Memaknai budaya

Memaknai budaya

Globalisasi saat ini menjadi paras global nan tidak dapat dielakkan. Berbagai budaya bangsa di global tumpah ruah menjadi satu. Seiring perubahan paras global itu, seribu persoalan dan tantangan siap menerpa, salah satunya ialah pengaruh budaya antar bangsa . Namun sebenarnya pengaruh budaya itu tak selamanya negatif. Pengaruh budaya luar dapat pula memberi inspirasi terutama dalam kaitannya dengan motivasi hayati dan kebijakan dalam menghadapi kehidupan. Sebenarnya, pengaruh budaya luar terhadap budaya pribumi, kembali kepada individu masing-masing apakah tetap dapat memilih dan memilah atau sebaliknya hanyut dengan pengaruh budaya luar tersebut.

Pengaruh budaya nan dapat masuk melalui berbagai media ataupun bersinggungan langsung antar individu dan atau kelompok melalui berbagai macam model dan kegiatan. Sekuat apapun pertahanan apabila diserang secara monoton dapat jebol juga. Maka, langkah nan logis dalam menangkal pengaruh budaya luar terutama nan negatif ialah dengan membekali diri dengan pengetahun dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan, sehingga dengan sendirinya akan membentuk anti bodi sendiri terhadap pengaruh budaya luar nan negatif tersebut melalui kedewasaan berpikir dalam proses memilih dan memilah.

Memang tak dapat dipungkiri bila globalisasi budaya saat ini tampak mengarah pada ketidakadilan budaya. Satu budaya bertindak hegeminik dan dominatif terhadap budaya lainnya. Tentu, fenomena demikian akan menjadi bumerang dan momok. Pasalnya, terjadi semacam hegemoni dan pemaksaan budaya, walau terkadang tampak dibungkus dengan cara nan halus. Ketidak berdayaan menangkal penguasaan budaya eksklusif ini juga bukan buat diratapi. Sebaliknya menghadapi penguasaan budaya luar tersebut harus dihadapi dengan kepala dingin, dengan demikian akan mampu memilih mana budaya nan dapat diterima sehingga terjadi proses akulturasi dan mana budaya nan mentah-mentah harus ditolak. Penolakan terhadap budaya luar nan dianggap tak sinkron itu juga harus dilakukan secara bersama-sama. Kolektif. Sehingga akan muncul sikap kolektif. Sikap kolektif inilah nan dihadapkan akan menyuarakan kepentingan bersama sebagai upaya meningkatkan daya cegah dan perlindungan terhadap pengaruh budaya luar nan jelek tersebut.

Pilihan tepat dalam menghadapi tantangan ini ialah dengan akulturasi . Akulturasi dirasa paling menjanjikan. Dengan akulturasi , kekhawatiran tercerabutnya bukti diri budaya bangsa tak akan terjadi. Dalam konteks perjumpaan budaya Indonesia dikancah globalisasi budaya, keaslian budaya Indonesia akan terjaga. Namun demikian kita tak secara serta-merta menolak mentah-mentah setiap pengaruh budaya dari luar. Seperti telah disinggung tadi bahwa banyak pengaruh budaya dari luar nan justru bila diaplikasikan dengan tetap mengacu kepada budaya bangsa sendiri, akan menghasilkan harmoni.



Budaya tinggi

Dalam mendefiniskan apa itu akulturasi budaya, terdapat pengertian nan secara normatif sudah diterima umum. Bahwa, akulturasi budaya ialah perjumpaan antarbudaya nan berbeda. Rendezvous demikian terjadi secara langsung, terus menerus dan berkesinambungan.

Beragam budaya itu saling berdampingan dan mengisi satu sama lain. Hanya saja, satu hal nan perlu digaris bawahi, proses demikian tak lantas menghilangkan kekhasan dan keaslian masing-masing budaya. Akulturasi merupakan sikap kompromi nan berangkat dari kepentingan bersama nan jauh lebih penting. Memandang disparitas budaya dari persamaan sikap, maka akan melahirkan toleransi. Adanya toleransi dari kedua belah pihak inilah nan memincu buat munculnya akulturasi.

Ambil contoh kenyataan pengaruh budaya budaya di Indonesia dengan budaya Hindu-Budha di Indonesia. Bila dipahami secara cermat, budaya Indonesia cukup selektif dan mempertimbangkan dengan matang keputusan apakah budaya Hindu-Budha layak diterima atau tidak. Artinya, kebudayaan Indonesia sejak awal sudah melakukan upaya pengolahan dan penyesuaian. Sudah melakukan proses memilih dan memilah secara matang dan dewasa.

Dari proses pengaruh budaya itu, sama sekali tak ada unsur-unsur budaya Indonesia nan hilang atau tercerabut. Salah satu alasan mengapa proses pengaruh budaya budaya nan ada di Indonesia tetap membuat kebudayaan Indonesia tak goyah, sebab Indonesai telah memiliki karakter atau kepribadian nan matang dalam budaya. Kebudayaan Indonesia sudah cukup kuat. Indonesia memiliki budaya tinggi.

Dengan demikian, masuknya budaya asing (Hindu-Budha) memberi arti penting. Hindu-Budha ditempatkan sebagai kebudayaan nan turut memperkaya perbendaharaan kebudayaan Indonesia nan jauh-jauh hari sudah cukup berbudaya, buat tak mengatakan budaya Hindu-Budha sebagai pelengkap budaya Indonesia.

Memang, akulturasi mampu meracik atau menghasilkan budaya baru. Tapi, kebaruan di loka ini bukan berarti baru nan kemudian meng hegemoni kultur Indonesai. Budaya baru itu tak cukup kuat menggantikan kekhasan budaya nan dimiliki Indonesia sejak awal. Kekhasan budaya Indonesia itulah nan mungkin tepat di istilahkan dengan lokal genuine .

Produk dari akultuasi budaya tersebut dapat dilihat dari banyak aspek baik sosial, ekonomi, politik (pemerintahan), seni dan budaya, hingga filsafat. Selain itu, bidang pendidikan maupun kepercayaan juga amat kentara hingga saat in.

Misalnya masalah kasta dalam tatanan masyarakat. Berbeda dengan bidang sosial, dalam bidang ekonomi, sebab Indonesia sebelum kedatangan Hindu-Budha sudah memiliki wawasan dan praktik pelayaran maupun perdagangan, maka pengaruhnya tak begitu kentara.

Dalam masalah politik, Indonesia juga terwarnai oleh pengaruh tradisi Hindu-Budha. Kapital kekuasaan politik dengan sistem raja dan turun temurun dapat dibilang hasil pengaruh budaya Hindu-Budha, walau sistem kekuasaan kesukuan tidaklah lekang. Sebab, model kekuasaan oleh kepala suku dan dipilih sinkron kompetensi dan kapabilitas calon pemimpin, sudah ada sebelum kedatangan Hindu-Budha.



Memaknai budaya

Dalam hal kepercayaan, tampak jelas bagaimana Hindu-Budha mempengaruhi alam pikiran masyarakat Indonesia. Corak animisme maupun dinamisme nan hayati di Indonesai sebelum Hindu-Budha masuk tergantikan oleh ajaran-ajaran Hindu-Budha.

Kendati demikian, model kepercayaan pada nenek moyang atau nan disebut dengan paham animisme dan dinamisme tak serta merta hilang. Ada semacam sikretisasi antara ajaran-ajaran Hindu-Budha dengan kepercayaan animisme dan dinamisme .

Sebenarnya, selain nan telah disebutkan diatas, masih banyak lagi hasil atau produk pengaruh budaya Hindu-Budha dengan Indonesia. Bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa, filsafat dan lain-lain.

Keberhasilan melakukan akulturasi budaya antara budaya orisinil Indonesia dengan budaya Hindu-Budha tersebut sekali lagi terjadi sebab masing-masing memandang persamaan pada disparitas nan ada. Persamaan sebagai manusia nan memerlukan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari, persamaan dalam hal diperlukannya spiritualisme dengan masing-masing cara, persamaan manusia sebagai makhluk sosial dan lain sebagainya. Pada intinya kalau memang buat tujuan spiritualisme itu dengan menyembah Tuhan, maka kepentingan inilah nan didahulukan dan bukan dengan mengedepankan bagaimana cara menyembah Tuhan.

Kesemua hasil akulturasi itu sampai saat ini disadari atau tidak, telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dan hal demikian tentunya menjadi kebanggaan bagi Indonesia sebab proses-proses akulturasi nan telah dilalui membuat Indonesia kaya dan berlimpah budaya.

Nah, tantangan masa depan bangsa ini ialah mempertahankan kelimpahan budaya nan sudah ada. Memang, proses akulturasi budaya ditengah situasi globalisasi saat ini akan terus terjadi. Karenanya, proses penguatan budaya harus terus dilakukan.

Kekayaan budaya nan dimiliki saat ini perlu digali, dimaknai dan dikupas pesan-pesan positifnya agar tetap relevan dengan perubahan zaman, disamping sebagai benteng penjaga terhadap masuknya budaya destruktif dari berbagai budaya asing nan ada dipersada dunia.