Dampak Negatif

Dampak Negatif

Swatantra perguruan tinggi ialah wacana nan muncul jauh hari sebelum krisis ekonomi terjadi di negeri ini. Wacana ini muncul sebab ruang mobilitas perguruan tinggi seakan-akan dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Standardisasi nan sepertinya dipaksakan dan sangat sedikit khasiatnya bagi mahasiswa perguruan tinggi.



Faktor Pendorong Otonomi

Banyak faktor nan menyebabkan perguruan tinggi ingin menjadi otonom. Salah satu penyebabnya ialah lulusan perguruan tinggi tak mampu menjawab tantangan sosial sebab tak menentukan orientasinya sendiri sehingga perlu adanya swatantra agar lebih bebas mengembangkan diri. Dengan standardisasi keilmuan nan ditentukan sendiri, perguruan tinggi akan lebih mudah mencapai sasaran minimal dari apa nan telah direncanakan.

Setiap perguruan tinggi ingin membangun iklim nan bebas dan berdikari sehingga mereka memutuskan buat berdiri secara otonom. Mereka tak terpaku pada kurikulum standardisasi pemerintah dan peraturan-peraturan lain nan ditetapkan dinas pendidikan buat perguruan tinggi. Maka dari itu, mulailah bermunculan perguruan tinggi nan menyatakan otonom.



Dampak Positif

Otonomi perguruan tinggi memang menimbulkan akibat nan positif dan negatif. Selain itu, tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Akibat positifnya ialah perguruan tinggi dapat bebas mengembangkan karakter intelektual masing-masing kampus sinkron dengan orientasi dan visi misi kampus tersebut.

Selain itu, swatantra perguruan tinggi juga akan menumbuhkan kreativitas tiap-tiap perguruan tinggi. Perguruan tinggi nan berdiri secara otonom akan memiliki kebijakan sinkron dengan kondisi nan terjadi di lingkungan sekitar. Perguruan tinggi tak lagi harus terpaku kepada standardisasi dinas pendidikan nan seringkali tak berkaca kepada situasi dan kondisi nan terjadi di sekitar perguruan tinggi itu.

Dampak positif swatantra perguruan tinggi juga dapat dirasakan dengan adanya kebijakan lokal dalam kampus. Misalnya, kampus nan berafiliasi Islam mewajibkan mahasiswinya buat memakai jilbab atau sebaliknya. Hal ini muncul sebab adanya swatantra di perguruan tinggi tersebeut.



Dampak Negatif

Selain akibat positif, tentu saja banyak sekali akibat negatif nan disebabkan oleh adanya swatantra di perguruan tinggi. Di antaranya, banyak perguruan tinggi nan nakal sebab pemantauan dari pusat menjadi terbatas. Bahkan, dinas pendidikan tak punya wewenang nan lebih sebab perguruan tinggi tersebut sudah otonom.

Kenakalan tersebut, misalnya ada peraturan jam kuliah di luar jam kerja atau sebaliknya. Jam kuliah diperpendek oleh petinggi perguruan tinggi tertentu. Hal itu tentu tak baik bagi perkembangan mahasiswa. Swatantra perguruan tinggi juga rentan terhadap pungutan liar.

Banyak sekali otonomi perguruan tinggi nakal mengambil tarikan dana kepada mahasiswa dengan tujuan eksklusif nan sebenarnya dibuat-buat. Misalnya, uang gedung nan sangat mahal. Padahal, seringkali uang tersebut dimasukkan ke kantong pribadi.

Akan tetapi, di balik adanya akibat positif ataupun negatif itu, wacana swatantra di perguruan tinggi masih menjadi topik nan seringkali dibicarakan hingga saat ini.



Otonomi Perguruan Tinggi- Ajang Membentuk Talenta Mahasiswa

Setelah mengetahui akibat positif dan akibat negarif dari swatantra perguruan tinggi, sungguh memberikan peluang buat mengembangkan talenta mahasiswa lebih. Tak mesti fokus hanya kepada akibat negatif, tapi fokuslah ke akibat positifnya.

Misalnya Fakultas Sastra dan Seni dapat dengan mudah membentuk dan mengembangkan talenta dan kreativitas mahasiswa. Ketika dosen menjelaskan tentang cerpen atau novel, dosen tidak lagi hanya menjelaskan teorinya saja. Namun sudah dapat meminta siswa buat praktek langsung di depannya menulis cerpen.

Tentu saja, proses pembelajaran seperti ini akan memaksimalkan pembelajaran. Dosen tidak hanya duduk diam manis di dalam kelas mendengarkan presentasi mahasiswa, tapi langsung meminta mereka praktik. Hasil nan dibuat mahasiswa langsung dikoreksi. Sehingga mereka pun tahu di mana letak kekurangan pada naskahnya.

Demikian halnya dengan program studi nan lain. Misalnya saja Teknologi Pendidikan. Mahasiswa tidak hanya belajar teori teknologi pendidikan dalam menyelesaikan problem pendidikan, tapi langsung diminta buat membuat produk pembelajaran. Jika di perguruan tinggi tersebut mempelajari model pengembangan dengan model Dick & Carey, maka mahasiswa baru dinyatakan lulus dapat telah sukses membuat produk.

Di sinilah akan tampak kompetensi siswa. Karena dengan model pembelajaran tersebut mahasiswa dapat mempraktekkan langsung. Jangan sampai mahasiswa hanya belajar teori model pengembangan sistem instruksional tapi konkret mahasiswa tidak mampu mengaplikasikannya. Tentu saja, ini akan menjadi sia-sia.

Bahkan, seharusnya perguruan tinggi program pasca sarjana juga harus mampu membentuk mahasiswa nan dapat membuat produk-produk nan sinkron dengan jurusannya. Katakan saja Pascasarjana Teknologi Pendidikan, tidak semestinya mahasiswanya hanya disibukkan mengupas dan membahas pengaruh teori belajar dan pembelajaran.

Tapi paksalah bahwa mahasiswa baru dinyatakan lulus dan berhak menjadi master, ketika mampu membuat produk pembelajaran. Misalnya saja membuat produk pembelajaran dengan media flash, membuat produk pembelajaran komik dan sebagainya.

Akan tetapi. jika mentalitas perguruan tinggi hanya menjadikan perguruan tingginya sebagai ajang bisnis, maka pola pikirnya tidak akan pernah berubah. Atau, mentalitas mahasiswanya juga demikian, maka apa nan penulis tawarkan tidak akan bermanfaat.

Pasalnya, jika sudah rusak idealisme, maka tidak akan berguna ide-ide nan bermanfaat. Inilah nan menjadi problem di negeri ini. Satu sisi, diributkan banyaknya pengangguran. Di sisi nan lain, dibuka perguruan tinggi nan tidak sekedar mengajarkan teori, namun nyatanya malah minus mahasiswanya.

Inilah dilema nan sulit buat diselesaikan. Namun menjadi permasalahan besar nan sulit buat diberikan solusi. Maka tidak heran, bila banyak mahasiswa menjadi pengangguran. Disalahkan mahasiswa, tapi mereka tidak menerima. Disalahkan perguruan tinggi, tapi mereka juga tidak menerima.

Oleh sebab itu, ketika universitas atau perguruan tinggi memiliki kewenangan mesti berani bertanggungjawab terhadap 'produk' mahasiswa nan ditamatkan. Dan mahasiswa pun harus siap buat menjadi seperti apa nantinya bila tamat dari perguruan tinggi, jika ternyata salah memilih perguruan tinggi.

Intinya, permasalahan keberhasilan mahasiswa dan perguruan tinggi dalam hal mendidik berpulang pada diri masing-masing. Bagi mahasiswa, lihatlah tamatan dari perguruan tinggi tersebut. Jika ternyata banyak pengangguran, lalu Anda memilih perguruan tinggi tersebut, maka jangan salahkan perguruan tinggi.

Perguruan tinggi juga harus berkaca. Jika kemampuan mahasiswa sebelumnya di bawah rata-rata, maka tugas perguruan tinggi buat menaikkan keberhasilan ternilai cukup sulit. Jika sukses maka itu ialah keberuntungan. Jika gagal, maka pahamilah sampai di situ standarisasi kemandirian universitas atau perguan tinggi tersebut.



Kapan Peluang Memasukkan Dosen Berkualitas

Dengan adanya otonomi perguruan tinggi , sejatinya peluang buat memasukkan dosen potensial dan berkualitas. Namun semua tetap saja menjadi pertimbangan dengan kemampuan daya tangkap mahasiswanya. Perguruan tinggi dapat saja memasukkan dosen berkualitas, tapi jika sasaran nan dicapai tidak sukses malah jadi sia-sia.

Karena itu, pihak perguruan tinggi mesti bijak. Lakukan analisis kebutuhan dulu. Seberapa krusial memasukkan dosen potensial. Pada mata kuliah apa nan mesti dimasukkan dosen-dosen berkualitas. Pasalnya, dosen berkualitas mesti seimbang dengan daya nalar mahasiswanya.

Maka dari itu, penulis lebih menyarankan. Jika sedang dalam membangun gambaran perguruan tinggi, tidak mesti dengan memasukkan dosen-dosen berkualitas. Tapi perbaiki saja dulu intelektual mahasiswanya. Jangan sampai dosen sudah lelah menjelaskan namun mahasiswanya tidak memahami.

Demikian pula kebalikannya. Ketika intelektualitas mahasiswa sudah memumpuni, hendaknya memasukkan dosen-dosen nan berkualitas. Artinya, perguruan tinggi mesti mengganti dosen-dosen nan membuat mahasiswa menjadi malas belajar.

Adakah dosen nan membuat mahasiswa menjadi malas belajar? Jawabannya, ada. Yaitu dosen nan asyik bercerita sendiri menjelaskan materi perkuliahan. Ia tidak membuat mahasiswa aktif. Sehingga mahasiswa menjadi kian bingung dan malas buat belajar.

Termasuk dosen nan membuat mahasiswa menjadi malas belajar ialah dosen nan gagap teknologi. Mestinya, dosen harus dapat memanfaatkan internet sebagai media proses tugas buat mahasiswa. Dosen pun semestinya menjadi lebih aktif dan bisa memberikan informasi mutakhir kepada mahasiswa.

Sehingga pembelajaran menjadi 'hidup' dan mahasiswa pun menjadi semangat dalam belajar. Di sinilah baru akan tercipta pendidikan nan baik di perguruan tinggi. Mahasiswa aktif belajar dan dosen pun aktif mengajar. Ia memberikan suplemen tambahan ilmu, di samping mahasiswa disibukkan oleh dosen buat menguasai materi.

Maka, keberadaan independensi perguruan tinggi tampak nyata. Inilah kira-kira citra nan dapat penulis ungkapkan. Tentu saja berdasarkan pengalaman penulis menjadi dosen di perguruan tinggi partikelir nan melakukan otonomi. Sungguh, penulis melihat sisi positif dan sisi negatif dari aplikasi swatantra di perguruan tinggi.