Terkenang Celana Pak Guru

Terkenang Celana Pak Guru

Puisi pada masa ini ialah puisi kekinian. Puisi nan sudah memiliki kebebasan berekspresi, baik dari bentuk, rima, dan diksi nan dipilih. Istilah pada masa ini sendiri dimulai sejak 70-an. Sejak zaman itu setiap penyair mulai mengeksplorasi puisi bukan lagi sebagai karya standar nan penuh anggaran tapi puisi dikembalikan ke dalam hakikatnya, yaitu doa.

Doa sebagai upacara bahasa nan tentu setiap orang punya kebijakan sendiri dalam mengekspresikan doa. Inilah puisi pada masa ini nan punya kebebasan buat menuangkan gagasan. Berikut beberapa contoh puisi pada masa ini karya joko pinurbo.



Malam Pembredelan

Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya
Mereka menggigil di bawah hujan sejak sore
Bersiap menyaksikan kematiannya
Malam sangat ngelangut, seperti masa muda
Yang harus bergegas ke pelabuhan
Meninggalkan saat-saat latif penuh kenangan

Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
Menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan baju serba putih
Dengan rambut disisir rapih dan paras amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan residu kopi
Di cangkir ungu, ambil bersiul dan sesekali berlagu.

"Selamat datang, aku sudah menyipakan semua
yang akan saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja nan Saudara takuti
tetapi sebenarnya tak aku miliki."

Ia berdiri di pintu ambang.
Di tatapnya paras pembunuh itu satu-satu
Mereka gemetar dan memandang ragu
"Maaf kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari nan kami kira
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
Di sekitar bola mata Anda."

"Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pretensi menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan berbalik menyerang Saudara."

"Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata nan bahkan telah anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakan."

"Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya nan lebih dahsyat dari kata-kata."

Tanpa kata-kata gerombolan pembunuh itu berderap pulang
Tubuh mereka nan seram, paras mereka nan nyalang
Lenyap di telan malam dan hujan

Sementara di atas seratus halaman majalah
Yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:

Kata-kata ialah kupu-kupu nan berebut bunga
adalah bunga-bunga nan berebut warna,
adalah rona nan berebut cahaya,
adalah cahaya nan berebut cakrawala
adalah cakrawala nan berebut saya

lalu ia tidur pulas
segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya

karya Joko Pinurbo (1995)

***



Gambar Porno di Tembok Kota

untuk A. S. A

Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin memamerkan kecantikan:

paras ranum nan merahasiakan derita dunia;
leher langsat menyimpan beribu jeritan;
dada montok nan mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar
nan dirimbuni semak berduri.

Dan malam itu datang seorang pangeran
dengan celana komprang, pakaian kedodoran, rambut
acak-acakan. Datang menemui gadisnya nan lagi kasmaran.

"Aku rindu Mas Alwy nan tahan meracau seharian,
yang tawanya ngakak membikin ranjang reot
bergoyang-goyang, nan jalannya sedikit goyah
tapi gagah juga. Selamat malam Alwy."

"Selamat malam, Kitty. Aku datang membawa puisi.
Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
yang penuh pekik dan basa-basi."

Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar
mencercar bunga-bunga layu nan bersolek di bawah
cahaya merkuri. Dan inilah situasi politik memungkinkan,
tentu akan semakin banyak nan gencar bercinta
tanpa merasa waswas akan ditahan dan diamankan

"Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
Ledakan puisimu di nyeri dadaku."
"Tapi saya bukan binatang jalang, Kitty.
Aku tidak pandai meradang, menerjang."

Sesaat ada juga keabadian, diusapnya pipi muda,
leher hangat dan bibir lezat nan teracam kelu.
Dan dengan cinta nan agak berangasan diterkamnya
dada nan beku, pinggang nan ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri pada sembilu.

"Aku Sayang Mas Alwy nan mata beringas
tapi ada teduhnya. Yang cintanya ganas tapi ada lembutnya.
Yang jidatnya licin dan luas, loka segala kelakar
Dan kesakitan bergadang semalaman."

"Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
meski kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak risau. Maaf, Aku tidak punya banyak waktu
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika cuma buat menjadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?"

"Terima kasih, gadisku."
"Peduli amat, Penyairku

karya Joko Pinurbo (1996)

***



Terkenang Celana Pak Guru

Masih pagi sekali, bapak guru sudah siap di kelas
Kepalanya nan miskin dan merana terkantuk-kantuk
kemudian terkulai di atas meja
Kami, anak-anak nan bengal dan nakal, beriringan masuk
sambil mengucapkan: "Selamat Pagi Bapak Guru."
Bapak guru tambah nyeyak. Dengkur dan air liurnya
Seakan mau mengatakan: "Bapak sangat lelah."

Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak guru telah berjanji
Menceritakan kisah para pahlawan nan potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tidak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: "Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hapalkan semua nama dan peristiwa."

Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rit celananya nan setengah terbuka
seakan mau mengatakan: "Bapak habis lembur semalam."
Ada nan cekikikan. Ada nan terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula nan lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: "Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini."

Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat nan sedang tidur di dalam makam
di bekas huma sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kubura.
"Silakan," katanya.
"Dia Pak Guru kita itu!" temanku berseru
"Kau ingat rit celananya nan setengah terbuka?"
"Tenang. Jangan mengusik ketentramannya,"
aku memperingatkan.

Dia niscaya damai dan senang di loka nan begini bersih
dan tenang." Kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
"Kelak saya juga ingin dikubur di sini," sambungnya.
"Ah, jangan berpikir nan bukan-bukan," timpalku.
Sementara si penjanga kuburan nan celananya congklang
dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kemboja.

*** By: Joko Pinurbo (1997)

Naik bus di Jakarta
Sopirnya sepuluh.
Kernetnya sepuluh.
Kondekturnya sepuluh.
Pengawalnya sepuluh.
Perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta nan ruwet sekali.
Sampai di terminal, kondektur minta ongkos:
"Sialan, belum bayar sudah mati!"

*** (Pacar Senja: Joko Pinurbo)

Mei

Tubuhmu nan cantik, Mei
telah kau persembahkan kepada api
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.

Api sangat mencintaimu, Mei .
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya nan cuma warna
yang cuma kulit, nan cuma ilusi.

Tubuh nan meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh bohong kami dengan membakar habis
tubuhmu nan cantik, Mei
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan misteri cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tidak ada lagi nan mempertanyakan
nama dan rona kulitmu, Mei.

*** (Pacar Senja, Joko Pinurbo)