Sosialisasi Politik - Bandar dan Transaksi Politik

Sosialisasi Politik - Bandar dan Transaksi Politik

Pengenalan politik biasa dilakukan para politis menjelang event pemilu, baik pemilhan legislatif (Pileg), pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan presiden (Pilpres). Kebijakan poiltik dalam penentuan anggota legislatif, kepala daerah dan presiden memang mengalami perubahan fundamental.

Sosialisasi politik ini ada seiring dengan mulai diterapkannya sistem demokrasi liberal nan dianut dalam proses politik di Indonesia. Selanjutnya, jabatan presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat melalui prosedur Pilpres, Pilkada, dan Pileg nan ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Bercermin dari banyak kasus, taraf popularitas seseorang ternyata memberi andil besar nan menentukan bagi keterpilihan ( electability ) seorang kandidat. Maka tak mengerankan bursa pemilihan jabatan publik tersebut, akhirnya juga menarik minat para seniman dan atlit nan cukup popular buat meramaikan bursa calon anggota legislatif ataupun Kepala Daerah. Kemenangan dalam memperebutkan jabatan publik ini, sering disebabkan oleh faktor popularitas. Bahkan adakalanya faktor ini mengabaikan faktor lain nan berkait kapasitas dan moralitas seorang kandidat.



Sosialisasi Politik - Ajang Mengail Popularitas

Melihat posisi krusial popularitas, maka kegiatan pengenalan politik menjadi hal prioritas nan harus dilakukan oleh siapapun nan menghendaki kemenangan politik. Pengenalan politik sebenarnya merupakan bagian dari kegiatan pencitraan, karenanya tim berhasil harus dapat jeli membaca gambaran tokoh seperti apa nan dikehendaki oleh masyarakat. Pembacaan nan tepat terhadap keinginan masyarakat, akan menjadikan pengenalan politik semakin efisien.

Terdapat banyak cara buat melakukan itu. Pada lazimnya, orang akan memasang baliho, spanduk atau poster di tempat-tempat strategis buat mengenalkan dirinya. Model pengenalan outdoor ini memang cukup efektif dalam mengenalkan seorang kandidat, namun belum sanggup membuat ikatan emosional dengan masyarakat sasarannya, sebab tak interaktif. Suatu kedekatan dan ikatan emosional hanya akan terjalin pada suatu interaksi nan interaktif.

Maka buat lebih mendekatkan lagi, pengenalan politik dilanjutkan dengan mendatangi masyarakat melalui banyak rendezvous di kampung-kampung. Hubungan langsung dengan masyarakat nan seperti inilah nan dapat lebih mendekatkan kandidat dengan masyarakat secara emosional.

Namun, cara tersebut amatlah mahal biayanya. Selain harus membiayai pertemuan, kandidat biasanya juga harus memberikan uang saku pada warga masyarakat nan hadir dalam rendezvous tersebut. Bahkan ada kalanya, masyarakat melakukan permintaan spesifik pada kandidat buat membantu pembangunan atau kegiatan di kampung mereka.

Dalam situasi nan demikian, kandidat tak punya pilihan lain, selain harus memenuhi permintaan warga tersebut. Sebab jika tidak, maka sasaran pengenalan politik nan dimaksudkan buat mendekatkan kandidat dan menarik simpati masyarakat bakal gagal. Maka tak mengherankan anggapan nan berkembang bahwa kemenangan seorang kandidat berbanding lurus dengan jumlah uang nan dimilikinya. Semakin besar jumlah uangnya, semakin besar peluangnya buat menang. Begitu pula sebaliknya.



Sosialisasi Politik - Mahalnya Ongkos Demokrasi

Demokrasi liberal mengharuskan tiap kandidat buat bertarung sendiri-sendiri. Hal ini berlaku buat pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam pileg, kemenangan seorang kandidat tak lagi didasarkan pada nomor urut, tetapi pada suara terbanyak. Sistem baru ini memang memiliki plus minus.

Pada sistem nomor urut, pengurus partai dapat menempatkan dirinya atau orang-orang nan dikehendakinya pada nomor jadi nan memiliki peluang buat menang besar. Selanjutnya, pertarungan nan sebenarnya akan diwakili oleh Parpol nan bersangkutan. Pertarungan nan demikian, akan menjadikan biayanya lebih murah, sebab ditanggung secara kolektif.

Pada sistem suara terbanyak, oligarki pengurus Parpol tak berlaku dalam menentukan orang-orang nan bakal menang. Akibatnya, logika "nomor jadi" tak bermakna lagi. Kemenangan sepenuhnya ditentukan oleh prosedur pasar nan bergantung pada jualan kandidat mana nan paling laku. Partai tak lagi jadi satu-satunya pihak nan bertarung, tapi masing-masing kandidatlah nan mengambil porsi lebih besar dalam pertarungan ini.

Pada sistem suara terbanyak, masing-masing kandidat harus membiayai sendiri ongkos sosialisasi politik nan dilakukannya. Mereka harus menyiapkan atribut sendiri, membiayai tim suksesnya serta mengongkosi biaya rendezvous dan pemasangan atribut dengan uangnya sendiri.

Harga sebuah kursi DPRD taraf Kabupaten atau Kota, berkisar antara 1,5 - 2 milyar rupiah. Dari mana angka itu didapat? Angka itu dapat didapat dengan membagi semua pengeluaran kandidat dalam suatu dapil dengan kuota kursi bagi dapil tersebut.

Ambil contoh, pada suatu dapil berlaga 150 orang kandidat mewakili semua partai peserta pemilu nan memperebutkan kuota kursi sejumlah 8 buah. Jika rata-rata calon mengeluarkan dana sebesar 80 juta rupiah, maka total biaya kampanye semua kandidat pada dapil tersebut berjumlah 12 milyar rupiah. Sementara itu, sebab pada dapil tersebut tersedia kuota buat 8 kursi, maka harga perkursinya jadi 1,5 Milyar rupiah.

Tentu saja angka itu akan jauh lebih tinggi buat memperebutkan kursi DPRD taraf Provinsi dan DPR RI. Hal ini disebabkan oleh lingkup dapil nan semakin luas dan kebutuhan suara pemilih juga semakin besar. Bila dalam pemilihan anggota DPRD taraf Kabupaten atau Kota, lingkup dapilnya hanya beberapa kecamatan saja, maka dalam pemilihan anggota DPRD taraf provinsi lingkup dapilnya dapat se Kabupaten atau Kota. Begitu juga buat DPR RI, dapilnya dapat meliputi beberapa Kabupaten atau Kota.

Semakin luas lingkup daerah pemilihan, maka akan semakin besar pula biaya pengenalan politik nan harus dikeluarkan. Dapat jadi harga satu kursi DPRD Provinsi akan 3 atau 4 kali lipat dari harga kursi DPRD Kabupaten/Kota, atau kira-kira seharga 4,5 - 8 milyar rupiah buat setiap kursinya. Begitu juga dengan harga kursi DPR RI, dia juga dapat 3 atau 4 kali lipat dari harga kursi DPRD Provinsi, atau sekitar 13,5 - 24 Milyar rupiah per kursinya.

Sementara dalam bursa Pilkada buat Kabupaten/Kota dan Provinsi, biaya nan dibutuhkan masing-masing kandidat akan semakin besar lagi. Sebab harus membiaya kegiatan politik dalam lingkup nan cukup luas, yaitu meliputi seluruh Kabupaten/Kota atau Provinsi.

Selain harus membiayai pengenalan politik dan kampanye, kandidat juga harus "membeli tiket" pada partai pendukung dan pengusungnya. Harga tiket ini tentu saja tak murah, dapat ratusan juta hingga milyaran rupiah. Dan itu harus keluar dari kantong kandidat sendiri.

Apabila akan maju dari jalur independen, dia juga harus mendapat dukungan dari rakyat nan jumlahnya dapat puluhan hingga ratusan ribu. Untuk mendapat dukungan ini dalam waktu singkat, tentunya tak mudah dan tak murah. Apabila ongkos nan dikeluarkan buat mendapatkan satu dukungan sebesar 25 ribu rupiah buat operasional relawan dan imbalan pendukungnya, maka buat dapat mendapat dukungan sejumlah 50 ribu, dia harus mengeluarkan uang sekira 1,25 milyar rupiah.

Uang sebesar itu baru buat biaya "membeli tiket" atau buat "mendapat dukungan" sebagai pasangan calon, masih belum menyentuh biaya operasional pengenalan politik dan kampanye. Jika rangkaian perhelatan pesta demokrasi liberal tersebut telah dilangsungkan, tak mustahil tiap kandidat harus merogoh uang hingga belasan bahkan puluhan milyar rupiah. Masalahnya, dari mana uang itu didapat?



Sosialisasi Politik - Bandar dan Transaksi Politik

Biasanya masing-masing pasangan calon kepala daerah sudah memiliki Bandar. Bandar-bandar ini akan memberikan dukungan dana kepada pasangan calon nan memiliki peluang menang paling besar. Sebagai imbalannya, Bandar-bandar ini akan mendapatkan proyek jika pasangan calon nan didukungnya menang.

Bandar lazimnya bermain di banyak kaki. Dia mendukung setiap pasangan calon, namun dengan proporsi dukungan nan tak sama besar. Semakin besar peluang menang pasangan calon, semakin besar pula dukungan nan dia berikan. Begitupun sebaliknya. Dari mana Bandar dapat tahu peluang menang masing-masing pasangan calon? Forum surveilah nan berperan di sini.

Bandar-bandar ini sebenarnya merupakan sindikat pengusaha lokal dan nasional nan memiliki kepentingan bisnis pada daerah tersebut. Mereka bukanlah investor nan datang buat berinvestasi, tetapi kebanyakan ialah kontraktor nan datang buat mencari proyek. Keterlibatan mereka dalam dinamika politik lokal, hanya sebab motivasi buat menguasai proyek pada daerah tersebut.

Taruhlah dalam setiap perhelatan pilkada Bandar-bandar ini mengeluarkan uang 20 - 25 milyar rupiah buat mendukung semua pasangan calon kepala daerah, mereka sama sekali tak rugi. Sebab dengan konsesi dapat menggarap proyek senilai 20 - 25 persen dari APBD, maka setiap tahunnya mereka dapat mendapat untung banyak.

Andaikata APBD suatu Kabupaten sebesar 800 milyar setiap tahunnya, maka jatah proyek mereka akan senilai 160 - 200 milyar rupiah. Dengan anggapan profit wajar berkisar 10 persen dari nilai proyek, maka setiap tahunnya mereka akan mendapat untung sekira 16 - 20 milyar. Dalam lima tahun mereka akan mendapat laba 90 - 100 milyar, maka dapat dibayangkan jika profit nan mereka ambil lebih dari itu.

Modus Bandar memang selalu demikian, mereka bersedia menyokong biaya pengenalan politik dan kampanye pasangan calon sebagai investasi. Hal ini tentunya juga meringankan beban pasangan calon juga, karena jika harus merogoh uang milyaran, tak semua pasangan calon bersedia. Pasangan calon lebih bahagia melakukan transaksi politik dengan Bandar buat membiayainya.

Kecenderungan semacam ini pada sosialisasi politik bukan saja dilakukan oleh calon kepala daerah, tetapi juga dilakukan oleh calon legislatif dan calon presiden. Mereka berbagi resiko dan kemenangan pada suatu demokrasi liberal nan diagungkan itu.