Reaksi Beragam
Demi Rupiah
Hubungan awal pemerintahan dengan media, sebagaimana secara langsung menggambarkan keterkaitan antara global politik dengan media, ialah interaksi saling menindas. Media melakukan intrusi hiperbola kepada kebijakan pemerintah, dan sebagai balas, pemerintah memberangus media. Tetapi kondisi ini bukan kondisi saat ini. Kondisi tersebut terjadi pada masa orde baru. Banyak sudah usaha penerbitan nan dibredel dan para redakturnya dipenjara. Namun, banyak nan tak kapok dan terus menerbitkan koran atau majalah dengan nama lain.
Kondisi tersebut seolah menjadi bagai kisah nan tidak ada lagi bekasnya. Hujatan dan kritikan pedas tentu saja sangat dinantikan oleh masyarakat nan merasa kecewa terhadap pemerintah. Tetapi rakyat tak dapat berbuat apa-apa sebab upata mereka menyuarakan keinginannya tak mudah tersampaikan. Pemerintah sangat andal dan sangat berkuasa. Politik nan berlangsung saat itu cukup menakutkan. Media nan dapat bertahan ialah media nan cukup kuat berusaha buat berimbang dalam pemberitaannya.
Tentu saja pihak media berusaha buat tak kehilangan mata pencariannya. Banyak wartawan nan disebut sebagai wartawan ‘amplop’. Mereka ini ialah wartawan nan akan menuliskan apa nan diminta oleh pihak-pihak nan membutuhkan pemberitaan nan baik tentang dirinya. Sudah niscaya rakyat akhirnya tak mengetahui tentang banyak hal nan seharusnya mereka tahu. Apa nan diberitakan ialah sesuatu nan latif dan baik. Padahal banyak rakyat nan menderita.
Bila warta nan ditayangkan terlalu pedas atau bahkan membuka borok pemerintah, maka nan akan terjadi ialah tekanan nan akan diberikan kepada para wartawan dan koran nan memberitakan hal tersebut. Tidak heran kalau banyak wartawan nan merenggang nyawa. Hingga kini pun peristiwa pembunuhan wartawan itu masih ada nan belum terungkap. Misalnya, peristiwa pembunuhan terhadap wartawan dari Yogyakarta, Udin. Banyaknya data nan ditemukan tak membuat kasus ini mampu menyeret pembunuhnya ke pengadilan.
Inilah sesuatu nan sangat mengerikan pada saat itu. Bagaimana dengan saat ini? Kekerasan terhadap wartawan ternyata masih ada. Bahkan masih ada juga wartawan nan meninggal sebab dibunuh. Penganiayaan ini dilakukan oleh berbagai pihak terutama nan nan berhubungan dengan angkatan bersenjata. Seperti nan terjadi di Palembang dan di loka lainnya. Yang membedakan ialah bahwa keterbukaan terlihat dan terasa sekali. Berbagai tulisan itu membuat masyarakat lebih banyak tahu tentang apa nan terjadi.
Sejarah Keterbukaan Pers
Sejak kapankah keterbukaan itu mulai dirasakan? Awalnya terjadi setelah begitu banyak dorongan dan tekanan agar peranan pemerintah dalam bidang pemberitaan ini berkurang. Pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie, dengan dukungan para Menteri nan tergabung dalam kabinet reformasi pembangunan mulailah era keterbukaan dibuka. Perombakan besar-besaran mulai dilakukan baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan pertahanan dan keamanan.
Rakyat sepertinya telah begitu muak dengan semua tekanan dan ketertutupan. Rakyat menginginkan keterbukaan. Saat ini semua nan diinginkan oleh rakyat itu sudah didapatkan. Tetapi tentu saja ada masalah lain. Pornografi merebak dan keterbukaan ini menjadi sesuatu nan sangat mengerikan. Orang begitu mudah melakukan hal-hal nan diinginkannya sehingga membuat banyak orang nan masih menjunjung tingga kebiasaan agama dan budaya menjadi khawatir.
Pakaian nan semakin terbuka juga merupakan salah satu akibat dari keterbukaan nan diberikan kepada media. Banyak koran dan majalah baru nan menampilkan berbagai budaya. Kalau tak diberi sandaran pengetahuan tentang agama, anak muda nan merupakan generasi muda Indonesia akan terlena dan tak tahu arah nan tepat demi kehidupannya.
Dari sisi komunikasi, kebijakan nan sangat membebani kalangan pers di masa Orde Lama dan Orde Baru mulai dihapuskan, di antaranya ialah Penghapusan Hukuman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Maka menjamurlah ribuan media baru dengan segala macam upayanya agar dapat eksis dan lentur. Orang bertanya, adakah media baru itu dilahirkan murni dari rahim para jurnalis?
Jawabannya tentu no no no ... mengikuti kisruh pemilu demokratis pertama kalinya di Indonesia pada 1999. Media memiliki paras politik nan kental. Setiap koran-majalah-buletin-tabloid, memiliki beking atau dukungan kental dari partai politik. Tujuan jangka pendeknya memenangkan pemilu, tujuan jangka panjangnya, mengikuti jejak media massa underbouw pemerintah nan sukses, segar, ranum, dan makmur.
Majalah, koran, atau media digital nan dibiayai oleh masing-masing partai politik, menyuarakan kepentingan mereka demi mendapatkan dukungan nan banyak dari lapisan masyarakat. Apakah awak media di tengah hingar bingar perpolitikan nan sedang reformasi, atau revolusi diisi oleh para jurnalis nan jujur? Pertanyaan ini juga ditanyakan juga oleh pakar komunikasi massa Denis McQuaill.
Dengan meminjam pendapat J. Westerstahl (1983: 130) dalam buku “Pengantar Teori Komunikasi Massa”, terdapat dimensi kefaktualan (factuality) dan impartialitas (impartiality), nan harus dipahami jurnalis. Dimensi kefaktualan terdiri atas dua sub dimensi, yaitu kebenaran dan relevansi. Sementara impartialitas (impartiality) memiliki dua sub dimensi, yaitu ekuilibrium dan netralitas. Wartawan nan digerus arus politik memiliki kapital nan pertama, tapi kosong buat dimensi imparsial.
Maka media dengan gamblang demi ekuilibrium bakul nasinya, merelakan sisi obyektifitas kepada mereka nan mau membayar lebih. Langsung menuding nama-nama. Semua orang paham bila harian Koran Jakarta merupakan ‘media resmi’ partai Demokrat. Dalam media itu, berabgai halyang dilakukan oleh para pendukung PD diberitakan sedemikian rupa sehingga hanya nan baik yag dilihat. Warta korupsi nan dilakukan oleh para kadernya nan menempati posisi kunci, ternyata tak membuat koran ini berhenti memberitakan hal-hal positif tentang PD.
Koran ini bukan satu-satunya koran nan dimiliki oleh sebuah partai nan mempunyai uang berlimpah. Metro group menyokong kesuksesan Nasional Demokrat. Mulai dari Nasdem nan dikatakan bukan sebagai sebuah partai hingga peresmian Nasdem sebagai partai, diberitakan dengan cukup cantik di setiap medai nan dimiliki oleh Surya Paloh ini. Memang hal ini tak dapat disepelekan, tetapi apa nan diberitakan harus ditelaah dan disaring lagi oleh para pembaca dan pendengar warta tersebut.
Suara Karya koran milik Golkar juga memberitakan tentang hal-hal nan berhubungan dengan apa nan dilakukan oleh semua kader Golkar. Golkar nan ingin berkuasa lagi tentunya membutuhkan corong nan tepat agar rakyat berpaling kepada mereka lagi. Tidak mudah memang tetapi perjuangan tetap harus dilakukan. Pan juga pernah mempunyai koran spesifik ketika Amin Rais mencalonkan diri menjadi presiden RI.
Republika corong resmi Adi Sasono dan ICMI, harian Kompas cenderung kepada ‘merah’, sementara media Tempo, ditujukan kepada kelas elite nan liberal, dan Trust majalah nan serba tonjok kiri kanan itu, dimiliki keluarga Soeharto. Media koran ini dipandang cukup menguntungkan, baik dari sisi finansial maupun dari sisi pemberitaan dan pencitraan.
Reaksi Beragam
Jika tudingan itu resmi, semua berlomba menolak. Tapi dengan menggunakan analisis framing dan analisis wacana, penolakan itu mentah dengan sendirinya. Media tengah menggunakan fasilitas nan dinamakan Ekonomi Politik. Tujuan buat mencapai kekuasaan ialah hak dari setiap warga negara di negara nan demokratis. Namun, keterlibatan media sebagai suara publik, menjadikan media tumpul di tengah kejujuran, dan kopong harga dirinya demi politik pencitraan kaum nan media bela. Hal macam ini, juga terjadi di banyak negara lain, namun tak se ‘blatanly overexposed’ di Indonesia.
Semua mengerti bahwa Berlusconi tak akan berkuasa bila semua media miliknya tak menyokong kegiatan dan prolifik dirinya. Yang berbeda di Indonesia. Karena overexsposed, hal jelek pemerintahan ditutupi, dialihkan dalam isu-isu tajam lain. Meminjam pena media.
Media nan tak ikut menari dalam tetabuhan nan dilempar penguasa politik, akan miskin pembaca. Dan akan tersingkir dari persaingan. Tidak heran, bila politik pencitraan merupakan permainan tari menari, tabuh menabuh antara media dengan penguasa. Uang mengalir, kekuasaan langgeng, sementara rakyat jadi kambing kurap.