Suku Irian Jaya - Suku Dani

Wilayah Irian Jaya memiliki sejarah kesenian nan panjang. Sebelum peradaban luar datang, suku Irian Jaya sudah mengenal dan mengembangkan berbagai kesenian lokal. Bagi suku Irian Jaya , kesenian bukan sekadar ungkapan aktualisasi diri dan estetika, melainkan alat komunikasi dengan alam gaib. Tidak heran bila banyak ritual nan sarat dengan simbol-simbol eksklusif nan bermakna sakral.

Suku Irian Jaya orisinil sekitar 193 suku, di antaranya Asmat, Dani, Imeko, dan lain-lain. Secara geografis, suku-suku Irian Jaya ini menyebar di tiga wilayah, yaitu pesisir, pedalaman, dan dataran tinggi. Kondisi wilayah dan loka tinggal nan berbeda mempengaruhi seni dan budaya masyarakatnya sehingga menjadi lebih berkembang dan variatif.

Suku Asmat tinggal di antara Suku Mappi, Yohukimo, dan Jayawijaya. Suku Irian Jaya ini terbagi menjadi dua daerah, yaitu daerah pesisir pantai dan pedalaman. Suku Asmat nan tinggal di pesisir pun terbagi menjadi dua bagian lagi, yaitu suku Bisman di antara Sungai Sinesty dan Sungai Nin serta suku Simai.

Suku Asmat dikenal sebagai suku nan memiliki jiwa seni tinggi. Hasil ukiran kayunya nan unik sudah dikenal luas ke seluruh dunia. Dalam tradisi budaya suku Asmat, bila ada salah satu anggotanya meninggal, akan dikubur dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan mutilasi ruas jari tangan anggota keluarga nan ditinggalkan.

Bila nan meninggal kepala suku atau kepala adat, mereka akan melakukan pengawetan mayat hingga menjadi mumi nan akan dipajang di depan joglo. Seperti suku Irian Jaya lainnya, suku Asmat mengenal tradisi peperangan antarsuku.

Suku Asmat termasuk suku nan “sadis” dalam hal ini sebab setelah sukses membunuh musuh, mayatnya dipotong dan kepalanya dipenggal. Otaknya dibungkus daun sago. Lalu, dipanggang dan dimakan bersama sambil menyanyikan lagu kematian.

Suku Imeko terdapat di bagian selatan Kabupaten Sorong Selatan. IMEKO ialah singkatan dari nama Inanwatan, Metemani, Kokoda. Ketiganya merupakan nama daerah sebaran mereka. Ada enam kelompok etnik di wilayah IMEKO, yaitu Inanwatan, Iwari, Eme, Awe’e, Dema, dan Meybrat.

Suku Imeko terkenal dengan tarian adat nan disebut noabibido, artinya 'tarian goyang panta't. Tarian adat Imeko sering dilaksanakan pada saat-saat tertentu, seperti saat panen tebu dan memasuki rumah baru. Karakteristik khas tarian ini ialah gerakan-gerakan tangan nan menyerupai gerakan kepakan berbagai macam burung, seperti burung camar, elang, kasuari, atau kanguru.

Suku Dani hayati di lembah Baliem, Wamena. Mereka tinggal di honai , rumah adat khas suku Dani. Honai terbuat dari jerami atau ilalang berbentuk kerucut. Sejak ratusan tahun lalu, suku Dani dikenal sebagai petani nan terampil. Mereka telah menggunakan perkakas, seperti kapak batu, pisau, bambu, dan tombak. Alat-alat tersebut terbuat dari batu, tulang binatang, dan kayu galian.

Suku Dani memiliki tradisi rekwasi, yaitu upacara tarian keagamaan nan diiringi nyanyian. Tarian ini merupakan tarian persembahan terhadap nenek moyang dan dilakukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Di masa lalu, peperangan sangat erta hubungannya dengan suku Dani. Para prajurit akan dipersenjatai dengan berbagai senjata tradisional khas suku Dani, seperti tombak, kapak, parang, dan panah.

Badan mereka dihiasi tanfa dari lemak babi, kerang, bulu-bulu, kuskus, sagu rekat, getah pohon mangga, dan bunga-bungaan. Sebelum berangkat, mereka mendendangkan nyanyian-nyanyian bersifat jiwa kepahlawanan buat menyemangati dengan diiringi alat musik pikon, satu alat nan diselipkan di antara lubang hidung dan telinga mereka. Pikon juga berfunsi sebagai isyarat kepada teman atau versus di hutan kala berburu.

Kesenian dan budaya suku-suku Irian Jaya ini merupakan kekayaan khasanah budaya Indonesia nan akan terkikis habis bila tak diproteksi. Oleh sebab itu, perlu perhatian serius dari pemerintah agar tak mengalami kepunahan.

Sebagai contoh, dari 190-an bahasa lokal nan pernah ada, 32 bahasa di ambang kepunahan, antara lain bahasa daerah Sarmi, Jayawijaya, Waropen, Metauke, Paniai, Teluk Wondama, Sorong Selatan, dan Fakfak. Sementara delapan bahasa daerah, sudah tak terselamatkan alias punah. Yaitu, bahasa Bapu, Dabe, Wares, Taworta, Waritai, Murkim, Walak, Meoswar, dan Laganyam.

Selain bahasa, termasuk pula syair-syair purba nan kina lama kina menyusut dan tak dikenal lagi. Hal tersebut sangat disayangkan sebab ragam bahasa daerah erat kaitannya dengan kearifan lokal.

Kebudayaan penduduk atau kultur suku- suku Irian Jaya dapat dikatakan sangat beraneka ragam. Beberapa suku Irian Jaya memiliki kebudayaan nan bernilai sangat tinggi dan mengagumkan, misalnya suku Asmat nan sebelumnya telah dibahas pada artikel ini. Kelompok suku Irian Jaya ini sangat dikenal sebab mempunyai keahlian di bidang ukiran dan tari.

Budaya suku-suku Irian Jaya dapat dilihat juga dari jumlah bahasa lokal, terutama di wilayah Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian tentang bahasa suku-suku Irian Jaya nan dilakukan oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) pada 1978, ada sekitar 224 bahasa lokal di Irian Barat. Jumlah ini akan terus bertambah sebab penelitian tentang bahasa suku-suku Irian Jaya masih berlangsung dan terus dilakukan.

Bahasa suku Irian Jaya digolongkan ke dalam kelompok bahasa Melanesia dan dibagi ke dalam 31 kelompok bahasa, yaitu:

1. Tobati;
2. Kuime;
3. Sewan;
4. Kauwerawet;
5. Pauwi;
6. Ambai;
7. Turu;
8. Wondama;
9. Roon;
10. Hatam;
11. Arfak;
12. Karon;
13. Kapaur;
14. Waoisiran;
15. Mimika;
16. Kapauku;
17. Moni;
18. Ingkipulu;
19. Pesechem;
20. Teliformin;
21. Awin;
22. Mandobo;
23. Auyu;
24. Sohur;
25. Boazi;
26. Klader;
27. Komoron;
28. Jap;
29. Marind-Anim;
30. Jenan; dan
31. Serki.

Jumlah pengguna bahasa-bahasa suku Irian Jaya tersebut cukup bervariasi, mulai puluhan orang sampai puluhan ribu orang.
Secara tradisional, tipe permukiman masyarakat atau suku-suku Irian Jaya terbagi ke dalam empat kelompok. Setiap kelompok dari masing-masing suku Irian Jaya ini memiliki corak tersendiri.

Suku Irian Jaya ini memiliki mata pencaharian primer sebagai nelayan, berkebun dan meramu sagu nan dikondisikan dengan lingkungan pemukiman tersebut. Hubungan dengan daerah lain dan masyarakat luar sudah biasa dilakukan oleh suku Irian Jaya di pesisir pantai.

Suku Irian jaya ini berprofesi sebagai peramu sagu, berkebun, menangkap ikan di sungai, dan berburu di hutan sekitar loka hidupnya. Suku Irian Jaya pedalaman ini suka mengembara dalam jumlah kecil dan mendiami tanah kering. Namun ada juga suku Irian Jaya pedalaman nan mendiami rawa, payau, dan di sekitar genre sungai. Adat sitiadat nan dipegang oleh suku Irian Jaya ini sangat ketat dan cenderung mencurigai pendatang baru.

Suku Irian Jaya nan ada di lembah biasanya melakukan aktivitas bercocok tanam, berburu, dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukiman suku Irian Jaya ini tetap dan berkelompok. Penampilannya pun lebih ramah dibandingkan suku Irian jaya di daratan rendah. Adat istiadat suku Irian Jaya ini juga cukup ketat memiliki Norma pesta babi sebagai simbolnya. Sementara itu, kecurigaan terhadap orang asing tak sebesar suku Irian Jaya di daratan rendah.