Perlunya Revisi UU Keselamatan Kerja
Untuk memberikan konservasi terhadap para tenaga kerja, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970, UU Keselamatan Kerja . Melalui undang-undang ini pemerintah mengatur hak dan kewajiban para pengusaha maupun para tenaga kerja, nan bekerja di suatu perusahaan agar bisa menjalankan fungsinya secara optimal.
Keberadaan undang-undang ini merupakan pemugaran dan pembaharuan terhadap peraturan tentang keselamatan kerja nan diatur dalam Veiligheidsreglement tahun 1910 (Stbl. No 406). Dibandingkan peraturan nan lama dan antik tersebut, memang banyak hal telah terakomodasi dalam undang-undang nan baru. Sejumlah ketentuan baru tentang konservasi kerja juga lebih detail serta cakupannya juga lebih luas.
Pentingnya Alat Keselamatan Kerja
Berbagai masalah bisa terjadi ketika karyawan tidak lagi utamakan keselamatannya, khususnya ketika di lapangan. Sering kita saksikan di media massa warta mengenai kecelakaan-kecelakaan dalam sebuah proyek hanya sebab sepatu nan digunakan tak sinkron dengan baku APD buat pekerjaannya.
Dokter kandungan atau tenaga medis nan tertular penyakit menular seksual sebab tebal, panjang, dan lebar hand scone-nya tak sinkron dengan nan tercantum dalam standar. Tangan seorang pekerja laboratorium melepuh sebab terkena tumpahan senyawa keras dan masih banyak lagi contoh kecelakaan di lapangan.
Melihat kondisi nan sedemikian parahnya, siapa nan patut dipersalahkan? Hampir setiap hari korban berjatuhan hanya sebab kurangnya pencerahan buat utamakan keselamatannya dalam bekerja. Agaknya jika diurut-urut dari taraf terendah (karyawan) hingga pejabat sistem di negeri ini mengenai siapa nan patut dipersalahkan, akan terjadi lempar-melempar tanggung jawab nantinya.
Ya, sebab pemerintah sudah merasa membuat suatu mekanisme tetap nan dituangkan dalam undang-undang, sedangkan pihak perusahaan merasa tidak cukup dana sebab perhitungan finansial. Tapi, karyawan nan notabene dengan masyarakat dengan kondisi ekonomi dan pendidikan nan paspasan, sudah merasa kondusif dan cukup dengan APD nan dikenakan.
Catatan dari penjelesan tersebut, yaitu jangan membayangkan semua perusahaan itu besar dengan surplus nan besar-besar pula, sehingga cukup dana buat melengkapi APD mulai dari kepala hingga safety belt!
Bagi pekerja nan bertugas dalam sebuah gedung perkantoran, duduk di kursi dan memiliki meja kerja nan nyaman dalam sebuah ruangan ber-AC, akan memiliki risiko kecelakaan kerja nan begitu minim dibanding mereka nan bekerja di lapangan.
Bagi para pekerja kantoran, faktor nan rawan terjadi dan menjadi kasus kecelakaan kerja hanyalah bala alam, seperti gempa dan robohnya gedung perkantoran tersebut. Namun, itupun begitu minim kemungkinannya. Perbandingannya begitu kecil dibanding mereka nan bekerja di luar gedung perkantoran.
Kasus kecelakaan kerja bagi setiap pekerja terjadi dampak faktor-faktor keselamatan kerja nan kerap diabaikan, baik oleh perusahaan maupun oleh pekerja itu sendiri. Fasilitas keselamatan nan tak disediakan oleh perusahaan dan pekerja nan tak mematuhi, serta memakai fasilitas keselamatan kerja ialah contoh bertambahnya kasus kecelakaan kerja.
Padahal, keselamatan kerja merupakan krusial dalam sebuah proses kerja. Pemerintah pun memuatnya dalam sebuah peraturan perundang-undangan nan mesti ditaati oleh seluruh elemen ( stakeholder ) kerja.
Undang-undang keselamatan kerja akan mengurangi kasus kecelakaan kerja. Undang-undang telah mengatur sedemikian rupa agar kecelakaan kerja bisa diminimalisasi dengan dicantumkannya hak dan kewajiban pekerja serta perusahaan dalam sebuah proses kerja. Jika terjadi kecelakaan kerja, diharapkan dilakukan tindakan dan mekanisme nan sahih dalam penanganannya.
Undang-undang keselamatan kerja mengatur peraturan mekanisme proses kerja. Baik nan ditujukan pada perusahaan, meliputi pemenuhan fasilitas keamanan kerja, maupun nan ditujukan pada pekerja, meliputi kewajiban penggunaan fasilitas guna keselamatan kerja.
Dalam UU Keselamatan Kerja pasal 3, disebutkan bahwa UUD Keselamatan Kerja dibuat buat mengurangi kasus kecelakaan kerja nan mungkin saja terjadi. Misalnya, mengurangi atau mencegah timbulnya kebakaran, ledakan, radiasi, keruntuhan, dan berbagai kemungkinan kecelakaan lain.
Undang-undang keselamatan kerja pun mengatur kemestian nan perlu diperhatikan oleh perusahaan pengelola maupun pengembang. Penyelenggaraan kelembapan suhu dan udara nan baik, ketertiban dan kesehatan dalam bekerja, pengamanan dan pemeliharaan berbagai macam bahan bangunan, dan tanggap cepat darurat jika terjadi kasus kecelakaan kerja, merupakan beberapa kemestian dalam pengerjaan suatu proyek.
Bahkan, jika terjadi kecelakaan kerja, undang-undang pun mengatur keselamatannya. Petugas nan berwenang mesti melaporkan tiap kasus kecelakaan nan terjadi. Hal tersebut dimaksudkan agar bisa segera dilakukan penanganan atas kecelakaan nan terjadi dan bisa diketahui bentuk kecelakaannya dengan sahih sehingga mendapat penanganan nan baik dan sinkron dari segi lahiriah dan materi.
Pekerja mesti menggunakan fasilitas keselamatan kerja dan menaati seluruh mekanisme kerja agar bisa terhindar dari risiko kecelakaan. Menggunakan dan menaati mekanisme keselamatan kerja hukumnya wajib bagi setiap pekerja. Undang-undang pun mengaturnya dalam pasal 12 Undang-Undang Keselamatan Kerja. Penggunaan dan penaatan alat-alat konservasi diri tersebut dan segala bentuk prosedurnya, diawasi dan dipertanggungjawabkan oleh pengawas kerja di lapangan.
Segala bentuk kasus kecelakaan kerja akan dimintai keterangannya dari pengawas kerja di lapangan karena pengawaslah nan dianggap paling mengetahui kronologis terjadinya kecelakaan kerja. Undang-undang keselamatan kerja dibuat bukan sekadar menjadi pajangan atau kerjaan para wakil rakyat buat meninjaunya kembali secara berkala.
Undang-undang keselamatan kerja dibuat agar sebuah proses kerja bisa terselenggara dan berjalan dengan baik. Terlebih, bisa mengurangi, bahkan mencegah terjadinya kecelakaan kerja nan bisa membahayakan jiwa para pekerja.
Bila demikian adanya, diperlukan suatu kerjasama nan berkesinambungan antara tiga lapisan tersebut. Pemerintah dengan upayanya perbaiki sistem pajak, naikkan progresivitas angka usaha penanggulangan korupsi, dsb.
Untuk perusahaan pun demikian, seyogyanya utamakan keselamatan kerja karyawan dengan sediakan semua APD secara lengkap sinkron jenis pekerjaan disertai edukasi nan terus menerus mengenai cara penggunaan, pentingnyautamakan keselamatan kerjabeserta langkah-langkahnya, dll. Bila perlu adakan pelatihan PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) dari taraf basic hingga advance kepada karyawan.
Sedangkan, karyawan pun dituntut buat secara aktif membantu jalankan sistem dengan disiplin terhadap peraturan nan diterapkan guna utamakan keselamatan kerja, gunakan APD sinkron dengan jenis pekerjaan.
Dunia kerja sekarang ini memang sangat keras dan semua orang bersaing buat mendapatkan laba nan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan dan mempedulikan keselamatan kerja karyawan.
Selain peralatan atau fasilitas keamanan nan kurang menjamin, pengetahuan mengenai hukum keselamatan para karyawan juga sporadis dipahami oleh para pegawai. Banyak perusahaan nan tak memedulikan keselamatan kerja karyawannya.
Perlunya Revisi UU Keselamatan Kerja
Sebagai negara berkembang, Indonesia terus menggenjot berbagai sektor buat meningkatkan dan menyokong proses pembangunan. Salah satu upaya nan tidak pernah surut diusahakan ialah meningkatkan nilai investasi partikelir dalam pembangunan. Para pengusaha, baik dalam negeri maupun dari luar negeri, mendapatkan kemudahan agar mau menanamkan investasi di Indonesia.
Salah satu kegunaan keberadaan investasi partikelir di negara ini tentu saja buat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. Apalagi dengan jumlah penduduk usia kerja nan besar dan jumlah pengangguran nan makin menggunung, peran partikelir tentu saja sangat dinantikan. Dengan makin banyaknya orang nan bekerja tentu konsumsi akan meningkat, sehingga dinamika ekonomi juga akan bisa terjaga.
Namun, ketergantungan nan hiperbola terhadap sektor partikelir menyimpan kelemahan, terutama dari segi konservasi terhadap tenaga kerja Indonesia. Konservasi semacam ini bukan saja menyangkut aspek keselamatan kerja, namun juga penghargaan terhadap prestasi kerja.
Masalah penghargaan juga berkaitan erat dengan kinerja dan sumbangan karyawan terhadap keuntungan perusahaan. Sayangnya, undang-undang keselamatan kerja kurang mengatur masalah ini.
Begitu juga dengan fakta adanya disparitas perlakuan antara tenaga kerja asing dengan tenaga kerja kita, terutama nan diberlakukan industri atau perusahaan PMA (Penanaman Kapital Asing).
Tak perlu menutup mata terhadap kenyataan, tidak sedikit kasus disparitas penerimaan gaji antara tenaga kerja asing dengan tenaga kerja dalam negeri. Begitu juga dengan fasilitasnya tidak sporadis dibedakan berdasarkan asal negara dari tenaga kerja nan bersangkutan.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 sebenarnya telah menyebutkan tentang kemungkinan terjadinya ketidaknyamanan para tenaga kerja dalam bekerja. Namun, sebab pengertian masalah ini lebih bersifat fisik dalam bentuk kecelakaan kerja, tak dapat menyentuh faktor psikologis. Padahal sejumlah kasus ketenagakerjaan kerap terjadi dampak disparitas perlakuan tersebut.
Begitu juga dengan perkembangan dinamika industri nan makin pesat, terutama dampak banyaknya temuan baru di bidang teknologi, belum terakomodasi dalam undang-undang keselamatan kerja. Sejumlah undang-undang lain telah banyak mengalami revisi dan pembaharuan.
Tampaknya UU Keselamatan Kerja nan merupakan produk tahun 1970 perlu segera direvisi dan menyesuaikan dengan empiris dan kebutuhan baru nan makin berkembang.