Hilangnya Plasa/Ruang Publik di Kota Besar

Hilangnya Plasa/Ruang Publik di Kota Besar

Plasa merupakan kata serapan dari bahasa asing nan menambah perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Kosakata bahasa Indonesia diambil dari berbagai unsur asing seperti dari bahasa Arab, Belanda, Portugis, dan masih banyak lagi.

Memakai kata serapan dalam kehidupan berbahasa Indonesia bukanlah hal tabu, karena bahasa Indonesia nan standar sebenarnya miskin kosakata, sehingga buat melengkapi fungsi komunikasi harus menggunakan kata serapan nan sudah dimodifikasi sinkron tutur orang Indonesia.

Salah satu contohnya kata Plasa tadi nan diambil dari bahasa Portugis. Bahasa serapan banyak dipakai dalam bahasa pendidikan. Ketika menemukan sesuatu hal nan tidak ada kata nan sepadan, maka terpaksa menggunakan kata asing buat menyebutkan benda, zat maupun sesuatu nan imateri . Terkadang, makna kata serapan ketika dipakai dalam tata bahasa Indonesia ada nan melenceng dari arti sebenarnya. Begitupun juga dengan kata “plasa” dipakai sebagai kata imbuhan buat nama supermarket, Mall dan nama institusi.

Jadi, kata "plasa" dijadikan sebagai atribut buat menambah keterangan kata induk. Saat kita dihadapkan kata "plasa" niscaya asosiasinya tertuju pada mall atau gedung komersial lainnya. Pergeseran makna harfiah ini tidak hanya dijumpai pada kata plasa saja, masih banyak kosakata serapan nan lain. Masihnya banyak contoh kata serapan nan mengalami perubahan makna. Namun kali ini, kita tidak akan membahas tentang tata bahasa Indonesia, nan akan kita dalami buat bahasan ini ialah mengembalikan arti "plasa" sebenarnya yakni ruang publik dan mengaitkan dengan hilangnya fungsi ruang publik di kota besar di Indonesia nan tergusur oleh pembangunan gedung komersial.



Arti Plasa nan Sebenarnya

Dilihat dari etimologi bahasa, "plasa" diambil dari bahasa Portugis nan arti harfiahnya ialah fasilitas ruang terbuka atau lapangan. Kalau dicari kata nan sepadan dengan makna harfiah plasa ialah alun-alun, lapangan. Sejak zaman kerajaan pada abad pertengahan, setiap kerajaan membangun loka terbuka nan difungsikan buat fasilitas publik, ruang publik itu berupa lapangan, taman kota.

Plasa atau lapangan difungsikan sebagai loka berinteraksi antara raja dan rakyatnya. Lapangan difungsikan sebagai loka berkumpul rakyatnya dan para tentara kerajaan. Hingga sampai saat ini, plasa menjadi salah satu fasilitas nan wajib ada dalam setiap blue print pembangunan kota di Eropa.



Plasa Sebagai Ruang Publik

Plasa bagi masyarakat Eropa memiliki peranan nan sangat penting, yakni loka buat saling berinteraksi satu sama lainnya. Jadi plasa merupakan bagian dari pembangunan kota, plasa dan taman kota sine qua non pada setiap pengembangan kota, maupun area perumahan. Ketika musim dingin usai dan berganti musim semi nan hangat, masyarakat Eropa pergi ke plasa buat berjemur, dan melihat pertunjukan jalanan nan banyak digelar di plasa kota.

Siapa pun bebas datang ke plasa tanpa ada pungutan biaya masuk.Plasa tidak hanya tanah lapang saja termasuk juga dengan taman kota pun menjadi bagian dari kehidupan manusia Eropa dan Amerika. Datang ke plasa atau taman kota di musim semi dan musim panas merupakan kegiatan rekreasi nan tidak mengeluarkan biaya alias gratis.

Penduduk kota dapat datang buat sekadar bersantai,menggelar pesta kecil di taman kota. Atau mengadakan mini konser menunjukan talenta seni dan performa art lainnya kepada khalayak ramai di plasa maupun di taman. Jadi, masyarakat Eropa merasa memiliki kepentingan bersama terhadap plasa sebagai ajang pengenalan dan media berekspresi.

Demikian pun dengan ruang publik nan ada di Indonesia, sebenarnya sedari zaman kerajaan nusantara, ruang publik itu sudah ada sejak kerajaan berdiri. Misalnya, alun-alun nan banyak dijumpai di Jawa. Alun-alun niscaya tempatnya di depan kabupaten. Fungsi alun-alun sama seperti plasa nan ada di kota Eropa. Dahulu, alun-alun menjadi loka berkumpulnya rakyat buat mendengarkan wejangan dari Raja atau Bupati. Alun-alun dipakai buat loka menggelar peradilan raja, terhadap penjahat dan eksekusinya pun dilaksanakan ditengah lapangan dan ditonton oleh masyarakat lain.



Hilangnya Plasa/Ruang Publik di Kota Besar

Memasuki era modern di mana orientasi pembangunan modern ialah mendirikan bangunan perkantoran, gedung komersial lainnya dan perumahan. Parahnya dalam merancang pembangunan kota, pemerintah dan pengembang tidak berpatokan pada kaidah blue print pembangunan kota nan ideal dan tertata. Akibatnya, developer main gusur saja dan memanfaatkan ruang publik seperti taman, situ dan lapangan olah raga, nan notabene ialah hak milik masyarakat luas, digusur buat dijadikan gedung komersial atau perumahan elit. Akibatnya, penduduk kota tidak kehilangan kesempatan buat berinteraksi, anak-anak kehilangan huma buat bermain.

Gara-gara tidak ada plasa loka berinteraksi, sikap masyarakat bergeser menjadi apatis, tidak ada rasa peduli dengan sesama. Masalah hilangnya ruang publik membuktikan betapa serakahnya manusia modern, atas nama pembangunan, mereka menggusur area pemukiman, masyarakat tercerabut dari komunitasnya, korban pembangunan tidak memilik daya buat melawan laju pembangunan nan tidak selamanya bermanfaat dan meberikan faedah bagi sebagian masyarakat kota.

Parahnya, kota sebesar seperti Jakarta sangat minim akan taman kota apalagi hutan kota tidak ada sama sekali, padahal hutan kota nan ditumbuhi pohon dan tanaman keras bermanfaat menyerap polusi udara nan dihasilkan dari mesin pabrik dan kendaraan bermotor. Tak heran Jakarta dan Surabaya masuk dalam daftar kota besar nan paling polutan di dunia. Dampaknya, penyakit ISPA dan taraf stress penduduk Jakarta lebih tinggi dari dari penduduk lain di Indonesia.



Mengembalikan Ruang Publik kepada Rakyat

Persoalan hilangnya plasa / ruang publik harus segara dicarikan solusi. Masalah ruang publik merupakan pekerjaan bagi pemerintah kota nan segara di selesaikan. Masyarakat dan ahli sosiologi dan dinas terkait harus diikut sertakan dalam mencari solusi pengadaan ruang publik, agar nanti tidak ada pihak nan dilangkahi dan dirugikan.

Plasa / ruang publik, taman kota dan hutan kota merupakan kebutuhan nan mendesak bagi kesehatan psikologi masyarakat kota.Pemerintah Kota Yogyakarta patut dijadikan panutan bagi kota lain. Pada masa pemerintahan Walikota Heri Zudiyanto, dia mengagendakan pembangungan taman kota dan ruang publik karena pentingnya ruang publik buat masyarakat kota di Yogyakarta, apalagi di masa itu Kota Pelajar minim akan ruang publik dan taman kota pun tidak digarap dengan baik. Apalagi perkampungan di Yogyakarta hampir menyerupai di kota besar lainnya.

Namun, berkat perencanaan nan matang dalam membangun ruang publik. Pemkot Yogyakarta menggandeng tokoh masyarakat, institusi pendidikan, para pakar merancang pembangunan kota nan sinkron dengan kebutuhan dan karakter orang Jogja. Awal kepemerintahan Heri Zudiyanto menekankan pembangunan taman kota, dan pengadaan ruang publik ditengah kampung.

Caranya, pemerintah kota membeli tanah atau huma dari masyarkat disetiap kampung dengan harga nan sinkron harga tanah nan berlaku.Tanah nan dibeli pemerintah kota merupakah hak milik pemkot buat dijadikan lapangan terbuka nan dapat dimanfaatkan oleh penduduk kampung itu, sebagai lapangan badminton, loka senam pagi, maupun posyandu dan cara kampung lainnya.

Jadi sekarang ini, setiap kampung di kota Yogyakarta niscaya ada ruang terbuka nan dijadikan sebagai loka berinteraksi sesama penduduk kampung. Demikian juga dengan pembangunan taman kota di Yogyakarta sangat diperhatikan sekali, mengingat fungsi taman kota tidak hanya menjadi hiasan saja, melainkan sebagai loka publik buat bersantai. Taman kota dijadikan semacam plasa nan menjadi daya tarik masyarakat Jogja dan turist buat sekadar bersantai di taman kota.

Demikianlah sedikit klarifikasi makna plasa nan sebenarnya, yakni ruang publik dan loka berinteraksi. Entah mengapa alasan kata plasa di Indonesia, kok dijadikan sebagai kata imbuhan nama gedung komersial, nan notabene bersebrangan dengan arti sebenarnya.