Mempelajari Makna di Balik Simbol-simbol
Manusia disebut juga dengan istilah homo humanus, yakni manusia nan berbudaya. Budaya itu sendiri merupakan produk dari masyarakat. Karena itu, perubahan nilai-nilai agama pada masyarakat akan berpengaruh pula pada perubahan budayanya.
Jika Anda hayati pada tahun-tahun awal setelah kedatangan Islam di Indonesia, maka Anda akan terlibat dalam proses akulturasi budaya secara langsung. Lebih jelasnya, Anda akan menyaksikan munculnya perkawinan, tumpang tindih, atau akulturasi budaya antara tradisi Islam dengan tradisi lokal .
Namun sebelumnya, Anda harus tahu bahwa sebelum Islam masuk ke Indonesia, budaya masyarakat nan telah ada sebelumnya ialah produk dari agama Hindu dan Budha. Hindu nan berasal dari India dan Budha nan berasal dari Cina.
Di sisi lain, tentu Anda juga akrab dengan ayat Al Kafirun ayat 6, “ Untukmu Agamamu, dan Untukku agamaku.” Ayat itu memberikan garis tegas nan memisahkan Islam dengan agama lain. Sehingga, sering kali muncul konflik di tengah akulturasi budaya antara tradisi Islam dengan tradisi lokal, nan notabenenya ialah akulturasi antara tradisi Islam dengan agama non-Islam, yakni Hindu dan Budha.
Salah satu bentuk akulturasi nan sempat memanas di antara kaum muslim ialah masalah yasinan . Di dalam yasinan , terdapat akulturasi tradisi Islam dengan pembacaan surat yasin serta kalimah thoyibah dan tradisi lokal (Hindu dan Budha) berupa “berkumpul-kumpul.” Lantas, bagaimana cara menyikapi akulturasi budaya antara tradisi islam dengan tradisi lokal?
Tidak mengedepankan kekerasan
Jihad Islam merupakan jihad perdamaian, dan Islam sama sakali tak mengajarkan bentuk kekerasan, alih-alih menyulut peperangan. Untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Islam memberikan tuntunan dengan cara,
- Tangan atau kekuasaan. Jika Anda seorang pemimpin, maka sebaiknya pergunakan kekuasaan atau wibawa Anda.
- Ucapan. Yakni dengan menegur, menasehati, atau memberikan hikmah kebajikan.
- Hati. Yakni dengan mendoakan agar orang nan Anda maksudkan bisa melaksanakan kebaikan atau menjauhi kemungkaran. Hal ini merupakan selemah-lemahnya iman seorang muslim.
Sekali lagi, Islam tak mengajarkan pemaksaan dan kekerasan sedikit pun. Sehingga, jika Anda berjumpa dengan konflik dalam akulturasi budaya tersebut, janganlah mendahulukan kekerasan. Berbicaralah padanya dengan lemah lembut, dan jika tak sukses juga, berlepas dirilah darinya. Just do it, Ok…
Memahami Universalisme Islam
Selanjutnya, Anda perlu memahami betapa Islam itu memberikan nilai-nilai nan universal. Universal di sini memberikan arti bahwa Islam mengandung beberapa nilai nan memang berlaku pada segala jenis manusia, segala tempat, dan segala zaman. Oleh sebab itu, wajar saja bila muncul disparitas pendapat dampak dari usaha mengkontekstualisasikan atau menerapkan kembali nilai-nilai Islam pada masalah nan sedang terjadi.
Asalkan akulturasi tersebut tak melewati batas-batas universalisme Islam, maka jangan pernah Anda melibatkan diri dalam konflik nan muncul di sana. Karena jika tetp melakukannya, maka Anda telah melakukkan hal nan percuma. Ingat! Ijtihad nan salah tetap mendapatkan satu pahala bukan…?!
Mempelajari Makna di Balik Simbol-simbol
Dengan melakukan hal ini, taraf toleransi Anda pun akan semakin melebar. Jika Anda tak mengetahui makna di balik simbol-simbol, khususnya pada nan berbau kejawen , maka Anda dapat serta merta menghukuminya dengan syirik atau apapun itu.
Contoh nan baik dalam hal ini ialah pembakaran menyan. Di tengah Masyarakat, pembakaran menyan dimaknai dengan pemanggilan roh halus atau jin. Sehingga sangat mudah buat menjatuhi label syirik pada mereka nan mempraktikan pembakaran menyan tersebut.
Akan tetapi, ketika Anda mengetahui bahwa menyan juga digunakan sebagai pengharum ruangan, sehingga mempermudah buat mencapai ke strata khusuk, maka…?! Yup, persepsi Anda berubah dan tak perlu lagi berkutat panjang pada konflik nan muncul dampak dari akulturasi budaya antara tradisi islam dengan tradisi lokal. Itupun dari sisi teknisnya saja.
Pemahaman kepada nan gaib, dalam Islam berada dalam suatu karakteristik nan sirri tersembunyi, dan sisi inilah nan menarik minat masyarakat di Nusantara buat tertarik dengan Islam. Karena pendekatan terhadap suluk, kegaiban, tassawuf, lebih dekat dengan pandangan masyarakat nusantara nan begitu dekat dengan alam dan kegaiban itu sendiri.
Kejawen sendiri, merupakan sekte atau akulturasi Islam nan telah fix, dalam artian Anda tak dapat mengatakan mereka sesat, sebab mereka nan melakukannya mengaku diri tengah sesat, oleh sebab itu membutuhkan Islam buat menunjukkan jalan nan tak sesat.
Ritual kejawen nan dilakukan nan sama sekali bukan bagian dari Islam normatif nan seharusnya, hanyalah bentuk virtue dari kegiatan nan telah berjalan turun temurun dan menghormati ajaran dari nenek moyang orang Nusantara sendiri.
Bukan Masyarakat Jahiliyah
Karena berbeda dengan asumsi mereka nan mudah mencap apa nan ada di Nusantara masa lalu sama dengan apa nan di Arab masa sebelum kenabian. Masyarakat Nusantara bukanlah masyarakat Jahiliyah. Mereka tak mempraktikan Norma nan mencederai kemanusiaan, biadab, dan sesuatu kezhaliman.
Karena mengenal adat istiadat nan baik, gotong royong, tepa selira, saling asah, asih, dan asuh kepada sesama, tak mengenal perbudakan manusia, menerapkan golden rule kemanusiaan, seperti menggolongkan minuman keras, interaksi pria wanita tanpa ikatan, merampok, mencuri, sebagai perbuatan nan dilarang.
Oleh sebab itulah dalam suatu titik balik peradabannya masyarakat nusantara di kenal sebagai orang orang nan ramah tamah, dan mengenal strata bahasa santun– walau dapat menyimpan sekam amuk dan amarah apabila terkena provokasi.
Jikalah Islam atau ajaran lain dari luar nusantara hendak menyatu dengan masyarakat Nusantara, maka perlu sekali menampung apa nan sudah baik sebelumnya, dan mengadopsi ajaran itu, sebab ajaran nan tumbuh di Nusantara nan memuat kebaikan, sudah sejalan dengan fitrah orang Nusantara sendiri dengan lingkungannya.
Akulturasi budaya antara tradisi Islam dengan tradisi lokal semestinya ialah gabungan antara sesuatu nan baik dengan nan baik, hingga menghasilkan kebaikan ganda. Semisal dalam Islam dikenal konsep Ummah, dan ummah nan manakah nan perlu di arahkan di sini, tentunya ummah nan mampu mengelola lingkungan dan alam nusantara nan senantiasa membtuhkan rasa menjaga dari menyayangi dari manusia nan ada di dalamnya.
Maka konsep ummah di Indonesia berdasarkan prinsip di atas, ialah ummah nan pada akhirnya harus meninggalkan minset bahwa jihad ialah perang, saling menaklukan, bahwa jihad ialah dengan melakukan pertumpahan darah dan seterusnya. Jihad nya ummah di Indonesia, ialah jihad demi lingkungan nan ada di Indonesia atau nusantara sendiri.
Karena Indonesia ialah rumah oksigen dunia, Indonesia ialah rumah flora fauna dunia, Indonesia ialah rumah bagi segala jenis tanaman tumbuhan obat obatan, nan tentu saja, akan sangat zhalim sekali, apabila ummah atau manusia Indonesia malah di arahkan buat jihad saling memerangi, saling menyakiti, saling bersaing dan sejenisnya.
Sesuatu nan tampak wajar dari origin Islam di padang pasir Arab, tentunya harus mengalami penyesuaian dan akulturasi nan tepat. Ini demi tujuan dari Islam sendiri, yakni Rahmaan Lil Alamien, atau menjadi rahmat bagi semesta alam.