Memelihara Peran Ibu
Tanggal 22 Desember dikenal sebagai Hari Ibu Nasional. Berbagai bentuk seremoni dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, dari mulai mengirim SMS dan kartu ucapan, memberi karangan kembang dan kado, membantu pekerjaan domestiknya, hingga mengadakan pesta spesifik buat ibunda tercinta. Semua itu dilakukan buat mengungkapkan rasa kasih sayang, tanda cinta, dan wujud terima kasih kepada para ibu di Hari Ibu.
Pertanyaannya, apa urgensi Hari Ibu sehingga senantiasa diperingati setiap tahun? Pertanyaan tersebut sangat krusial sekali sebab sangat mendasar, terkait seberapa dalam kita memaknai seremoni Hari Ibu.
Hari Ibu - Hari Ibu di Berbagai Negara
Perayaan Hari Ibu atau Mother’s Day di negara lain bhineka waktunya. Di negera-negara Timur Tengah misalnya, mereka memperingatinya setiap tanggal 21 Maret. Sementara itu, di negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Kazakhstan, Afganistan, Azerbaijan, Bonsia, Serbia, termasuk Rusia, diperingati setiap tanggal 8 Maret.
Namun, sebagian besar negara-negara di global memperingati Hari Ibu setiap pekan kedua bulan Mei, di antaranya seperti Amerika Serikat, Australia, Cina, Jerman, Hongkong, Italia, Jepang, dan Belanda.
Selain tanggal nan berbeda-beda, latar belakang seremoni Hari Ibu di setiap negara pun berbeda-beda. Di Amerika Serikat, peringatan Hari Ibu dilatarbelakangi perjuangan seorang aktivis sosial, Julia Ward Howe (27 Mei 1819 – 17 Oktober 1910), nan berjuang menentang perang saudara America Civil War, dan membela hak-hak perempuan dalam global pendidikan dan politik.
Howe merupakan orang pertama nan mencanangkan adanya Mother’s Day atau Hari Ibu nan diproklamasikan pada tahun 1870. Atas perjuangannya tersebut, penyair nan menciptakan lagu The Battle Hymn of the Republic (lagu patriotisme Amerika sejak Perang Sipil) ini dijadikan gambar prangko pos pada tahun 1987.
Di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, seremoni Hari Ibu mendapat pengaruh dari Norma mereka memuja Dewa Rhea, istri Dewa Kronus dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani Kuno. Bahkan jauh sebelumnya, pada masyarakat Yunani Purba, Hari Ibu dirayakan buat memuja Cybele, ibu dewa-dewi Yunani nan agung.
Sementara itu, di zaman Roma Purba, Hari Ibu disebut sebagai seremoni Montrali buat memperingati Dewi Juno. Pada seremoni ini, para ibu biasanya diberi hadiah khusus. Lalu, apa nan menjadi latar belakang seremoni Hari Ibu di Indonesia?
Sejarah Hari Ibu di Indonesia
Tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional berdasarkan Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 nan dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Diawali oleh serangkaian kongres nan diadakan oleh beberapa organisasi perempuan, nan secara resmi diputuskan pada Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938, bahwa Hari Ibu ditetapkan buat diperingati setiap tanggal 22 Desember.
Pada waktu itu, Hari Ibu diperingati buat menyerap semangat perjuangan para perempuan seperti Tjoet Nyak Dhien, Tjoet Nyak Meutia, Nyai Ahmad Dahlan, Dewi Sartika, R. A.. Kartini, dan lain-lain dalam upaya memajukan bangsa dan negara.
Refleksi Hari Ibu Saat Ini
Perayaan Hari Ibu saat ini akan kehilangan esensinya bila tak dimaknai dan dihayati dengan benar. Bahkan akan membuat Hari Ibu hanya sekedar ritual seremonial semata, nan hanya bermakna pada tanggal 22 Desember saja, setelah itu hilang maknanya, tak berbekas.
Oleh sebab itu, saat ini perlu pemaknaan nan lebih dalam dan jauh, mungkin lebih dalam lagi dari pemaknaan atas hasil Kongres Perempuan III. Apabila ingin lebih dalam lagi, jauh melebihi dari Julia Ward Howe, bahkan jauh melewati keyakinannya masyakat Yunani Purba nan banyak bersinggungan dengan keyakinan agama itu.
Pemaknaan Hari Ibu akan lebih dalam jika kita mau menariknya melewati itu semua, menariknya hingga pada awal sejarah manusia. Awal adanya sosok seorang ibu di global ini, nan dihadirkan ke global buat melengkapi Adam, sebagai seorang istri dan ibu dari anak keturunannya serta pengatur urusan rumah tangganya.
Itulah Ibu kita semua, Ibunda Hawa. Dari situlah peran mulia seorang ibu mulai tergores dalam lembaran sejarah, dan terus tertoreh dengan tinta emas sampai sekarang. Dan akan terus ke ujung sejarah kehidupan manusia, serta tak cukup sampai pada Hari Ibu saja. Dari sanalah kita mulai mengenal peran seorang ibu nan memelihara urusan rumah tangga, suami, dan juga anak.
Ibu ialah citra konkret sosok teman sejati ayah kita, dialah orang nan paling setia menemani ayah kita dalam kehidupannya, suka maupun duka, dan tidak hiperbola juga jika kita ikut merayakan Hari Ibu. Ibu ialah sosok pertama nan memberikan belaian cinta dan kasih sayangnya kepada kita sejak dalam kandungan. Ibu ialah orang pertama nan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya hingga lahirlah anak-anak dan generasi penerus nan berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, dan berpendidikan agung.
Peran krusial seorang ibu tak akan pernah tergantikan oleh siapapun, bahkan oleh sosok seorang ayah, sehingga rasanya tak cukup menunjukkan rasa sayang pada ibu di Hari Ibu saja. Laki-laki memang jauh lebih kuat secara fisik dari seorang wanita, namun kelebihan seorang lelaki itu pun tak menjadikannya mampu menggantikan peran mulia seorang ibu dengan baik dan sempurna. Ibu memiliki insting nan lebih kuat terhadap anaknya dibandingkan ayah. Ibu memiliki kesabaran lebih dalam hal mendidik anak dibandingkan ayah.
Ibu memiliki naluri sebagai orang tua nan lebih tajam dibandingkan ayah. Ibu lebih tahu karakter anak dibandingkan ayah. Dan ibu rasa sayangnya lebih dalam kepada anak-anaknya dibandingkan ayah. Oleh sebab itu, seandainya manusia mampu menghitung sejarah hingga ke awal kelahiran manusia di dunia, saat Ibunda Hawa dihadirkan ke dunia, sepertinya kehadiran beliau akan lebih menarik dijadikan sebagai simbol Hari Ibu.
Memelihara Peran Ibu
Hari Ibu sebagai alternatif lain buat menunjukkan bukti kasih seorang ibu. Ibu ialah salah satu pilar primer institusi keluarga. Karena dari pangkuan seorang ibulah lahir manusia-manusia besar, Behind a great man, there must be a great woman. O leh sebab itu, peran ibu tak boleh dikalahkan oleh apapun.
Peran ibu harus terus berjalan dan dijaga, tak boleh lenyap ditelan modernisasi, tak boleh tergerus arus globalisasi, tak boleh berhenti dilanda kehidupan materialistis, dan tak boleh wafat terbunuh kapitalisme.
Melalui Hari Ibu dapat kita jadikan sebagai pengingat peran ibu. Peran ibu jangan sampai terkikis dengan alasan apapun sebab itu merupakan pangkal bala nan akan menghancurkan institusi keluarga. Cukuplah apa nan terjadi dalam kehidupan orang-orang Barat menjadi pelajaran bagi kita, ketika peran ibu tercerabut atas dasar feminisme dan menghancurkan keharmonisan keluarga mereka.
Akhirnya nan terjadi sekarang, mereka ingin kembali lagi menuju sebuah tatanan keluarga nan harmonis, nan mana dalam sebuah keluarga terdapat figur seorang ayah selaku pemimpin primer keluarga dan pencari nafkah, dan sosok seorang ibu nan mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga.
Kebangkitan Keluarga Kebangkitan Dunia
Dua orang futurolog, Patricia Aburdene dan John Naisbitt, menyatakan dalam bukunya Megatrends for Women , bahwa salah satu tren nan akan terjadi di masa depan ialah kebangkitan keluarga. Oleh sebab itu, seremoni Hari Ibu nan diperingati setiap tanggal 22 Desember janganlah dijadikan sebagai sebuah seremonial belaka.
Justru harus dijadikan momentum buat mengembalikan sosok ibu sebagai istri bagi suaminya, ibu bagi anak-anaknya, dan manajer bagi rumah tangganya. Serta dijadikan momentum buat membuktikan bakti seorang anak kepada ibunya. Semoga dengan begitu, masa depan kehidupan manusia menjadi lebih baik. Selamat Hari Ibu!