Nilai Moral dari Legenda Sangkuriang
Nama legenda Sangkuriang tentu tidak asing bagi telinga para penikmat cerita legenda. Legenda Sangkuriang ini telah diwariskan secara turun temurun melalui berbagai media, mulai dari media tulis, didongengkan dari mulut ke mulut oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya. Selain itu, legenda Sangkuriang pun dipentaskan dalam sebuah drama pertunjukan, hingga diangkat ke layar layar kaca dalam kemasan cerita legenda.
Legenda Sangkuriang berasal dari masyarakat Sunda dan memiliki kaitan erat dengan kisah terciptanya Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul. Pada awalnya, legenda Sangkuriang diceritakan secara lisan dan baru ditulis menjadi naskah cerita akhir abad ke-15 hingga abad ke-16 Masehi. Naskah legenda Sangkuriang ditulis oleh pangeran Bujangga Manik alias Pangeran Jaya Pakuan di atas lembaran-lembaran daun palem.
Dalam legenda Sangkuriang, Pangeran Jaya ialah seorang pangeran nan melakukan peziarahan kudus mengunjungi tempat-tempat kudus agama Hindu di Pulau Jawa-Bali, nan pertama kali menulis legenda Sangkuriang. Pangeran itu bernama Bujangga Manik atau Ameng Layaran nan melakukan perjalanan kudus itu sekitar akhir abad ke-15. Legenda Sangkuriang bercerita mengenai asal usul terbentuknya Gunung Tangkuban Bahtera di dataran Sunda.
Legenda Sangkuriang menceritakan sosok pemuda nan mencintai ibu kandungnya sendiri, yaitu Dayang Sumbi. Legenda Sangkuriang ini berawal dari kehidupan sepasang suami istri nan memiliki seorang putra bernama Sangkuriang. Dampak sebuah kutukan jahat, sang suami tak bisa hayati normal dalam rupa manusia, melainkan harus menjalani hayati sebagai seekor anjing. Meskipun demikian, sang istri nan bernama Dayang Sumbi tetap setia mendampingi suaminya nan berwujud seekor anjing tersebut.
Dalam legenda Sangkuriang, Sangkuriang tak mengetahui bahwa sosok anjing tersebut ialah ayah kandungnya. Meski demikian, Sangkuriang sangat menyayangi anjing nan diberi nama Tumang tersebut. Suatu ketika, Dayang Sumbi berkeinginan menyantap hati rusa. Ia menyuruh Sangkuriang putranya buat berburu rusa di hutan. Namun apa daya, meskipun telah berusaha keras, Sangkuring tak mendapatkan seekor rusa buat dipersembahkan hatinya kepada sang bunda tercinta.
Takut mengecewakan sang Ibu, Sangkuriang kemudian membunuh anjingnya nan bernama Tumang dan memberikan hatinya kepada sang Ibu. Sangkuriang sama sekali tidak menyadari bahwa ia telah membunuh ayahnya nan berwujud seekor anjing. Namun pada akhirnya, Dayang Sumbi mengetahui bahwa nan dimakannya bukanlah hati rusa, melainkan hati si Tumang, suaminya sendiri. Maka murkalah Dayang Sumbi. Akibatnya, Sangkuriang dipukul dan diusir selama-lamanya dari kediaman mereka.
Setelah bertahun-tahun lamanya mengembara sebab diusir sang Bunda, Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda dewasa nan gagah dan tampan. Tanpa diduga, pada suatu hari, Sngkuriang kembali bertemu dengan Dayang Sumbi nan masih tetap cantik jelita. Keduanya pun kemudian saling jatuh cinta. Sangkuriang sama sekali tak menyadari bahwa Dayang Sumbi ialah ibu kandungnya. Demikian pula Dayang Sumbi pun tidak menyadari bahwa pemuda nan dicintainya merupakan putra kandungnya, Sangkuriang, nan telah diusirnya bertahun-tahun nan lalu.
Namun seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan Dayang Sumbi mulai mengetahui jati diri pemuda nan dicintainya. Ia mengenali bahwa pemuda itu ialah Sangkuriang, putra kandungnya, setelah melihat bekas luka pukulan di kening sang pemuda rupawan tersebut. Luka dampak pukulan di kening tersebut mengembalikan ingatan Dayang Sumbi ketika marah besar setelah sangkuriang membunuh si Tumang.
Namun rupanya, Sangkuriang tidak menyadari bahwa Dayang Sumbi ialah ibu kandungnya. Pemuda tampan tersebut bersikeras buat menikahi Dayang Sumbi nan telah dicintainya sebagai seorang kekasih. Karena Sangkuriang benar-benar bertekad buat menikahinya, maka Dayang Sumbi mensyaratkan sesuatu nan harus dipenuhi oleh Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta Sangkuriang buat membuat sebuah bahtera raksasa dalam waktu hanya satu malam. Jika Sangkuriang sukses membuatkan bahtera tersebut, Dayang Sumbi berjanji buat bersedia dinikahi oleh Sangkuriang.
Dalam legenda Sangkuriang , Sangkuriang pun menyanggupi syarat nan diajukan Dayang Sumbi. Tanpa diduga, ternyata Sangkuriang sanggup membuatkan sebuah bahtera raksasa buat Dayang Sumbi. Maka Dayang Sumbi pun kemudian bersiasat buat menggagalkan upaya Sangkuriang. Ia pun kemudian membangunkan ayam-ayam jantan dengan membuat mereka berkokok sebelum waktunya. Merasa gagal, Sangkuriang pun kemudian murka.
Di tengah kemarahannya, Sangkuriang menendang bahtera raksasa nan dibuatnya. Bahtera raksasa itu pun kemudian terbalik dan berubah menjadi sebuah gunung. Gunung tersebut kemudian dikenal dengan nama Gunung Tangkuban Bahtera atau sebuah gunung nan terbentuk dari bahtera nan menelengkup.
Gunung Tangkuban Bahtera nan dikenal sebagai warisan dari legenda Sangkuriang ini berlokasi di perbatasan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Subang, Jawa Barat. Gunung ini menjulang ke angkasa dengan ketiggian 2.076 meter. Gunung Tangkuban Bahtera dapat dicapai dari Kota Bandung setelah melakukan perjalanan ke arah utara sekitar 29 km atau jika Anda datang dari arah Subang dapat mencapai gunung ini setelah melakukan perjalanan kurang lebih 60 km.
Nilai Moral dari Legenda Sangkuriang
Legenda Sangkuriang memberikan pelajaran moral bahwa manusia tak boleh hayati dalam kuasa ego, melainkan harus menggunakan nurani sebelum melakukan sebuah tindakan. Dalam legenda Sangkuriang ini, sifat egosentris diwakili oleh sosok Sangkuriang nan keras kepala, tak mau mendengarkan nasihat ibunya, serta tak mau menerima fenomena bahwa Dayang Sumbi nan dicintainya ternyata ibu kandungnya sendiri. Sementara, nurani terwakilkan oleh sosok Dayang Sumbi nan masih bisa menggunakan hati nurani sebagai landasan buat bertindak. Ketika ia menyadari bahwa Sangkuring ialah putra kandungnya, maka hati nuraninya pun berontak buat menghentikan egoisme Sangkuriang nan bersikeras ingin menikahinya.
Di balik Legenda Sangkuriang, ternyata terdapat fakta geologi nan terkait dengan terbentuknya Danau Bandung dan juga Gunung Tangkuban Parahu. Sebuah penelitian geologis menunjukkan bahwa di kawasan tersebut, dahulu kala merupakan sebuah danau purba nan telah berumur 125 ribu tahun, dan diperkirakan mengering sekitar 16.000 tahun nan lalu. Lembah loka danau purba dulu berada kini menjadi sebuah kota nan dikepung pegunungan sehingga selalu berhawa sejuk. Kota ini kemudian dikenal dengan Bandung, nan jika dikaitkan dengan legenda Sangkuriang sering disebut sebagai cekungan Bandung sebab memang berada di cekungan bekas danau purba.
Sementara, terkait fakta terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu, para geolog mencacat adanya dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing pada 105.000 dan 55.000 hingga 50.000 tahun nan lalu. Letusan Plinian kedua telah mengakibatkan runtuhnya kawah Gunung Sunda purba, nan kemudian membentuk Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang atau nan terkenal dengan sebutan Gunung Sunda, dan Gunung Bukittunggul.
Legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi merupakan citra bahwa masyarakat Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung sejak ratusan ribu tahun nan lalu. Mereka diperkirakan juga menjadi saksi letusan Plinian kedua nan meluluhlantakkan kawasan sebelah barat Sungai Citarum nan merupakan pemukiman penduduk. Masa tersebut diperkirakan sebagai periode kehidupan manusia Homo sapiens ; sebuah era manusia purba nan diperkirakan telah hayati di Australia selatan pada 62.000 tahun nan lalu, nan dapat dikatakan seumuran dengan Manusia Jawa (Wajak) nan hayati sekitar 50.000 tahun nan lalu.