Perekonomian Penduduk Kamboja

Perekonomian Penduduk Kamboja

Penduduk Kamboja niscaya identik dengan suku Kmer di Kamboja. Negara nan berada di kawasan Indo-Ciina ini dulunya merupakan sebuah kerajaan nan di perintah oleh suku Khmer. Khmer ialah suku orisinil penduduk Kamboja, mereka terkenal dengan pagoda Angkor Wat. Sebagian besar dari mereka beragama Buddha Theravada dan juga beragama Islam, nan di bawa oleh masyarakat keturunan Cina. Iklim di Kamboja sama seperti di Indonesia, mereka juga mengenal musim hujan dan musim kemarau.



Sejarah Kamboja dan Penduduk Kamboja

Kamboja merdeka pada tanggal 9 November 1953 dari penjajahan Prancis setelah di jajah dari tahun 1863. Tahun 1954 Raja Norodom Sihanouk kembali dari pengasingannya di Thailand dan membentuk partai politik, kemudian memenangkan pemilu pada tahun itu. Pada maret 1963 tentara Amerika membombardir kawasan Kamboja buat membasmi pasukan Vietkong nan melarikan diri ke Kamboja. Penyerangan ini berlangsung sampai tahun 1973.

Year Zero adalah periode nan sangat tragis bagipenduduk kamboja. Hal ini diakibatkan oleh pembantaian terhadap lebih dari dua juta warga Kamboja sebab rezim Khmer Merah ingin membangun Kamboja dari awal. Rezim Khmer Merah ini dipimpin oleh Pol Pot. Pembantaian ini terjadi pada kurun waktu 1975 -1979. Pembantaian selain terhadap manusia juga terhadap semua sistim sosial, politik, dan agama. Khmer Merah mempunyai istilah “ to keep you no gain, to kill you no loose, to destroy ten comrades is better than to keep one enemy”



Kehidupan Sosial Budaya Penduduk Kamboja

Kamboja memiliki jenis bahasa sendiri (Khmer), mempunyai abjad nan banyak dan kosa kata nan terdiri dari gabungan beberapa huruf vokal. Agak mirip bunyinya dengan bahasa Aceh. Kesalahan pengucapan dan tekanan pada suara akan menyebabkan salah arti dan salah paham.

Makanan orang Kamboja bertolak belakang dengan Indonesia. Makanannya kaya akan bumbu juga beraroma asam, kecut ataupun manis sebab dicampur dengan daunan husus. Pong tie adalah salah satunya, menu ini merupakan rebusan telur bebek nan hampir menetas dan disajikan dengan salad dan saus tertentu.

Contoh lain ialah laba-laba dan jangkrik garing, keong rebus, Sach Kor Ang (semacam daging sapi bakar), Bro Hok Khte (ayam dimasak bersama dengan ikan fermentasi), Bor bor Dom Long (nasi lengket dengan ketela/singkong). Tentu saja deretan makanan nan aneh-aneh menurut selera orang Indonesia. Bagi kaum muslim susah mencari makanan nan halal di Kamboja, sebab semua kuliner nan disajikan di rumah makan ataupun café mengandung babi atau lemak babi.

Menurut survei pengidap HIV di negara ini juga mengalami peningkatan nan signifikan, sebab banyaknya tempat-tempat bordil di negara ini khususnya ibukota Phnom Penh. Dalam hal kebudayaan, Kamboja mirip dengan Bali. Baju tradisional hampir menyerupai baju tradisional Bali. Candi dan pagoda di Kamboja juga memiliki kemiripan dengan Prambanan dan Borobudur di Indonesia.



Perekonomian Penduduk Kamboja

Untuk membangun kembali Kamboja, tahun 2001 terbentuk Cooperation Committee for Cambodia yang terdiri dari LSM dan organisasi internasional. Survey tahun 2000, pendapatan penduduk Kamboja hanya setengah dari pendapatan per kapita rakyat Indonesia.

Kesenjangan sosial sangatlah mencolok, kelaparan, kemiskinan dan juga pengangguran. Narkoba ataupun senjata barah ialah hal generik pada saat itu. Tetapi kalau dibandingkan dengan masa Khmer Merah, kehidupan itu tentulah sangat bagus. Sebelum krisis ekonomi global, perkembangan ekonomi Kamboja berkisar 10% per tahun, tetapi sejak 2007 menurut IMF pertumbuhan ekonomi Kamboja mengalami kontraksi. Kamboja kaya akan migas dan pertambangan, khususnya batu granit.

Penduduk di Kamboja dapat memanfaatkan kekayaan alam nan mereka miliki buat meningkatkan perekonomian mereka. Hal lain nan sangat berperan ialah Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap. Yang berperan krusial dalam bidang pertanian, pariwisata, perikanan dan transportasi.



Penduduk Kamboja di Desa Terapung

Desa terapung di negara Kamboja sangatlah unik dan sporadis ditemukan di tempat-tempat lainnya di dunia. Ya, kita dapat bayangkan seperti apa desa nan terapung itu. Desa terapung ini berada di atas danau bernama Tonle Sap nan artinya ‘danau besar’. Tonle Sap merupakan danau air tawar paling besar di kawasan Asia Tenggara dan dikenal sebagai loka ekologi krusial di Kamboja.

Danau air tawar ini memang berbeda dengan danau-danau lainnya. Hal pertama nan membuat danau tersebut berbeda ialah sebab pasang saat musim muson dan surut saat musim kering. Kedua, genre air danau berubah sebanyak dua kali dalam satu tahun.



Rumah bagi Banyak Orang

Danau ini pun menjadi rumah bagi sebagian warga Kamboja sebab di sana ada beberapa desa terapung. Desa-desa terapung nan ditinggali oleh banyak warga Kamboja tersebut bisa dikunjungi oleh para wisaatwan dengan menggunakan perahu.

Dua desa terapung nan cukup terkenal di Tonle Sap ialah Desa Chong Kneas dan Kampong Khleang. Kedua desa tersebut sangat mengesankan. Perjalanan ke Tonle Sap memang sungguh-sungguh membuka cakrawala pengetahuan. Kita semua niscaya belum pernah melihat desa terapung seperti di sini dan heran bagaimana cara penduduk di sana mampu bertahan hayati di atas danau. Lalu, mengapa desa terapung bisa berkembang pesat di Tonle Sap?



Kehidupan di Tonle Sap

Selama ini, Tonle Sap dikenal sebagai salah satu lokasi tangkapan ikan paling banyak menghasilkan di dunia. Sebagian besar penduduk negara Kamboja bergantung hayati pada danau ini atau sekitar 75% kebutuhan tangkapan ikan dipenuhi dari Tonle Sap. Memang cukup rumit mengetahui betapa pentingnya Tonle Sap, tak hanya bagi penduduk di desa terapung, tetapi juga penduduk lainnya di seluruh wilayah Kamboja.

Dengan wisata perahu, para wisatawan akan mengetahui seperti apa kehidupan penduduk di Tonle Sap. Selain banyak dibangun rumah perahu, ada juga rumah anjung di pinggir danau. Sekolah terapung pun tersedia di Tonle Sap. Setiap harinya, anak-anak di sana mendayung bahtera dari rumah mereka menuju ke sekolah terapung.

Fasilitas lainnya ialah toko-toko terapung nan menjual berbagai barang dan jasa. Selain toko, banyak juga orang menggunakan bahtera kecil melintasi rumah warga buat berjualan sayur dan bahan makanan lain. Peternakan buaya pun ada di sini. Peternakan buaya di Tonle Sap merupakan sebuah industri nan cukup menjanjikan beberapa tahun lalu.

Namun, nan paling berkesan yaitu saat berjalan kaki menyusuri desa-desa di pinggir danau. Penduduk di desa-desa tersebut sebagian besar bekerja dengan memanfaatkan tangkapan ikan. Ada nan membuat terasi dan memasak ikan asap. Bahkan, ada juga nan memberi makan ayam dan bebek dengan ikan kering.



Jumlah Ponsel di Kamboja Tak Sebanding dengan Penduduk Kamboja

Seperti kita ketahui bersama bahwa Kamboja dikenal sebagai salah satu negara paling miskin di Asia Tenggara. Berdasarkan data nan diperoleh dari Bank Dunia, pendapatan rata-rata per kapita di sana ialah 1 dolar per hari. Walaupun begitu, jumlah kepemilikan ponsel di sana bisa dikatakan istimewa.

Meskipun hayati di bawah garis kemiskinan, hasrat penduduk negara Kamboja buat membeli telepon seluler tidak terbendung. Kini, penjualan kartu operator telekomunikasi nan telah dimasukkan ke dalam SIM card atupun ponsel berjumlah sekitar 20 juta unit. Jumlah ini jauh melewati jumlah penduduk di Kamboja nan hanya berjumlah 14 juta jiwa.

Kenapa hal tersebut dapat terjadi? Jawabannya sebab harga SIM card di sana hanya 2 dolar atau berada di bawah 20 ribu rupiah. Selain itu, kartunya pun mudah sekali dikembangkan menjadi kapasitas lebih besar. Tentu saja harga nan tidak terlalu mahal tersebut bukanlah cerminan bahwa pendapatan warga di Kamboja rendah. Tapi, hal itu ialah akibat dari persaingan operator telekomunikasi.

Itulah fakta-fakta tentang penduduk di Kamboja. Setelah mengenal lebih dekat penduduk Kamboja, Anda tertarik buat mengunjunginya, kan?