Hikmah nan Bisa Dipetik dari Tragedi Bintaro

Hikmah nan Bisa Dipetik dari Tragedi Bintaro

Semua orang bilang, Tragedi Bintaro ialah catatan terburuk bagi perkeretaapian Indonesia sebab Tragedi Bintaro menewaskan penumpang lebih dari 272 orang (72 orang meninggal ditempat dan 200 orang lebih meninggal dalam kondisi sekarat) dan 300 orang lebih mengalami luka-luka.

Meski dikatakan bahwa Tragedi Bintaro ialah kesalahpahaman Pengatur Perjalanan Kerata Barah (PPKA). Namun dibalik itu, ada pelajaran nan lebih krusial nan layak dipahami oleh siapa saja. Yaitu, bila tanggal, hari dan waktu kematian telah hadir tidak seorang pun bisa mengelak atau lari. Sebagai contohnya ialah Tragedi Bintaro.

Adalah baik bila diceritakan kronologis terjadinya Tragedi Bintaro nan dikenal sebagai tragedi terburuk perkeretaapian di Indonesia. Artinya, tidak hanya mengenalisis peristiwa tabrakan maut tersebut. Namun mencoba menangkap pesan inti di balik Tragedi Bintaro.



Kisah Singkat Tragedi Bintaro

Tragedi Bintaro terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987. Lokasi Tragedi Bintaro terjadi di lingkungan “S” nan terletak antara Palang Pintu Pondokbetung dengan stasiun Sudimara. Bila dari Palang Pintu Pondokbetung jaraknya sekitar 200 meter, sedangkan dari stasiun Sudimara sekitar 8km. Jenis kereta barah nan terjadi tabrakan ialah KA 225 Jurusan Rangakasbitung-Jakarta dengan KA Cepat 220 Jurusan Tanah Abang-Merak. Kedua kereta membawa penumpang nan banyak. KA 225 membawa penumpang ± 700 orang, sedangkan KA Cepat 220 membawa ± 500 penumpang.

Alur cerita terjadinya kecelakaan berawal dari KA 225 sedang berhenti di jalur 3 stasiun Sudimara, sedangkan KA Cepat 220 sedang berada di jalur 2 Stasiun Kebayoran Lama. Karena di stasiun Sudimara semua jalur sedang dipenuhi kereta api, Djamhari selaku kepala PPKA meminta kepada Umriyadi, Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama agar persilangan dilakukan di stasiun Kebayoran Lama. Namun Umriyadi Menolak. Ia tetap meminta persilangan terjadi di stasiun Sudimara.

Akhirnya Djamhari segera melakukan langkah cepat dengan mengosongkan jalur 2 agar dapat ditempati oleh KA Cepat 220 saat melakukan pemberhentian. Kemudian memindahkan KA 225 ke jalur 1. Hal ini membuat Djamhari bekerja ekstra. Ia meminta juru langsir segera melangsir KA 225 ke Jalur 1. Sembari memberi peringatan kepada Masinis dan penumpang. Di sinilah awal mulanya terjadi kekeliruan.

Bendera merah dikibaskan Juru Langsir agar penumpang naik ke lokomotif KA 225 dengan meniup peluit slogan 46 (tanda kepada masinis dan penumpang bahwa KA akan segera dilansir), tanpa ada pembatalan perintah persilangan nan telah diberikan kepada Masinis KA 225.

Masinis KA 225 pun menjadi bingung. Ia mendengar slogan 46, tapi ia ragu. Apakah peluit slogan 40 (tanda jalur telah aman) sudah bunyi atau belum? Masinis bingung lantaran mengetahui bahwa pada saat itu sedang padat lokomitif. Karena bingung, ia pun menanyakan kepada penumpang nan berdiri di luar lokomotif. Para penumpang banyak nan berpendapat agar masinis segera berangkat.

Masinis pun segera meniupkan peluit nan bernada slogan 41 (respon terhadap slogan 40), lalu ditiupkan peluit 35 nan menandakan bahwa KA segera diberangkatkan. Di sinilah nan membuat pihak PPKA Stasiun Sudimara merasa heran. Tidak ada nan meniupkan peluit slogan 40, malah hanya meniupkan slogan 46 nan meminta agar KA dilansir.

KA 225 pun akhirnya bergerak tapi ada tujuan PPKA stasiun Sudimara. Semua petugas Stasiun Sudimara berusaha mengejar KA 225. Ada nan berusaha mengejar buat naik gerbong belakang. Ada nan mengejarnya dengan mengenderai motor dan Djamhari sendiri mengibas-ngibaskan bendera merah tanda bahaya. Djamhari juga sibuk menaikturunkan Frekuwensi Palang KA nan menandakan Frekuwensi Masuk ke arah Kebayoran Lama. Anehnya, tidak satu pun masinis melihatnya.

Djamhari pun segera memohon kepada Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama agar KA Cepat 220 diusahakan buat diberhentikan di Palang Pintu Pondokbetung. Namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Ia pun teringat buat memberi informasi bel Genta Perlintasan kepada petugas Palang Pintu Pondok. Ia menyembunyikan Slogan Bahaya.

Usaha terakhirnya ini tidak membuahkan hasil sebab petugas nan menjaga pintu perlintasan tidak ingat beda slogan Genta darurat dengan Bel Genta Percobaan sehingga isyarat tersebut disalahpahaminya, ia menganggap bahwa itu ialah bel genta percobaan.

Maka tidak bisa dihindari lagi tragedi maut nan menyejarah. Setelah KA 225 telah bergerak 8km meninggalkan Stasiun Sudirman dengan kecepatan 45km/jam, masinis KA 225 terkejut saat menyaksikan KA Cepat 229 berada di depannya. Ia berusaha buat mengerem KA, namun tetap tidak memungkinkan lagi buat berhenti dan mengelakkan terjadinya kecelakaan.

Dengan kecepatan seperti itu sudah tak mungkin lagi buat berhenti. Pasalnya buat kecepatan 50 km/jam berhenti itu membutuhkan jeda sekitar 400 meter. Tak bisa dihindari lagi, akhirnya terjadilah tabrakan di lengkungan “S” sehingga memakan korban jiwa sebanyak 72 orang tewas di tempat, 200 lebih wafat dalam kondisi sekarat dan 300 orang lebih dalam kondisi luka-luka. Inilah kejadian nan terbesar terjadi dalam global perkeretaapian nan dikenal dengan Tragedi Bintaro .



Hikmah nan Bisa Dipetik dari Tragedi Bintaro

Dari Tragedi Bintaro ini, siapa pun dapat menangkap pesan takdir terjadinya skenario kematian. Usaha nan dilakukan agar tak terjadinya tabrakan tidak sukses dilakukan. Dari awal sudah tampak akan terjadi peristiwa nan tak mengenakkan didengar telinga. Yaitu, saat Djamhari meminta kepada Umriyadi buat melakukan persilangan di Stasiun Kebayoran Lama. Umriyadi tetap meminta persilangan dilakukan di Stasiun Sudimara. Padahal ketiga jalur di Stasiun Sudimara sudah full dengan kerata api.

Meski Djamhari sudah menemukan solusi, namun ternyata terjadi kesalahpahaman antara instruksi slogan nan dilakukan PPKA Stasiun Sudimara dengan pemahaman masinis KA 225. Kesalahpahaman terjadi hingga penjaga pintu perlintasan. Akhirnya, takdir tabrakan kereta barah dengan menewaskan banyak orang menjadi sejarah nan tidak terlupakan, Tragedi Bintaro, namanya.

Di sinilah kita memahami, bahwa segala sesuatu nan menentukan Allah. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin, nama Allah tetap menentukan segalanya. Lihat nan dilakukan Djamhari agar tak terjadi tabrakan, namun tidak membuahkan hasil. Tragedi Bintaro menjadi sejarah sekaligus verifikasi kalam Allah Swt, “ Jika telah datang waktu kematian, mereka tidak bisa mengudurkannya atau memajukannya, meski hanya satu detik” (QS. Al-A’raaf: 34).

Tragedi Bintaro ialah bukti konkret mengenai ayat tersebut. Tepat pukul 07.10 pagi terjadi tabrakan nan menimbulkan benturan keras. Baik Djamhari maupun masinis KA 225 nan mengetahui ada KA cepat 220 di depan dengan bergegas mengerem, namun nyatanya Tragedi Bintaro harus terjadi.

Pelajaranbuat kita, apa pun nan dilakukan tidak selalu sukses dengan sempurna. Namun bukan berarti kita tidak berusaha. Hanya saja usaha nan dilakukan menggambarkan, jika usaha nan kita lakukan sinkron dengan kehendak Allah, maka hasil sinkron dengan apa nan diharapkan. Bila usaha nan dilakukan tak sinkron dengan kehendak Allah, maka kehendak Allah nan terjadi.

Tragedi Bintaro ialah verifikasi bahwa manusia itu lemah. Yang Maha Kuasa ialah Allah. Dari Tragedi Bintaro ini juga Allah menunjukkan bagaimana kematian manusia. Ada nan wafat di saat itu juga, ada nan sekarat terlebih dahulu baru mengalami kematian. Bahkan Allah juga menunjukkan kekuasaannya masih ada nan selamat meski mengalami luka-luka. Artinya, tidak semua tewas dalam Tragedi Bintaro. Oleh sebab itu, tidak salah bila agama menganjurkan saat akan melakukan musafir lakukanlah shalat dua rakaat. Meski ada nan menamakannya shalat safat, namun hakikatnya ialah sebelum bepergian kita berdoa kepada Allah Swt. memohon kesalamatan dari kecelakaan.

Andai kita tetap mengalami kecelakaan, kita tetap tergolong hamba-Nya nan tidak luput meminta perlindungan. Meski mengalami kecelakaan dan meninggal dunia, insya Allah matinya dalam kondisi khusnul khatimah . Demikian nan didapat oleh mereka nan shalat safar hingga akhirnya nyawanya dicabut dalam Tragedi Bintaro. Manusia hanya berusaha, Allah nan menentukan dan memiliki kehendak. Boleh memandangkan Tragedi Bintaro sebagai musibah, tapi juga pantas menilainya sebagai pelajaran.