Kupas Maksud Tersirat
Suatu cerita dongeng nan hayati dan berkembang di masyarakat, sejatinya sarat dengan makna. Ia tidak sekadar mengandung unsur hiburan pengantar tidur, tapi lebih dari itu. Cerita dongeng diciptakan sebagai cara agar kearifan lokal di suatu masyarakat bisa tetap bertahan dan diwarisi oleh generasi selanjutnya. Hal ini tampak jelas saat kita mengupas hal implisit di balik cerita dongeng Tangkuban Bahtera .
Tertarik buat bersama-sama mengetahui hal implisit dalam legenda rakyat Jawa Barat itu? Kita akan segera melakukannya. Namun, ada baiknya terlebih dahulu kita menyimak cerita dongeng nan telah hayati ratusan tahun tersebut. Cerita nan pada intinya berkisah mengenai konflik antara dua tokoh utama, yakni Sangkuriang dan Dayang Sumbi .
Kisah Cerita
Pada zaman dahulu, di tataran Sunda, hiduplah seorang perempuan berparas jelita bernama Dayang Sumbi. Ia memiliki seorang anak laki-laki nan diberi nama Sangkuriang. Anak laki-laki Dayang Sumbi tersebut punya kegemaran berburu. Nyaris setiap hari, Sangkuriang keluar masuk hutan buat mencari hewan buruan. Selama berburu, ia ditemani seekor anjing kesayangannya nan bernama Tumang.
Satu hal nan tidak diketahui oleh Sangkuriang bahwa Tumang bukanlah anjing biasa. Anjing tersebut merupakan titisan dewa dan ayah kandung dari Sangkuriang. Fenomena ini hanya Dayang Sumbi nan tahu. Dayang Sumbi tak ingin Sangkuriang mengetahui misteri besar tersebut dan ia pun menutupinya.
Suatu hari, seperti biasa Sangkuriang beserta Tumang pergi berburu ke hutan. Tak butuh waktu lama, ia telah mendapatkan hewan buruan, yaitu seekor burung nan sedang bertengger di dahan pohon. Dengan sigap, hewan buruan itu ditembak hingga jatuh. Sangkuriang lalu menyuruh Tumang buat mengejar dan membawa hewan buruan itu di hadapannya.
Akan tetapi, entah mengapa Tumang tak mengerjakan apa nan diperintahkan oleh Sangkuriang. Tidak seperti biasanya, Tumang bahkan tak bergerak sedikit pun. Hal ini membuat Sangkuriang menjadi heran. Ia kembali memerintahkan Tumang buat mengambil hewan buruan nan telah jatuh ditembak itu, namun Tumang tetap tak menuruti perintahnya.
Kesal dan marah berkecamuk dalam diri Sangkuriang. Tanpa pikir panjang, anjing itu dipukul. Sangkuriang juga mengusir dan melarang Tumang buat mengikutinya pulang ke rumah. Sangkuring menganggap Tumang bukan lagi anjing nan baik buat diajak tinggal bersama. Ketidakpatuhan Tumang membuat Sangkuriang mengambil tindakan tersebut.
Ketika melihat Sangkuriang pulang seorang diri tanpa Tumang, Dayang Sumbi pun bertanya. Mendengar jawaban dari Sangkuriang bahwa ia telah memukul dan mengusir Tumang, Dayang Sumbi sangat terkejut dan naik pitam.
Bagaimana mungkin anak laki-lakinya itu melakukan hal tersebut kepada Tumang, nan tak lain ialah ayah kandungnya sendiri. Hal itu nan terbersit di dalam pikiran Dayang Sumbi. Ia jadi gelap mata sehingga memukul kepala Sangkuriang dengan menggunakan sendok nasi. Begitu kerasnya pukulan Dayang Sumbi membuat kepala Sangkuriang terluka. Di kemudian hari, pukulan itu akan meninggalkan bekas luka.
Kecewa dengan perlakuan Dayang Sumbi, Sangkuriang kemudian memutuskan buat pergi mengembara meninggalkan ibunya. Walaupun Dayang Sumbi berusaha mencegah sebab sadar telah berbuat keliru, tidak mengubah keputusan Sangkuriang. Ia lalu meninggalkan Dayang Sumbi. Nasi telah menjadi bubur. Dayang Sumbi harus kehilangan anak semata wayangnya. Kini, hanya kesedihan dan penyesalan nan tersisa.
Belasan tahun berlalu. Dayang Sumbi selalu berdoa agar suatu hari nanti ia bisa berjumpa kembali dengan putranya. Doa Dayang Sumbi dikabulkan para dewa. Ia mendapat anugerah berupa kecantikan nan tidak memudar dimakan waktu. Dayang Sumbi menjadi awet muda. Sapta tahun tidak sedikit pun membuatnya bertambah tua.
Adapun Sangkuriang telah tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah perkasa. Setelah belasan tahun mengembara meninggalkan kampung halaman, timbul keinginan dalam dirinya buat pulang. Ia hendak berjumpa Dayang Sumbi dan melepas rasa kangen. Sangkuriang sudah melupakan perlakuan tak menyenangkan Dayang Sumbi kepada dirinya di masa lalu.
Setelah bersiap-siap, Sangkuriang lalu memulai perjalanan pulang. Singkat cerita, Sangkuriang sampai di kampung halamannya nan ternyata telah berubah total. Ia pun tak sukses menemukan loka kediamannya dahulu bersama Dayang Sumbi. Namun, ia malah bertemu dengan seorang perempuan muda berparas jelita. Terpikat oleh kecantikan perempuan tersebut, Sangkuriang lalu melamarnya buat dijadikan istri.
Lamaran Sangkuriang diterima. Perempuan itu mau diperistri oleh Sangkuriang. Hari pernikahan pun lalu ditetapkan. Namun, ada satu hal nan tak disadari oleh Sangkuriang. Perempuan jelita nan hendak diperistrinya itu ialah Dayang Sumbi. Begitu pula dengan Dayang Sumbi nan juga tak mengetahui jika laki-laki gagah itu ialah anaknya, Sangkuriang.
Beberapa hari menjelang pernikahan , tanpa sengaja Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala Sangkuriang. Dayang Sumbi lalu menanyakan kepada Sangkuriang perihal bekas luka tersebut. Sangkuriang kemudian menceritakannya. Cerita nan membuat Dayang Sumbi terkejut sebab laki-laki calon suaminya itu ternyata ialah Sangkuriang.
Sadar bila tak mungkin menikahi anaknya sendiri, Dayang Sumbi lalu bersiasat supaya pernikahan tersebut batal. Ia mengajukan dua permintaan sebagai syarat pernikahan kepada Sangkuriang. Permintaan pertama, Dayang Sumbi menginginkan Sungai Citarum dibendung.
Lalu permintaan kedua, dibuatkan sampan berukuran besar nan dapat digunakan mengarungi sungai. Dua permintaan ini harus selesai dikerjakan dalam jangka waktu semalam. Batas akhirnya ialah saat fajar menyingsing. Jika gagal, maka pernikahan mereka batal.
Dayang Sumbi mengira dengan mangajukan dua permintaan nan mustahil tersebut, Sangkuriang akan menyerah dan membatalkan planning pernikahan mereka. Akan tetapi, di luar dugaan, ternyata Sangkuriang menyanggupinya.
Berbekal kesaktian nan dimilikinya, menjelang tengah malam pekerjaan membendung Sungai Citarum dan membuat sampan besar hampir selesai. Sangkuriang sebentar lagi akan menuntaskan pekerjaannya.
Terkejut dengan kejadian nan di luar perkiraaannya itu, Dayang Sumbi pun berpikir keras. Ia kemudian mendapat ide nan bisa menggagalkan pekerjaan Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta masyarakat di sekitar loka tinggalnya buat membentangkan kain sutra merah seperti rona fajar. Kain sutra merah berukuran jumbo itu dibentangkan di sebelah timur sehingga seakan-akan fajar telah datang.
Ketika melihat rona merah di langit sebelah timur, Sangkuriang mengira jika fajar benar-benar telah datang. Itu berarti ia gagal memenuhi syarat nan diajukan oleh Dayang Sumbi dan pernikahan mereka batal dilakukan. Amarah dan rasa kecewa menyelimuti Sangkuriang.
Tanpa banyak berpikir, ia lalu menghancurkan bendungan nan telah dibuatnya hingga menimbukan banjir bandang. Banjir itu kemudian menenggelamkan daerah kediaman Dayang Sumbi.
Tak hanya itu, Sangkuriang juga menendang bahtera besar setengah rampung hingga terpental jauh. Bahtera itu lalu jatuh dalam posisi tertelungkup (tangkuban) dan menjelma menjadi gunung nan kemudian dikenal bernama Gunung Tangkuban Perahu. Gunung itu hingga sekarang masih bisa kita temui. Jika dilihat dari jauh, gunung tersebut memang seperti bentuk bahtera nan terbalik/telungkup.
Kupas Maksud Tersirat
Melalui karakter Sangkuriang dan Dayang Sumbi dalam cerita dongeng Tangkuban Bahtera kita mengetahui bahwa masyarat Sunda ternyata telah memiliki seni sastra berkualitas tinggi. Menjadi bukti nan menegaskan keunggulan budaya dan taraf kehidupan bermasyarakat.
Saat ketika masyarakat lainnya masih bergelut dengan aktivitas makan, minum dan kehidupan nomaden, masyarakat Sunda telah mengembangkan kebudayaan berkisah nan sukar dicari tandingannya. Selain itu, cerita dongeng nan akhirnya menjadi legenda rakyat Sunda tersebut ternyata juga memiliki kedalaman filosofi akan kehidupan.
Uniknya, filosofi kehidupan disampaikan lewat seni bercerita nan dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Suatu bentuk seni nan dapat dikatakan populer pada saat itu. Jadi, bukan melalui proses pembelajaran dari guru ke murid atau kitab/serat nan ditulis oleh seorang empu (guru) dan berisikan ajaran kearifan hidup.
Bila dianalogikan dengan zaman modern, seni bercerita dengan cara bertutur itu bisa disetarakan dengan seni perfilman. Seni nan begitu populer dan menjadi media paling efektif dalam menyampaikan suatu bentuk kebudayaan ke khalayak ramai pada masa sekarang.
Hal inilah nan membuat cerita dongeng Tangkuban Bahtera begitu mengakar kuat dalam kehidupan rakyat Sunda. Cerita rakyat itu telah menggunakan seni cerita bertutur sebagai media buat menyebarkan dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal.
Sekiranya, dua hal ini—bukti kemajuan kebudayaan masyarat Sunda dan seni bertutur sebagai cara melanggengkan nilai kearifan lokal—yang dapat kita simpulkan di balik cerita dongeng Tangkuban Perahu.