Filosofi Pembangunan Rumah Adat Sasak

Filosofi Pembangunan Rumah Adat Sasak

Sasak ialah nama suku orisinil di pulau Lombok, propinsi Nusa Tenggara Barat. Suku ini mendiami hampir 85% pulau Lombok. Suku Sasak memiliki rumah tradisional yaitu rumah adat suku Sasak .



Asal Kata Sasak

Dalam kitab Negara Kertagama karya Empu Nala dari Kerajaan Majapahit, disinggung tentang suku Sasak nan disebut sebagai ‘Lomboq Mirah Sak-sak Adhi’. Dari kalimat itu didapatkan kata Sak-sak atau Sasak.

Suku Sasak memiliki tatanan budaya nan terpelihara abadi dan mapan. Kemampuan suku Sasak mempertahankan eksistensi budayanya sangat gigih, ditandai dengan tetap terpeliharanya adat tradisi dan budayanya.



Rumah Adat Suku Sasak

Salah satu bukti adat suku Sasak masih terpelihara ialah dengan dilestarikannya rumah adat suku Sasak. Rumah tersebut secara fisik menyerupai lumbung padi dan disebut sebagai rumah adat Lumbung Sasak.

Bagi suku Sasak, rumah bukan hanya sebagai hunian belaka, namun juga memiliki keindahan serta pesan-pesan filosofis. Baik dari segi arsitektur maupun tata ruangnya.

Bagian atap rumah adat Lumbung Sasak berbentuk gunungan, landai ke bawah berjarak 1,5 hingga 2 meter dari permukaan tanah. Atap dan bubungan (bungus) terbuat dari alang-alang. Dinding atap dan plafon tersusun dari anyaman bambu dan tanpa jendela.

Bagian ruangan (rong) pada rumah adat suku Sasak dibagi menjadi tiga. Ketiganya ialah ruang induk (inan bale), ruang tidur (bale luar), dan loka penyimpanan harta benda, loka ibu melahirkan serta ruang persemayaman jenazah sebelum dimakamkan yakni bale dalam.

Bale dalam biasanya dilengkapi loka tidur bambu (amben), dapur, dan semacam lemari makan/rak piring (sempare). Ruangan (rong) juga dilengkapi ruang tamu (Sesangkok) dengan pintu geser.

Bagian pondasi terdiri dari dua bagian, yakni tangga (undak-undak) dan lantainya. Undak-undak berfungsi menghubungkan antara bale luar dan bale dalam. Undak-undak tersusun atas tiga anak tangga.

Sedangkan lantainya berupa campuran antara abu jerami, tanah serta kotoran kerbau/kuda, dan getah. Yang semua dicampur dan dijadikan sebagai pondasi lantainya loka bangunan rumah adat itu berdiri.



Filosofi Pembangunan Rumah Adat Sasak

Membangun rumah adat Lumbung Sasak harus sinkron dengan tata cara adat. Membangun rumah tak dilakukan begitu saja secara asal-asalan. Karena rumah bukan hanya berfungsi sebagai loka tinggal tapi juga memiliki fungsi sosial kemasyarakatan.

Banyak pertimbangan sebelum membangun rumah adat Lumbung Sasak. Pertimbangan tersebut berhubungan dengan material, waktu pembangunan, lokasi bangunan, arah hadap, tata ruang serta filosofi.

Pertimbangan kebutuhan juga salah satu dasar pembangunan rumah adat suku Sasak. Selain kebutuhan keluarga, kebutuhan kelompok juga menjadi pertimbangan. Konsep inilah nan menjadikan rumah adat suku Sasak tampak teratur, serasi dan filosofis. Ajaran Islam mendominasi dasar filosofis pembangunan rumah adat suku Sasak.

  1. Konstruksi berupa tiga anak tangga menggambarkan metamorfosis kehidupan manusia, saat lahir, berkembang dan mati. Atau simbol atas anggota keluarga yakni ayah, ibu dan anak.
  2. Empat tiang sebagai simbol dari syariat Islam, yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Ulama dan Qiyas.
  3. Arah hadap rumah adat menunjukkan berjenjangnya keturunan keluarga. Ruangan buat anak pertama dan kedua berbeda arah dan lokasinya. Ruang buat orangtua menempati taraf tertinggi, menyusul si sulung di ruang bawah dan seterusnya. Ruang orang tua menghadap timur sebagai simbol bahwa nan sepuh lebih dulu menerima kesadaran hayati dibandingkan nan muda.
  4. Pintu rumah nan menghadap timur atau antagonis arah dengan matahari terbenam. Maksudnya saat mereka keluar rumah mencari nafkah, maka nan pertama diharap ialah keridhoan Allah SWT atas rejeki, usia, dan nasibnya. Keridhoan Tuhan mereka harapkan melalui sholat dan ikhtiar.
  5. Kusen dan daun pintu nan rendah, hingga orang mesti merunduk ketika keluar masuk rumah. Posisi membungkuk/merunduk itu diibaratkan sebuah etika dan wujud penghormatan sang tamu kepada si pemilik rumah.
  6. Bentuk lumbung nan mengajarkan kepada masyarakat agar hayati berhemat, tak boros. Dengan selalu menabung hasil pencaharian nafkah hidupnya nan disimbolkan oleh padi dalam lumbung tersebut.



Rumah Adat Jineng Sudah Mendunia

Rumah adat suku Sasak nan biasa disebut dengan jineng ini bukan lagi menjadi batasan nan hanya dikenal oleh penduduk lokal Indonesia saja. Namun juga sudah cukup dikenal baik oleh para ekspatriat.

Banyak para ekspatriat baik nan memang tinggal di Indonesia sendiri, maupun para ekspatriat nan kebetulan pernah mengunjungi Indonesia; pada umumnya mereka tertarik buat membawa konsep rumah adat jineng suku Sasak ini sebagai loka tinggalnya.

Beberapa dari mereka tertarik buat mengusung konsep rumah jineng, sebab berbagai hal dan alasan. Di antaranya, sebab merasa tertarik dengan filosofi dari pembangunan rumah adat tersebut. Dan sebagian nan lain sebab lebih tertarik secara fisik dan visual, dari bentuk dan kealamian rumah adat jineng. Apapun alasan mereka, semua sah-sah saja.

Nah, kalau dipikir, sebagai orang asing nan bukan orisinil bangsa Indonesia sendiri saja mampu menghargai adat budaya lokal bangsa Indonesia; mengapa Anda sebagai orang orisinil Indonesia tak berusaha mencintai adat budaya bangsa sendiri. Sebagai contoh, menyukai, menggunakan dan melestarikan rumah-rumah adat suku Sasak, ataupun rumah adat suku manapun juga.

Mungkin ada beberapa faktor nan biasanya menjadi kendala. Banyak orang lokal nan justru sudah sporadis melestarikan penggunaan rumah-rumah adat orisinil seperti itu. Karena terbentur beberapa masalah. Di antaranya adalah:

  1. Terbentur pada mahalnya bahan-bahan pembuatan rumah adat tersebut. Baik dari sisi materialnya maupun mempertahankan konsepnya.
  2. Terbentur pula pada mahalnya biaya penyelenggaraan dalam mendirikan bangunan tersebut. Karena pada umumnya rumah-rumah adat suku Sasak, seperti rumah jineng ini, tak dibangun secara sembarangan. Namun harus melampaui beberapa ritual nan generik diadakan. Yang biasanya ritual dan upacara nan dilakukan itu merogoh cukup banyak uang.

Sehingga secara generik permasalahan nan dihadapi ialah permasalahan ekonomi. Dan biasanya, hal ini justru tak menjadi hambatan bagi para kaum ekspatriat.

Sehingga, dengan mengingat itu semua. Tidak ada salahnya bagi para kaum kaya dan berada Indoneisia, buat tak sekedar latah dan tergila-gila pada konsep rancang bangun atau arsitektur luar negeri saja. Apabila, bila dengan menggali kekayaan ragam arsitektur bangsa sendiri; sebenarnya Anda bisa menemukan kepuasan nan sama.

Sehingga akibat positif nan diharapkan adalah, setidaknya warisan budaya dan filosofi dari rumah adat suku Sasak seperti jineng ini; bisa dipertahankan. Meski bukan oleh suku Sasak sendiri. Tapi oleh suku bangsa lain, nan masih tetap sebagai satu kesatuan bangsa Indonesia sendiri.

Jangan sampai satu persatu hal terindah nan diwarisi oleh nenek moyang bangsa Indonesia, perlahan-lahan di claim oleh pihak asing sebagai budaya dan adat istiadat negerinya.

Hal ini juga bisa menjadi suatu titik tolak pencerahan bagi para kaum muda nan kebetulan bergerak di bidang rancang bangun, dan global property di tanah air. Untuk membudayakan muatan lokal arsitektur Indonesia menjadi muatan nasional bangsa Indonesia. Misalnya dengan membuat suatu komplek perumahan nan bertemakan rumah jineng, atau rumah adat suku Sasak. Nah! Siapa nan mau mulai mencoba?