersebut. Seluruh wilayah diblokade. Pembantaian dimulai dari ibukota Rwanda. Kelompok militan, dibantu pihak luar, yaitu Perancis, mulai menembaki siapa pun nan mendukung keputusan presiden terdahulu.
Perdana menteri, petinggi-petinggi negeri, pastor, dan masyarakat sipil, tewas ditembaki. Mayat-mayat bergelimpangan menjadi pemandangan di Rwanda kala itu. Tidak ada penguburan layak. Mayat-mayat itu hanya ditimbun tanah seadanya. Diperkirakan sebanyak 250.000 orang-orang nan tak berdosa ditemukan meninggal.
Selama 100 hari, pasukan pembantaian tersebut sukses menghabisi 800.000 jiwa. Korban paling banyak datang dari suku Tutsi, sisanya Hutu dan Twa. Mereka benar-benar menghabisi sesamanya. Tragedi ini semakin tragis ketika tak ada satu pihak pun nan memberikan perhatian pada kasus pelanggaran HAM terbesar ini, terutama Amerika, Inggris, dan Perancis. Ini disebabkan sebab Rwanda dinilai sebagai negara nan tak memiliki nilai strategis.
Pasukan dari PBB nan jumlahnya ribuan pun tak mampu menghentikan pembantaian ini. PBB menunjuk negara-negara seperti Perancis, Inggris, Amerika dan Belgia sebagai pihak nan ikut bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan genosida di Rwanda ini.