Kumpulan Puisi Chairil Anwar
Apakah Anda merupakan salah satu dari pecinta karya sastra lama? Karya sastra nan dulu pernah terbit sekitar tahun 1945. Suatu masa ketika zaman penjajahan masih merajalela di bumi pertiwi Indonesia.
Atau apakah Anda merupakan seorang pengamat sastra atau penikmat sastra, nan sangat menggeluti global kesusastraan? Jika jawabannya ya, maka Anda wajib menyimak sajian artikel nan satu ini, sebuah sajian artikel nan akan bercerita dan berkisah tentang koleksi puisi Chairil Anwar .
Pembahasan ini mengulik kehidupan sang penyair nan hayati di era penjajahan Belanda. Seorang pria nan membela tanah tumpah airnya dengan karya-karya nan menggugah semangat para pemuda, semangat para pemudi, semangat para masyarakat dan tentu saja semangat para rakyat Indonesia.
Sang Maestro Chairil Anwar
Chairil Anwar ialah sosok pria nan sangat sederhana seperti para artis maupun sastrawan pada umumnya. Chairil Anwar, seorang nan sangat bersahaja, nan mengabdikan hampir seluruh hidupnya buat perjuangan mendapatkan kebebasan nan telah hilang direbut para penjajah. Tidak hanya Jepang, pun demikian pula halnya dengan Belanda.
Chairil Anwar ialah seorang artis nan dulu pernah lahir di masa penjajahan dan merupakan salah seorang penyair atau sastrawan nan hayati pada angkatan tahun 1945. Mungkin sebab pernah hayati di jaman penjajahan menyebabkan Chairil Anwar menjadi sangat akrab dengan tema nan berisikan perjuangan.
Koleksi Puisi Chairil Anwar
Sebagai seorang sastrawan, Chairil Anwar telah menghasilkan tiga buah kumpulan puisi. Ketiga karyanya tersebut sangat banyak memberi pengaruh kepada sastrawan maupun sastrawati nan merupakan penerus dari angkatan Chairil Anwar.
Tiga buah kumpulan puisi dari sang maestro Chairil Anwar tersebut, ialah buku kumpulan puisi “Kerikil Tajam”, “Deru Campur Debu”, dan “Aku”. Spesifik buat nama buku kumpulan puisi nan terakhir, merupakan buku kumpulan puisi buah tangan Chairil Anwar, nan hingga sekarang masih belum lekang oleh waktu.
Buku kumpulan puisi “Aku” masih banyak diminati oleh para pecinta sastra zaman sekarang ini. Hal ini dapat dilihat dari masih dijualnya buku kumpulan puisi “Aku” di beberapa toko buku di Indonesia. Baik buku kumpulan puisi nan orisinil maupun nan bajakannya.
Kumpulan Puisi Chairil Anwar
Krawang-Bekasi
Kami nan kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tak dapat teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah nan tak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak
Kami wafat muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa nan kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum dapat memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi ialah kepunyaanmu
Kaulah lagi nan tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang buat kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tak buat apa-apa,
Kami tak tahu, kami tak lagi dapat berkata
Kaulah sekarang nan berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
nan tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1948
***
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tidak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan dapat kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan saya akan lebih tak perduli
Aku mau hayati seribu tahun lagi
Maret 1943
***
Derai Derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin nan terpendam
Aku sekarang orangnya dapat tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
nan bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada nan tetap tak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
***
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hayati kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Versus banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat nan tidak dapat mati.
MAJU
Ini barisan tidak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hayati harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Februari 1943
***
Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole untuk si pacar.
Angin membantu, bahari terang, tapi terasa
Aku tak ‘kan sampai padanya.
Di air nan tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan bahtera ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Bahtera nan bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia wafat iseng sendiri.
1946
***
Taman
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tidak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan saya cukuplah
Taman kembangnya tidak berpuluh warna
Padang rumputnya tidak berbanding permadani
Halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, saya kumbang
Aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
Loka merenggut dari global dan ‘nusia
Maret, 1943
***
Lagu Bahasa
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana
Maret 1943
***
Sajak Putri
Bersandar pada tari rona pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu bunga mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tak membelah
Buat miratku, Ratuku! kubentuk global sendiri,
dan kuberi jiwa segala nan dikira orang wafat di
alam ini!
Kucuplah saya terus, kucuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hayati dalam tubuhku
18 Januari 1944
***
Pemberian Tahu
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
Nasib ialah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari nan banyak, tapi
Sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin sahih padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk cium tak jemu,
Rasa tidak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tak dapat lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di bahari tidak bernama!
1946
***
Senja di Pelabuhan Kecil
Ini kali tak ada nan mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, bahtera tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan dapat terdekap.
1946
***
Hampa
Sepi di luar, sepi mendesak-desak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepaskan diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
***
Sendiri
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan buat kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah indolen ia tersedu: Ibu! Ibu!
Februari 1943
***
Demikianlah sajian artikel tentang koleksi puisi Chairil Anwar. Semoga sajian artikel ini bermanfaat. Selamat membaca!