Indonesia Serambi Brazil dari Asia

Indonesia Serambi Brazil dari Asia

Pernah mendengar istilah bahwa Aceh ialah serambi Mekah? Maksudnya, Aceh menjadi citra awal tentang Mekah nan kuat dengan ajaran Islamnya. Ya, tak hanya buat masalah agama saja, kata "serambi" dipakai buat menyebutkan sebuah loka atau sebuah kelompok nan menandakan kelompok lain. Istilah "serambi" juga dipakai di global sepak bola.

Brazil, di global sepak bola terkenal dengan permainan atraktif dari masa ke masa. Dari negeri Samba, terlahir para pemain bintang. Mulai dari zaman Pele, Zico, Romario, Rivaldo, Ronaldo, Ronaldinho, Kaka, hingga Alexandre Pato. Permainan Brazil sendiri sudah dijadikan kiblat sepak bola dari masa ke masa. Semua negara ingin menjadi seperti Brazil, baik dari segi gaya bermain bola maupun gelar kampiun sebab Brazil ialah pemenang Piala Global terbanyak (5 kali).

Yang unik, ada dua negara nan mendapatkan predikat sebagai serambi Brazil. Negara-negara ini bagaikan contoh awal tentang kehebatan Brazil. Percaya atau tidak, Indonesia termasuk salah satunya. Kalau di Eropa ada Portugal nan bergelar serambi Brazil, di Asia ada negara Indonesia.



Portugal Serambi Brazil di Eropa

Sebenarnya, wajar kalau Portugal disebut serambi Brazil di Eropa. Portugal dari masa ke masa juga sudah melahirkan pemain-pemain berbakat. Mulai dari zaman Eusebio di era 1960-an, hingga Cristiano Ronaldo. Para pemain Portugal nan memang memiliki skill individu tinggi ini, dipadu dengan kekompakan Timnas Portugal nan berseragam merah-hijau.

Sayangnya, Portugal sering sial ketika berlaga di turnamen sekelas Euro atau Piala Dunia. Pencapaian apik mereka baru terjadi pada awal dasa warsa 2000-an. Bahkan, hingga saat ini, serambi Brazil dari Eropa ini tidak dapat mencatatkan prestasi memenangi gelar kampiun Euro. Ya, Portugal sang serambi Brazil terakhir kali mencapai final Euro pada 2004 ketika piala Eropa digelar di kandang mereka sendiri.

Istilah Portugal sebagai serambi Brazil sudah lama didengungkan. Namun, baru menguat sejak periode 1990-an. Kala itu, muncul istilah Geração de Ouro atau Generasi Emas bagi Portugal. Maklum, saat itu Timnas Portugal memang seperti kelebihan stok pemain bintang. Ada Vitor Baia di posisi kiper. Di lini belakang, Portugal memiliki Fernando Couto. Di sektor lini tengah ada Paolo Sousa, Manuel Rui Costa, dan Luis Figo nan begitu andal. Semua pemain bintang Portugal itu meperkuat klub elite Eropa.

Dengan skuad nan fantastis, semestinya Portugal bisa meraih kesuksesan. Namun, apa daya. Semua itu belum terwujud hingga Piala Eropa 2000 nan digelar di Belgia dan Belanda. Kala itu, semua publik sepak bola sudah mewanti-wanti bahwa inilah peluang terakhir bagi Geração de Ouro buat menghasilkan gelar bagi serambi Brazil dari Eropa.

Saat itu, usia Geração de Ouro memang rata-rata di angka 27-29 tahun nan merupakan usia puncak dalam karier sepak bola. Terpicu dengan keadaan ini, Portugal tampil luar biasa. Mereka mampu lolos ke semfiinal Euro 2000. Namun, di sinilah mereka terganjal oleh Prancis.

Sebuah insiden terjadi di babak perpanjangan waktu. Abel Xavier, bek Portugal, kedapatan terkena bola di tangannya. Ia rebah tidak berkutik, sementara wasit menunjuk titik putih. Zinedine Zidane nan tampil sebagai algojo berhasil mencetak gol kemenangan sekaligus mengantar Prancis ke final.

Sementara itu, Geração de Ouro meratap sebab kesempatan serambi Brazil buat lolos ke final pertama kalinya gagal. Setelah hasil menyakitkan itu, Portugal kembali melempem di Piala Global 2002. Kesempatan datang di Euro 2004 nan digelar di kandang sendiri.

Kala itu, cuma Luis Figo nan tersisa dari Geração de Ouro . Namun, ditingkahi dengan kehadiran Cristiano Ronaldo, Portugal mampu tampil maksimal. Mereka lolos ke final. Sayangnya, kali ini Portugal dibekap kuda hitam Yunani 0-1, tim nan sama nan pernah mengalahkan mereka di pertandingan pertama Euro 2004.

Portugal mencoba peruntungan lagi di Piala Global 2006. Namun, lagi-lagi mereka kandas oleh Perancis. Portugal gagal ke semifinal setelah dibekap 0-1 oleh tim Ayam Jantan. Di babak perebutan loka ketiga, serambi Brazil ditelan Jerman 1-3. Selepas Piala Global 2006, Portugal kembali menjadi tim bintang dengan hasil nan mengecewakan.

Meskipun memiliki deretan pemain seperti Cristiano Ronaldo, Helder Postiga, Nani, dan Joao Moutinho, nyatanya serambi Brazil tak banyak berbicara. Mereka tersingkir di perempat final Euro 2008 dari Jerman. Kemudian, di Piala Global Afrika Selatan 2010, serambi Brazil sudah angkat kopor di babak 16 besar.



Indonesia Serambi Brazil dari Asia

Lain Portugal, lain pula Indonesia. Negara kita disebut sebagai serambi Brazil sejak era 2000-an. Bukan sebab kekuatan Timnas Garuda, namun sebab kita memiliki pemain dengan skill individu nan tinggi. Sebutlah saja nama Budi Sudarsono, Elie Aiboy, Kurniawan Dwi Yulianto, atau nan sekarang seperti Oktovianus Maniany. Aksi-aksi mereka dianggap layak membuat Indonesia dilabeli gelar serambi Brazil.

Masalah prestasi, Indonesia masih sangat jauh daripada Portugal sang serambi Brazil Eropa, apalagi Brazil. Negara kita baru empat kali lolos ke Piala Asia. Satu di antaranya berkat menjadi tuan rumah bersama pada Piala Asia 2007. Dari empat kali tampil di Piala Asia itu, rekor kita lumayan buruk. Indonesia bermain 12 kali, cuma menang 2 kali, seri 2 kali dan empat kali kalah. Timnas Garuda juga cuma dapat mencetak 10 gol dan terbobol 28 kali.

Sebuah hal nan membuat Indonesia tak berhak menyandang embel-embel Serambi Brazil jika dilihat dari hasil semata. Namun, masalah peragaan skill di lapangan, memang kita dapat berbangga. Siapa pun tak akan pernah lupa dengan gol spektakuler Widodo C. Putro di Piala Asia 1996. Kala itu, menghadapi Kuwait, sebuah tendangan salto Widodo nan membelakangi gawang, berhasil membuat Indonesia unggul 1-0. Sayang, meski mendapatkan gol tambahan dari Ronny Wabia sehingga unggul 2-0, Indonesia gagal menahan laju Kuwait nan sukses memaksakan hasil imbang.

Gol Widodo ini terpilih sebagai gol terbaik turnamen taraf Asia tersebut. Selain gol Widodo nan diakui oleh global internasional, timnas kita juga selalu memperagakan permainan menyerang dari waktu ke waktu, meski permainan ini hanya berlaku ketika menghadapi tim-tim lemah di Asia Tenggara. Ya, ketika berhadapan dengan Laos, Kamboja, atau Brunei Darussalam, timnas kita akan memperagakan permainan ala serambi Brazil nan begitu atraktif.

Kelemahan mental menghadapi negara besarlah nan membuat timnas Garuda tak dapat berkembang. Sekali melawan tim negara Arab atau Asia Timur, bayangan akan digelontor 0-4 sudah membayang. Alhasil, permainan atraktif ala serambi Brazil ketika menghadapi negara gurem, berubah menjadi permainan kaku nan seolah tak niat bermain. Seiring dengan meningginya atensi sekaligus tekanan penduduk Indonesia sejak awal dasa warsa 2010-an, layak ditunggu apakah negara kita dapat membuktikan diri sebagai serambi Brazil atau tidak.

Yang paling unik, dua tim senior negara nan disebut serambi Brazil, Portugal dan Indonesia, sama-sama belum pernah memboyong gelar kampiun taraf konfederasi masing-masing (UEFA dan AFC) apalagi dunia. Apakah dilabeli serambi Brazil menjadi beban mental tersendiri bagi kedua negara ini? Ataukah ini sebuah kutukan buat negara nan dilabeli serambi Brazil, padahal sang Brazil orisinil sudah memboyong Piala Global lima kali?