Biaya Pencatatan Perkawinan
Banyak istilah nan harus diketahui bila berurusan dengan pencatatan perkawinan di KUA. Pencatatan hal perkawinan tersebut berhubungan dengan persyaratan nikah. Persyaratan nikah menggunakan model N. Ada 9N. Namun, nan sering digunakan ialah N1-6. Persyaratan agar nikah bisa dilaksanakan ada N1-N4. Apakah nan dimaksud dengan model N tersebut?
Definisi Model N dalam Istilah Pencatatan Perkawinan
Model N ialah kode nan sudah digunakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia nan mengacu pada persyaratan pernikahan.
- N1 ialah referensi buat nikah. Isinya bukti diri calon suami dan calon istri (nama, umur, pekerjaan, agama, kebangsaan, alamat).
- N2 ialah asal usul mempelai. Isinya tentang bukti diri orang tua calon suami dan calon istri.
- N3 ialah surat persetujuan mempelai. Isinya pernyataan persetujuan buat menikah dari kedua calon mempelai.
- N4 ialah referensi izin orang tua. Isinya pernyataan persetujuan dari orang tua kedua calon mempelai.
- N5 ialah referensi orang tua bila salah satu calon mempelai masih dibawah umur 21 tahun.
- N6 ialah referensi janda atau duda.
- N7 ialah pemberitahuan kehendak menikah.
- N8 ialah pemberitahuan tentang kesalahan dan pemberitahuan adanya kesalahan atau kekurangan tentang persyaratan pernikahan.
- N9 ialah penolakan pernikahan.
Dokumen nan Harus Dibawa ke KUA
Untuk mendapatkan buku nikah, dalam artian bahwa perkawinan tersebut tercatat secara resmi, ada beberapa dokumen nan harus disiapkan oleh calon mempelai.
- Foto kopi KTP dan Kartu Keluarga (KK) buat calon mempelai, masing-masing 1 (satu) lembar.
- Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis atau jejaka) di atas materai Rp6000,- nan diketahui RT, RW, dan lurah setempat.
- Surat pengantar RT dan RW setempat.
- Surat keterangan buat nikah dari kelurahan setempat, yaitu model N1, N2, N4, baik calon suami maupun calon Istri.
- Pas foto kedua calon mempelai ukuran 2×3 masing-masing 4 lembar, bagi anggota ABRI berpakaian dinas.
- Yang berstatus duda atau janda harus melampirkan surat talak atau cerai dari pengadilan agama. Jika duda atau janda mati, sine qua non surat kematian dan surat model N6 dari lurah setempat.
- Harus ada izin atau pengecualian dari pengadilan agama bagi: (1) calon mempelai laki-laki nan umurnya kurang dari 19 tahun; (2) calon mempelai perempuan nan umurnya kurang dari 16 tahun; dan (3) laki-laki nan mau berpoligami.
- Izin orang tua (model N5) bagi calon mempelai nan umurnya kurang dari 21, baik calon mempelai laki-laki maupun perempuan.
- Bagi calon mempelai nan akan menikah bukan di wilayahnya (ke kecamatan lain), sine qua non surat rekomendasi nikah dari KUA setempat.
- Bagi anggota ABRI dan Sipil ABRI, sine qua non izin kawin dari pejabat atasan atau komandan.
- Kedua calon mempelai mendaftarkan diri ke KUA loka akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 hari kerja dari waktu melangsungkan pernikahan. Apabila kurang dari 10 hari kerja, harus melampirkan surat pengecualian nikah dari camat setempat.
Biaya Pencatatan Perkawinan
Secara resmi, biaya pencatatan hal perkawinan ialah Rp30.000,00. Namun, kenyataannya, biaya pencatatan hal perkawinan ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Ada nan mencapai ratusan ribu. Oleh sebab itu, banyak kalangan bawah nan tak mempunyai buku nikah.
Bukannya mereka tak mau menaati peraturan pemerintah buat mencatatkan pernikahannya ke kantor urusan agama, tetapi sistem nan ada di sebuah loka tersebutlah nan terkadang sangat membebani seseorang. Padahal hal tersebut dapat merugikan bagi orang nan tak memiliki bukti pernikahan nan sah.
Salah satu nan merepotkan ialah pencatatan tentang akta kelahiran anaknya. Jika orang tuanya saja tak memiliki akta nikah maka bagaimana anak dapat memiliki akta kelahiran? Padahal salah satu syarat buat memiliki sebuah akta kelahiran ialah dengan menunjukkan surat nikah dari orang tuanya.
Secara teori buat pengurusan pencatatan hal perkawinan di kantor urusan agama ialah sangat mudah dengan biaya nan nisbi murah. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidaklah seperti itu. Masih banyak sekali oknum nan bermain nakal dengan memancing di air keruh.
Tujuannya tak lain ialah buat mendapatkan uang dari orang nan kesusahan. Terkadang meskipun surat atau persyaratan nan dibawa sudah lengkap juga masih menimbulkan berbagai pertanyaan nan berujung pada dikeluarkannya uang dari dompet.
Jadi sekarang salah siapa jika terkadang seseorang tak memiliki surat nikah gara-gara biaya mahal dan urusan birokasi nan berbelit-belit. Semua masyarakat tentu ingin mendapatkan pencatatan nikah nan mudah dan tak terlalu mahal. Semoga ke depan para oknum nan berusaha memancing di air keruh sudah tak ada lagi.
Perlunya Pencatatan Sebuah Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan nan dilakukan tanpa adanya pencatatan di kantor urusan agama sebenarnya masih banyak terjadi di masyarakat. Salah satu nan menjadi faktor penyebabnya adanya biaya nan dipatok oleh oknum pencatat pernikahan terlalu mahal. Meskipun pada teorinya tak mahal hanya praktek di lapangan nan mengatakan demikian.
Pernikahan nan dilakukan tanpa pencatatan di kantor urusan agama dinamakan dengan nikah di bawah tangan atau juga dikenal dengan nikah sirih. Nikah ini memang tak melibatkan pihak dari kantor urusan agama tetapi hanya melibatkan para pemuka agama saja dan beberapa asksi.
Kebanyakan nikah siri juga digunakan oleh sebagian orang buat mencari nafkah. Maksudnya ialah nikah nan hanya demi mendapatkan sebuah laba berupa materi saja tanpa mempedulikan adanya anggaran hukum nan berlaku.
Praktek nikah seperti ini sempat mendapatkan pro dan kontra sebab dipandang sebagai suatu hal nan tak mengindahkan arti dari pernikahan. Nikah nan dilakukan secara sirih buat mendapatkan sebuah materi duniawi biasa disebut dengan nikah kontrak.
Nikah kontrak merupakan pernikahan nan dilakukan oleh seseorang nan biasanya tak dilakukan pencatatan di kantor urusan agama dalam waktu nan telah ditentunya. Jadi kedua belah pihak baik calon suami dan istri telah sepakat buat menikah dan bercerai di waktu nan telah ditentukan.
Bukan bermaksud buat merendahkan prestise seorang perempuan, tetapi biasanya pihak perempuan telah diberikan sebuah mahar beberapa uang sebagai ganti dari pernikahan tersebut. Ganti rugi dampak tak dicatatnya sebuah pernikahan serta pernikahan nan dipandang singkat tersebut.
Terlepas dari itu semua, pernikahan nan dilakukan dibawah tangan secara agama memang tak menjadi masalah. Namun nan menjadi sorotan dalam masyarakat saat ini ialah dalam pandangan hukum. Jika dilihat secara hukum maka pernikahan nan dilakukan tersebut masih bermasalah.
Permasalah nan terjadi secara hukum cukuplah merugikan bagi pihak perempuan jika ternyata pihak laki-laki tak bertanggung jawab terhadap pernikahannya. Dalam sebuah pernikahan seorang laki-laki tentunya memiliki tanggung jawab nan besar terhadap semua kebutuhan wanita atau pasangannya dan juga anak-anaknya dari pernikahan tersebut.
Banyak orang nan mengkhwatirkan jika suami ternyata memiliki akhlak nan jelek sehingga tak menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Karena pernikahan nan dilakukan tak dicatatkan secara hukum maka sangat tak mungkin bagi istri buat meminta konservasi hukum jika terjadi hal nan tak diinginkan.
Beberapa hal nan biasa menjadi sebuah perdebatan dan pandangan jelek bagi orang nan melakukan pernikahan siri. Yang pertama ialah kerugian nan akan terjadi pada pihak istri sebab tak boleh menuntut nafkah atau kebutuhan sehari-hari kepada suami sebab tak adanya ikatan hukum negara.
Hal ini tentu merupakan kerugian bagi istri sebab dia tak mendapatkan nafkah nan baik dari suami. Selain itu juga istri tak dapat menuntut hak waris jika terjadi sesuatu dengan suami sebab tak adanya pencatatan pernikahan nan telah mereka lakukan. Padahal syarat buat mendapatkan hak waris ialah adanya pencatatan pernikahan secara resmi di kantor urusan agama menandakan adanya interaksi antara ke dua manusia tersebut.
Kerugian nan lainnya nan biasanya juga menjadi perbincangan ialah tak berhaknnya anak buat mendapatkan sebuah nafkah dari ayahnya. Jadi ayah tak memiliki kewajiban buat memberikan nafkah kebutuhan hayati dan biaya pendidikan kepada anak sebab secara hukum memang tak tertulis ada interaksi di antara keduanya.
Jadi dalam pandangan hukum nan ada di Indonesia maka pernikahan secara siri tentu akan merugikan pihak wanita. Namun jika ternyata suami atau pihak laki-laki bertanggung jawab maka semua itu tidaklah menjadi masalah melainkan hanya wacana saja. Meskipun demikian, pencatatan pernikahan tetap krusial dilakukan agar semuanya sinkron dengan peraturan nan berlaku di negara ini.