Manusia dan Masyarakat dalam Pandangan Hubungan Simbolik
Benteng terkokoh negara ialah keluarga. Ketika keluarga hancur, negara terkoyak. Interaksi kausalitas ini mencerminkan rekanan manusia dan masyarakat . Keluarga ialah negara kecil. Masyarakat ialah negara besar. Hubungan manusia di keluarga dan manusia di masyarakat membentuk nation state . Garis pembeda hanya soal lingkup. Manusia secara manusia sebagai individu atau manusia secara komunal (masyarakat).
Dosa Sosial
Masyarakat kita sedang sakit. Gejala konflik horizontal kian menguat. Tawuran dan kerusuhan kerap terjadi. Korupsi dianggap sebagai sebuah budaya. What a messy life . Laku langgam ini bermula dari dapat sebab biasa. "Kita ialah apa nan kita lakukan berulang-ulang,"" kata Aristoteles.
Manusia monoton berbuat kesalahan personal, namun nan menanggung semua (dosa sosial). Demikian pula dengan konduite korup, tawuran, free sex , dan sebagainya. Bermula dari satu manusia ke manusia lain. Membuat rantai bukti diri nan serupa.Nila setitik rusak susu sebelanga.
Meski banyak good person, tidak sedikit bad person . Celakanya, media kerap menyorot ke bad person . Bad news is good news . Demikian pepatah jurnalisme berbunyi. Bad person ini mendominasi news and views di Indonesia. Seolah langit mau runtuh. Indonesia akan kiamat. Tiap hari, masyarakat dihujani warta jelek dan sangat buruk. Good person hanya dapat melongo melihat keadaan ini.
Kolektivitas Sosial
Budaya Timur nan dijunjung oleh kita sudah meluntur. Budaya malu, budaya gotong royong, budaya jujur, dan sebagainya. Budaya Timur kini menjelma menjadi budaya manusia sebagai individu al, budaya konsumtif, budaya hedon, dan sebagainya. Rekanan manusia dan masyarakat berjarak bak menara gading. Tinggi. Jauh. Sulit dijangkau.
Kolektivitas sosial berpengaruh pada kohesivitas sosial. Konduite ronda malam, Jumat bersih, dan sebagainya, sudah mulai ditinggalkan. Kita justru kolektif soal negatif. Bad things comes early . Index korupsi Indonesia tinggi, pengakses konten porno terbesar ketiga, dan "keburukan" lain.
Tidak heran kohesivitas (kepaduan) kita sebagai bangsa melemah. Kita padu sebatas insidental dan temporer. Misalnya, ketika sepak bola meraja, nasionalisme bergemuruh. Namun, setelah itu, kita tak punya faktor pemersatu kembali. Bukti diri nation state kita sedang krisis.Kadang, manusia Indonesia sungkan atau malu menjadi Indonesia. Terutama, ketika tinggal hayati di luar negeri.
Kita lebih bangga memakai harajuku style . Senang memakai cosplay . Gandrung pada Super Junior dan kawan-kawan. Namun, kita lupa pada Si Cepot. Kita tak tahu tari piring. Kita mulai abai pada bahasa ibu. Batik pun baru populer di kalangan luas ketika Malaysia mendaku pakaian khas Indonesia tersebut.
Kita harus dapat merawat asa bahwa rekanan manusia dan masyarakat Indonesia akan menemui masa emas kembali. Seperti masa prakemerdekaan, anak bangsa tanpa pamrih berjuang. Rekanan diikat oleh tali persaudaraan tulus. Tanpa embel-embel materi. Mari kita menjemput kenangan tersebut!
Manusia dan Masyarakat dalam Pandangan Hubungan Simbolik
Setiap masyarakat harus dipandang sebagai holistik organis, di mana manusia sebagai individu merupakan bagian nan tidak terpisahkan. Maka, manusia sebagai individu dan masyarakat bukanlah realitas-realitas nan terpisahkan, melainkan merupakan aspek-aspek nan distributif dan kolektif dari gejala nan sama (Layendecker, 1991, dalam Soeprapto, 2002).
Karena manusia sebagai individu dan masyarakat bukanlah realitas-realitas nan terpisah, maka Mead berpendapat bahwa masyarakat tak dilihat dalam skema teoritis, walaupun secara tersirat hal tersebut ada.
Interaksionisme simbolik merupakan konstruksi dari beberapa pengertian mengenai diri sendiri, tindakan, hubungan sosial serta obyek. Beberapa pengertian tersebut memiliki interaksi kuat dengan terbentuknya masyarakat.
Masyarakat ialah sebuah proses sosial nan berbeda-beda. Di dalamnya, manusia sebagai individu secara bersama-sama membentuk joint action untuk menghadapi kehidupan. Bagi Mead, manusia ialah organisme sosial nan aktif. Hal itu lahir dari interaksinya sendiri dengan faktor-faktor stimulan, sehingga dari sinilah manusia melakukan tindakan-tindakan nan dituntut oleh situasi sekitarnya.
Mead beranggapan bahwa masyarakat bukanlah struktur nan dibangun, melainkan sebagai manusia sebagai individu -manusia sebagai individu nan berjumpa sebab kondisi hayati mereka. Maka, bisa dikatakan hal nan membentuk masyarakat hingga bisa hayati bersama sebab adanya penyesuaian tingkah laku dan tindakan antar manusia sebagai individu .
Hal ini terjadi di mana pun masyarakat tersebut terbentuk, sebab manusia sebagai individu-individu nan berjumpa disebabkan oleh kondisi hayati mereka nan sama dan senasib. Masyarakat di manapun mereka berada tersebut beranggapan bahwa diri mereka ialah manusia yan misalkan di Indonesia sebagai individu individu nan berhadapan dengan kesuburan tanah, berhadapan dengan musim hujan dan musim kemarau, jadi ada semacam satu ikatan sepenanggungan atas tanah.
Karakter Hubungan Orang per Orang
Dalam kaitannya dengan interaksionisme simbolik, seperti nan sudah diketahui, merujuk pada karakter hubungan spesifik nan terjadi antar manusia. Sifat ini tentunya spesifik terdapat pada fenomena bahwa manusia menginterpretasikan dan mendefinisikan antara tindakan nan satu dengan nan lainnya
Mengenai hal ini, Mead berpendapat bahwa ada dua hal nan krusial dalam memodifikasi terhadap diri manusia sendiri :
untuk mengindikasikan sesuatu, berarti manusia sebagai individu harus melepaskan diri dari setting -nya, memisahkannya dan menjadikannya sebagai obyek. Obyek ini merupakan hasil dari anggaran manusia sebagai individu buat bertindak, dan dia akan membentuk obyek tersebut dari aktivitas nan bersifat berkesinambungan. Proses nan demikian inilah nan dinamakan sebagai interpretasi atau tindakan berdasarkan simbol.
Realitas bahwa manusia membuat indikasi terhadap dirinya ialah bahwa tindakan tersebut merupakan sesuatu nan dibentuk, bukan sekadar sebagai pelepasan. Tindakan itu sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan dan proses.
Mead berpandangan bahwa dalam pembentukan tindakan tersebut selalu terjadi kontak sosial, di mana hal ini sangat vital dalam pemahaman interaksionisme simbolik. Masing-masing manusia sebagai individu memadukan tindakan apa nan akan ambilnya. Mead menyebut ini sebagai ‘mendapat peran’.
Dalam proses mendapatkan peran ini, masing-masing manusia sebagai individu harus dapat memastikan tujuan tindakan manusia sebagai individu nan lain. Dia bertindak atas dasar interpretasi dari tindakan orang lain. Begitulah cara nan fundamental bagaimana suatu tindakan kelompok terjadi dalam masyarakat
Maka dalam bukunya Soeprapto (2002) menyimpulkan bahwa masyarakat dibentuk oleh manusia sebagai individu individu nan memiliki diri sendiri. Bahwa tindakan manusia merupakan konstruksi nan dibentuk oleh manusia sebagai individu melalui dokumentasi dan interpretasi hal-hal krusial di mana ia akan bertindak. Bahwa tindakan kelompok terdiri atas perpaduan dari tindakan-tindakan manusia dan masyarakat sendiri..
Hal ini sinkron pula dengan pendapat Joel M. Charon (1979 : 151), bahwa masyarakat - semua kelompok kehidupan- bisa diartikan sebagai individu-individu nan saling berinteraksi satu sama lain. Individu-individu nan nantinya akan membentuk masyarakat ini berkomunikasi dengan melakukan beberapa hal, seperti pengambilalihan peranan, saling menginterpretasikan tindakan satu dengan nan lainnya, mengatur dan mengawasi diri sendiri, serta saling berbagi perspektif. Dalam hal ini kolektifitas sosial dan rekanan ideal nan di dasarkan atas ejawantah hukum nan kita kenal sebagai hukum bersama, antar semua ikatan budaya dan adat pada Negara Kesatuan Republik Indonesia..