Datu Sebagai Tokoh Sentral

Datu Sebagai Tokoh Sentral

Ukiran batak termasuk memiliki karakteristik khas tersendiri, terutama lekuk ukiran nan tidak dapat dipisahkan -seperti kebanyakan ukiran tradisional- dari nilai-nilai simbolis dan magis. Ukiran-ukiran ini hadir dalam majemuk alat dan material, terutama pada benda-benda nan digunakan dalam berbagai upacara tradisional. Salah satu ukiran khas Batak ialah ornamen kepala kuda nan merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah rumah adat Batak. Seperti juga ukiran tradisional lainnya nan lahir dan berkembang seiring dengan peradaban masyarakatnya. Bila pada masyarakat itu kental dengan unsur-unsur magis, maka kekentalan unsur magis tersebut akan dengan gampang kita temukan dalam berbagai bentuk ukiran tradisional masyarakat itu. Demikian pula bila ada unsur-unsur nan menonjol dan berkembang dalam kehidupan masyarakat tersebut, akan dengan mudah terekspresikan dalam berbagai macam bentuk ukirannya.



Rumah Adat Batak Dan Naga Morsarang

Rumah adat batak penuh dengan dekorasi geometris dan gambar natural dengan paduan rona tegas yakni rona merah, hitam, dan putih. Dekorasi primer pada rumah adat Batak berupa kepala binatang nan digabung dengan motif-motif alam. Ukiran kepala kuda berfungsi sebagai simbol perlindungan. Dalam adat Batak Toba, kuda memang sering disembelih dan dijadikan hewan persembahan buat leluhur. Ini menunjukkan bagaimana unsur-unsur magis, nilai-nilai kepercayaan nan berkembang di dalam masyarakat Batak menjadi sumber inspirasi buat diaplikasikan dalam motif ragam ukiran Batak. Seperti telah dimaklumi bahwa di dalam kehidupan masyarakat tradisional, alam dan segala seisinya ialah merupakan satu kesatuan dan memiliki kekuatan magis sehingga mendapat loka dan penghormatan nan tinggi. Dan nilai-nilai kepercayaan ini di dalam masyarakat Batak menjadi salah satu sumber buat terus digali dan dikembangkan menjadi majemuk bentuk ukiran tradisional.

Ukiran khas Batak juga terdapat dalam Naga Morsarang, yaitu bentuk kapal loka datu atau pemimpin upacara keagamaan menyimpan ramuan-ramuan gaibnya. Terbuat dari tanduk kerbau nan berongga. Permukaan luarnya penuh dengan ukiran dan ornamen khas dan bentuk geometris. Bagian ujung tanduk diukir bentuk seseorang nan sedang duduk. Sementara pada bagian pangkal tanduk sebagai penyumbat, terdapat ukiran kayu dengan gambar singa nan ditunggangi empat orang. Semua dekorasi dan gambar tersebut sarat dengan nilai-nilai magis. Sehingga dalam pandangan masyarakat tradisional Batak, setiap ukiran sarat dengan nilai kepercayaan sehingga mendapat perlakuan dan penghormatan nan tinggi. Masyarakat tradisional berkarya - seperti juga dalam bentuk seni ukir - tak semata-mata sebagai kegiatan berkesenian melainkan bagian integral dari upacara dan ibadat.



Tunggal Panaluan dan Tunggal Malehat

Ukiran khas Batak dengan rona hitam, merah, dan putih, juga dapat dilihat pada alat tradisional bernama Tunggal Panaluan. Dalam adat Batak, terdapat dua buah tongkat nan mengandung kekuatan magis dan hanya orang-orang eksklusif nan memiliki dan boleh menggunakannya. Pertama, Tunggal Panaluan nan panjangnya 1,7 meter dan penuh dengan ukiran khas nan sangat latif dan unik. Kedua, Tunggal Malehat, yakni tongkat magis nan lebih pendek dengan ukiran dan bahannya lebih sederhana dibanding Tunggal Panaluan.

Sekalipun tongkat ini ialah atribut seorang datu, namun bukanlah milik datu. Tunggal Panaluan dan Tunggal Malehat merupakan milik marga. Dengan demikian, seorang datu akan menggunakan tongkat ini, terutama pada upacara-upacara dan kegiatan nan melibatkan seluruh anggota marga, seperti kegiatan perang, tolak bala, maupun upacara memanggil hujan. Karena dipercaya mengandung kekuatan magis, tongkat ini dipercaya bisa melindungi seluruh anggota marga dari berbagai bencana. Kekuatan ini disimbolkan oleh hiasa singa pada kedua tongkat tersebut.

Dalam konteks kepercayaan ini maka ukiran nan terdapat di dalam peralatan ibadah tersebut juga tak semata-mata bernilai seni atau diciptakan dalam kepentingan kesenian, melainkan sebagai bagian nan tidak terpisahkan dari sesembahan. Pada tataran inilah ukiran batak sangat berbeda dibanding dengan ukiran tradisional dari suku lainnya sebab hanya masyarakat Batak bahkan hanya marga eksklusif saja nan terkait erat dengan berbagai macam ukiran tersebut. Tentu saja nilai-nilai seperti ini tak akan ditemukan dalam ragam ukiran modern, hasil karya para artis modern.



Datu Sebagai Tokoh Sentral

Dunia perdukunan merupakan kegiatan tidak terpisahkan dari kehidupan tradisional masyarakat Batak, terutama sebelum agama Kristen tersebar luas di daerah tersebut. Seorang datu atau dukun merupakan tokoh sentral dalam kehidupan tradisional Batak, baik dalam posisi sebagai penyembuh maupun sebagai pengirim majemuk pola nan sifatnya merusak melalui mediator berbagai atribut tradisional nan diyakini memiliki kekuatan gaib. Salah satu atribut primer seorang dukun dalam kehidupan masyarakat Batak tradisional ialah alat nan dinamakan guri-guri.

Guri-guri ialah loka menyimpan pupuk terbuat dari manusia nan jadi korban dalam sebuah upacara. Pupuk dalam masyarakat Batak tradisional diyakini bisa memerintah arwah buat melakukan apapun atas perintah seorang dukun. Guri-guri biasanya terbuat dari homogen keramik dan diberi tutup berupa ukiran khas Batak dari bahan kayu.

Dalam ukiran epilog guri-guri tersebut, dapat terlihat jelas gambar seseorang nan menunggang makhluk halus nan disebut singa, yakni gabungan beberapa aspek simbolis dari kuda, ular, harimau, dan binatang lain. Ini merupakan simbol betapa pupuk nan berada dalam guri-guri tersebut memiliki kekuatan mistik dan bisa diperintah sinkron keinginan dukun, baik buat nan sifatnya positif maupun buat hal-hal negatif.

Sekalipun ukiran khas Batak hanya terdapat dalam epilog guri-guri, namun tetap saja memiliki nilai nan sakral. Dengan demikian masyarakat tradisional Batak tak akan berlaku secara sembarangan dalam memperlakukan tutup guri-guri tersebut, sehingga dengan sendirinya menjadi memiliki nilai nan sakral. Kalaupun kemudian buat tujuan komersial dibuat epilog guri-guri buat cinderamata, dapat dipastikan bahwa di dalam proses pembuatannya selalu terselip maksud dan nilai-nilai sesembahan. Sehingga tetap saja sekalipun hanya berbentuk epilog guri-guri, ukiran batak nan terdapat di dalamnya sarat dengan nilai-nilai dan kekuatan magis.

Seperti telah disebutkan sebelumnya - terutama dalam masyarakat tradisional nan masih meyakini unsur-unsur animisme dan dinamisme - seluruh alam dan seisinya merupakan bagian nan terpisahkan dari kehidupan dan kepercayaan masyarakatnya. Alam dan seluruh isinya masing-masing memiliki kekuatan gaib. Dengan demikian ketika bersinggungan atau mempergunakan seluruh alam ini, didahului oleh ritual atau sesembahan baik sebagai wujud penghormatan maupun sebagai bentuk penyerahan diri nan menyiratkan bahwa manusia ialah makhluk nan lemah.

Dalam konteks itu pula berbagai macam ukiran tradisional lahir. Apakah itu ukiran nan terkait langsung atau terdapat pada alat-alat upacara maupun nan terdapat dalam berbagai macam alat pakai. Namun demikian apapun bentuknya tetap mengandung nilai-nilai sakral dan tidak terpisahkan dari unsur magis. Pada tataran inilah nan akan kita dapatkan ketika menikmati berbagai macam ukiran Batak, baik nan secara langsung terdapat pada berbagai macam peralatan ibadat, sesembahan maupun pada alat-alat pakai lainnya. Dan dalam keragaman nilai magis dan sakral inilah, ukiran Batak tumbuh dan berkembang secara baik.