Periode Kerajaan Bima
Bima ialah sebuah kota nan berada di pantai timur pulau Sumbawa di pusat Provinsi Nusa Tenggara Barat dan merupakan kota terbesar di provinsi tersebut. Kota Bima terletak di pantai timur Teluk Bima.
Bima ialah sebuah kota pelabuhan nan menghubungkan kota pelabuhan lain di Indonesia Timur seperti Makassar dan Ternate, serta pelabuhan di Lombok, Bali, dan Jawa Timur. Masyakarat Bima dan seluruh penduduk sisi timur Sumbawa berbicara bahasa Bima atau Nggahi Mbojo dalam bahasa asli.
Bima nan modern merupakan wilayah terbesar dan penghubung perekonomian Sumbawa Timur dengan transmigran dari daerah lain Indonesia terutama Jawa, Bali, dan Lombok. Bima memiliki zona pusat kota komersial. Bima juga merupakan loka berdirinya Mesjid Sultan Salahuddin dan museum Sultan Salahudin (bekas istana Kesultanan Bima). Bima dihubungkan oleh jalan provinsi ke Dompu dan Sape.
Kesultanan Bima
Kesultanan Bima mencakup daerah pesisir timur Pulau Sumbawa. Diperkirakan bahwa Kerajaan Bima telah ada pada era Hindu. Akan tetapi data sejarah nan menghubungkan pada estimasi tersebut sayangnya tak cukup buat membuktikannya.
Catatan tertulis dan tanggal hanya tersedia setelah kesultanan masuk ke Islam setelah 1620 masehi. Sumber-sumber sejarah Kerajaan Bima ialah artefak, prasasti dan manuskrip. Sumber-sumber ini menandai fase sejarah Bima, di awali dari pra sejarah sampai penetrasi Islam.
Dua prasasti ditemukan di teluk barat Bima, salah satunya ditulis dalam bahasa Sansekerta dan nan lainnya dalam bahasa Jawa kuno. Prasasti ini ialah bahwa kedua bahasa tersebut, pada masa itu dipergunakan di Bima.
Tulisan-tulisan tua di samping prasasti, ditulis pada masa Islam juga tersedia dan dapat dimanfaatkan buat menelusuri sejarah pada saat itu. Tulisan tua nan ditulis dalam bahasa Melayu berbicara mengenai kehidupan masyarakat dari abad 16 hingga 20 Masehi.
Bahasa Bima, di samping bahasa Melayu juga dikembangkan di pulau tersebut tetapi tak ditampilkan dalam tradisi menulis. Teks tua nan dimiliki oleh Kerajaan Bima dan ditulis dalam bahasa Arab-Melayu, Bo Sangaji Kai, menandai bahwa sejarah Bima diawali pada abad ke 14 masehi.
Sementara itu, Kepulauan Sumabawa diperintah oleh kepada suku nan bernama Ncuhi. Ncuhi mengontrol dan membagi Pulau Sumbawa ke dalam lima wilayah: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. Nnhuis terkuat ialah Ncuhi Dara dan daerah kekuasaannya disebut dengan Kampung Dara. Akan tetapi, kekuatan struktur Ncuhi mulai berkurang ketika Indra Zamrud (putra Bima) dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Bima.
Indra Zamrud kemudian menggunakan nama ayahnya, Bima, buat mengenali semua wilayah di Kepulauan Sumbawa. Ketika Indra Zamrud berusia muda, ayahnya mengirimnya ke Pulau Sumbawa dengan membawa keranjang nan terbuat dari bambu. Ia kemudian tiba dan menginjakkan kaki di Danau Satonda, dekat Tambora.
Ncuhi Dara mendengar kedatangannya, dia menyambut dan mengadopsi Indra Zamrud menjadi anaknya. Ketika ia tumbuh dewasa, lima Ncuhis sepakat buat mengangkat Indra Zamrud menjadi raja, sementara lima Ncuhis sebagai menteri-menterinya. Kerajaan Bima, di bawah kepemimpinannya berkembang pesar dan menjadi pelabuhan perdagangan penting.
Fakta ini sinkron dengan hasil penulisan di dalam buku Negarakertagama nan menandai bahwa Kerajaan Bima memiliki pelabuhan besar pada 1365 masehi. Sejarah nan disebutkan dalam Bo Sangaji Kai memiliki kemiripan dengan tulisan dalam Negarakertagama.
Bima dan Islam
Kerajaan Gowa-Tallo memainkan peranan krusial dalam proses peralihan Bima ke Islam. Pada abad ke 17, kolonialisme Belanda menduduki sebagian besar jalur perdagangan di bagian barat Nusantara. Untuk menghindari penguasaan kolonial di Nusantara timur, Gowa mengirimkan tentaranya buat menaklukkan kerajaan di pesisir timur termasuk Lombok dan Bima.
Kerajaan-kerajaan nan menyerah pun kemudian diislamkan pada 1609 masehi. Sejalan dengan masuknya islam, tradisi menulis mulai berkembang. Oleh sebab itu, data sejarah dari Kerajaan Bima nan tersedia sekarang sebagian besar berhubungan dengan termin setelah pengalihan Bima ke Islam. Meskipun Bima sudah diislamkan oleh Gowa, Raja Ruma-ta Mantau Bata Wadu La Ka’l gagal dialihkan oleh keluarga dan warga negaranya ke Islam.
Pada 1632 masehi, gejolak politik pecah di mana-mana menuntut raja turun tahta. Pergolakan politik ini merupakan hasil dari penarikan tentara Gowa dari pulau. Menghadapi gangguan tersebut, Kerajaan Gowa memutuskan buat menempatkan kembali tentaranya ke pulau buat membangun kembali stabilitas politik. Perang berdarah antara tentara Gowa dan Bima tak dapat dihindari dan berlangsunglah perang nan sangt menakutkan.
Gowa akhirnya sukses mengalahkan musuhnya dan mengembalikan kejayaan kerajaan Islam. Raja-raja Muslim, di era kekuasaan mereka menggunakan nama Arab buat menunjukkan bukti diri mereka. Interaksi timbal balik antara Bima dan Gowa berlangsung sangat baik sekitar satu setengah abad. Tetapi ketika Gowa dikalahkan oleh kolonial Belanda, Bima otomatis menyerang dan diduduki oleh kolonial Belanda.
Episode sejarah terjadi pada akhir abad delapan belas (1792 M) pada masa pemerintahan Sultan Hamid Muhammad Shah di Bima. Sementara itu, Sultan Abdul Hamid ditekan oleh kolonial buat memasukkan Bima menjadi salah satu daerah protektorat Belanda.
Untuk menjaga interaksi antara kedua belah pihak, Belanda cenderung tak memperkuat pengaruhnya di Bima, sebab interaksi tersebut berjalan dalam keseimbangan. Belanda tak melakukan hegemoni pada pergantian raja-raja di Bima dan tak ada seorang pun dari raja-raja tersebut nan dikirim ke loka pengasingan. Hal nan sama juga terjadi ketika Jepang menyusup ke Bima.
Hubungan baik di antara kedua sisi tercipta dengan baik. Tidak ada perang berdarah pada waktu itu. Orang-orang mungkin menganggap bahwa keharmonisan warga Bima merupakan hasil dari pengalamannya selama penguasaan Gowa di Bima.
Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia meraih kemerdekaannya pada 1945. Sementara itu, Sultan Bima terakhir, Muhammah Salahuddin, lebih menyukai buat menyatukan Bima ke dalam kedaulatan Republik Indonesia. Siti Maryam, salah seorang putrid raja, menyerahkan bangunan istana kepada pemerintah Indoneisa, dan sekarang istana tersebut digunakan sebagai museum. Banyak warisan keluarga Kerajaan Bima sekarang dapat dilihat sampai hari ini dari mahkota, pedang dan perabotan rumah tangga.
Periode Kerajaan Bima
Selama berdirinya, Kerajaan Bima diperintah oleh 60 raja atau sultan. Pada masa islam terdapat 14 sultan. Ketika Jepang menyusup ke Indonesia, penguasa saat itu ialah Sultan Muhammad Sahuddin. Dia meninggal global pada 1951 dan kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Khair II nan lebih suka aktif di departemen dalam negeri dan parlemen dibandingkan dengan memerintah kerajaan.
Setelah kematiannya, Raja Kerajaan Bima ini kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Putra Feri Andi Zulkanain. Wilayah kekuasaan kerajaan termasuk Kepulauan Sumbawa dan daratan timur seperti Solo, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai dan Komodo.
Kehidupan Sosial dan Budaya di Bima
Masyarakat Bima ialah masyarakat multietnis. Etnis pribumi ialah Donggo dan sebagain besar anggotanya berdiam diri di dataran tinggi. Sebelum kehadiran orang luar ke pulau itu, mereka menempati dataran rendah, akan tetapi besarnya desakan dari piah luar, mereka memutuskan buat menetap di dataran tinggi dengan membawa agama dan budaya baru.
Pemindahan dari dataran rendah ke dataran tinggi harus dilakukan buat menegakkan tradisi dan agama nan diwariskan oleh nenek moyang mereka. Anggota suku Donggo (salah satu suku Bimia) hayati dengan mengolah tanah dengan sistem primitif, sistem berpindah. Jadi, rumah mereka juga selalu berpindah dari satu loka ke loka lain.
Dou Mbojo merupakan suku lain nan menetap di Bima. Mereka berasal dari Makasar nan bermigrasi ke Bima pada abad ke empat belas. Mereka berasimiliasi dan menikah dengan masyarakat penduduk orisinil dan bertempat tinggal di wilayah pantai. Mereka hayati denga mengolah lahan, berdagang dan nelayan.
Kepercayaan dari komunitas suku di Bima ini ialah Makakamba-Makakimbi nan percaya animisme. Mereka memilih satu pemimpin nan disebut dengan Ncuhi Ro Naka sebagai perantara antara manusia dengan global suci. Inti dari kepercayaan ini mirip dengan Marafu nan dianut oleh komunitas Donggo.
Pada saat-saat eksklusif mereka melakukan ritual buat melambangkan kekaguman mereka pada jiwa nenek moyang. Mereka menyajikan sesajen dan ternak sebagai penghargaan. Beberapa ritual selalu dipimpin oleh Ncuhi di sebuah loka nan disebut dengan Parafu Ra Pamboro. Di samping suku-suku nan disebutkan diatas, diawali dari susupan Islam, perkampungan Melayu juga tumbuh di Bima.