Makna Filosofis Ketupat Lebaran

Makna Filosofis Ketupat Lebaran

Ketupat selalu identik dengan Idul Fitri atau lebih akrab disebut dengan lebaran. Ketupat lebaran menjadi karakteristik khas nan selalu ada dalam tiap Idul Fitri. Bahkan tidak sporadis pada Idul Adha pun ketupat selalu menjadi santapan utama.

Kehadiran ketupat memang tidak bisa dipisahkan dari Idul Fitri. Itu sebabnya dinamakan ketupat lebaran. Hampir tiap rumah nan merayakan Idul Fitri menyajikan ketupat lebaran sebagai hidangan. Budaya menyajikan ketupat pada hari Idul Fitri tidak hanya dikenal di Indonesia saja, tapi juga di Malaysia dan beberapa negara seperti Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina. Ini sebab ketupat memang dikenal di wilayah Asia Tenggara.

Ketupat dibuat sebab masyarakat merasa tak afdhol jika lebaran tak menyajikan ketupat. Sebagaimana layaknya hari-hari besar keagamaan lainnya, selalu ada karakteristik khas nan biasanya identik dengan suatu hidangan. Begitupun dengan Idul Fitri nan sangat lekat dengan ketupat lebaran. Itu sebabnya ketupat menjadi makanan “wajib” pada saat lebaran.

Jika Idul Fitri identik dengan ketupat, maka Idul Adha identik dengan sate dan gulai. Selain ketupat, Idul Fitri pun identik dengan opor ayam sebagai lauk santapannya. Meskipun di beberapa daerah terdapat kekhasan hidangan lain saat Idul Fitri, namun kehadiran ketupat lebaran dan opor ayam seolah-olah menjadi trademark Idul Fitri. Tak heran jika menjelang Idul Fitri banyak ditemui penjual bungkus ketupat nan terbuat dari daun kelapa muda.

Daun kelapa muda dipilih sebab masih baik digunakan buat dipilin dan dibentuk. Untuk membuat bungkus ketupat, daun kelapa muda dianyam sedemikian rupa. Bentuk nan paling banyak dijumpai dalam ketupat lebaran adalah bentuk jajaran genjang, juga bentuk kepal (bersudut tujuh).

Meskipun ketupat tidak hanya dikonsumsi spesifik hanya pada saat lebaran saja, tapi saat lebaran ialah saat nan dianggap tepat buat membuat ketupat. Selain buat hidangan lebaran, ketupat juga banyak digunakan sebagai bahan pokok akanan Indonesia, misalnya saja makanan khas Jawa Barat yakni kupat tahu nan berarti ketupat dan tahu. Kupat tahu ini diberi bumbu kacang dan diberikan sayuran tauge nan direbus atau disiram air panas.

Gado-gado dari Betawi pun menggunakan ketupat dalam penyajiannya. Begitupun dengan coto Makasar nan menggunakan ketupat sebagai sajian utamanya. Dalam perkembangannya ketupat bisa digantikan dengan lontong. Sesungguhnya ada disparitas antara ketupat dan lontong. Lontong umumnya lebih bertekstur lembut sementara ketupat masih terlihat bentukan berasnya namun sangat padat.

Ketupat lebaran sangat mudah dibuat. Pertama, cuci beras dengan higienis lalu tiriskan. Kemudian, ambil bungkus ketupat nan telah jadi. Masukkan beras ke dalam pembungkus, isi pembungkus dengan beras. Cukup seperempatnya saja karena beras akan mekar dan memenuhi seluruh ruang pembungkus. Lalu, kukus selama lebih kurang satu jam. Jika sudah matang, rona daun pembungkus akan berubah kecoklatan. Ketupat pun sudah siap buat dihidangkan.



Awal Mula Ketupat Lebaran

Dijadikannya ketupat lebaran sebagai hidangan khas Idul Fitri ada hubungannya dengan penyebaran agama Islam ketika masa para wali. Saat itu, para wali menyebarkan agama Islam dengan cara mendekatkan pedagogi pada budaya nan telah dianut masyarakat. Hal tersebut membuat penyebaran agama Islam menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat. Sunan Kalijaga adalah sunan nan mengenalkan budaya ketupat kepada masyarakat Jawa ketika itu.

Dalam seremoni Idul Fitri, Sunan Kalijaga membiasakan dua Bakda, yakni Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat ialah bakda nan dilakukan dalam rentang waktu seminggu setelah Idul Fitri. Pada Bakda Kupat inilah hampir tiap-tiap rumah di masyarakat Jawa ketika itu tersedia ketupat. Ketupat tersebut dihantarkan kepada kerabat nan lebih tua sebagai lambang kebersamaan. Melalui lambang kebersamaan tersebut, tidak hanya tali silaturahmi saja tetapi juga terjalin tali silaturahim nan lebih erat.

Ketika proses silaturahim terjalin, terjadi juga hal-hal lain nan berkaitandengan silaturahim tadi. Silaturahim bisa terjalin jika terjadi interaksi dan hubungan nan baik pula. Interaksi nan baik bisa terjalin jika tidak ada perselisihan, persengketaan, dan permusuhan. Selaras dengan Idul Fitri nan bersilaturahim dengan sesama muslim, budaya pemberian ketupat memungkinkan terjalin komunikasi nan baik antara pengantar atau pemberi dan penerima ketupat.

Dalam sebuah proses komunikasi, seseorang harus memiliki motif buat bisa menjalin komunikasi dengan orang lain. Sunan Kalijaga telah menerapkan proses komunkasi itu dengan baik. Jika kita berkunjung ke rumah seseorang dan mengantarkan makanan, maka penerima makanan tersebut akan bahagia dan terjalinlah komunikasi antara dua orang tersebut.

Ketupat merupakan lambang kebersamaan karena pemberian ketupat niscaya dalam jumlah lebih dari satu. Selain itu, ketupat tersebut diikatkan agar terlihat indah. Pengikatan satu ketupat dengan ketupat nan lainnya selaras dengan maksud kebersamaan. Terlebih sesama muslim ialah saudara. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa antara satu muslim dengan muslim lainnya diibaratkan dengan satu tubuh. Jika satu anggota tubuh rusak, maka rusak pulalah anggota tubuh nan lainnya.

Sunan Kalijaga menggunakan sistem perlambangan ketupat buat memupuk kebersamaan, perasaan nan sama di antara sesama muslim. Jika telah terjalin rasa nan sama, artinya perasaan senasib sepenanggungan, maka kebersamaan akan terjalin secara alami.

Jika dikaitkan dengan ilmu sosial, tiap-tiap nan merasa memiliki kecenderungan dalam hal eksklusif tentu akan dipersatukan dalam satu kelompok. Melalui perumpamaan nan muncul dari ketupat, secara tak langsung, Sunan Kalijaga mengajarkan arti kebersamaan, mengajarkan makna-makna simbolik, sekaligus ilmu sosial.



Makna Filosofis Ketupat Lebaran

Ketupat lebaran memiliki makna filosofis. Dilihat dari segi anyaman, ketupat merupakan sebuah jalan hayati manusia nan penuh dengan permasalahan, penuh dengan liku-liku. Teksturnya bergelombang. Seperti halnya pola anyaman ketupat nan berseliweran satu sama lain, lapisan daun berselang-seling, terkadang lapisan daun berada di atas terkadang di bawah.

Begitupun dengan hayati manusia nan kadang berada dalam keadaan serba berkecukupan (di atas) terkadang kekurangan (di bawah). Juga bentuknya bergelombang pun memiliki makna bahwa kehidupan manusia selalu tak berjalan mulus, nan artinya bisa pula terjerembab ke dalam sebuah kesalahan, dosa.

Manusia sebagai makhluk nan senantiasa berada dalam kondisi lupa, bisa pula terjerat hal-hal nan mebgakibatkan penderitaan bagi dirinya. Namun, jika manusia bisa melaluinya dengan tekun, sabar, dan selalu mengingat Tuhan, maka akan memperoleh hasil nan baik dan latif sebagaimana bentuk ketupat ketika telah selesai dianyam.

Dari segi pilihan daun, yakni daun kelapa muda terdapat filosofis nan mendalam. Daun kelapa muda dipilih sebab mudah dibentuk, masih lentur, dan memiliki kondisi nan masih baik buat dijadikan pembungkus. Begitupun dengan manusia nan bisa dibentuk, diarahkan, dididik agar hidupnya selalu indah.

Selain itu, kekuatan manusia sebagai makhluk nan berakal memungkinkannya bisa memilah dan menentukan jalan nan baik bagi hidupnya, jalan nan lurus, nan sinkron dengan ajaran agama, nan diridoi Tuhan.

Pohon kelapa dipilih sebab pohon kelapa merupakan pohon nan kudus dan penuh daya guna. Dikatakan kudus sebab pohonnya begitu tinggi, berbatang lurus, dan memiliki buah nan airnya murni. Air buah kelapa terasa manis, namun bukan manis sebab buatan. Manis pada air nan terkandung dalam buah kelapa ialah manis alami.

Itulah sebabnya daun pohon kelapa dijadikan sebagai bahan primer dalam pembuatan ketupat lebaran. Hal tersebut merupakan lambang atas kesucian hati manusia ketika Idul Fitri.

Jika ketupat dibelah, terlihat warnanya nan putih nan melambangkan kembalinya manusia menjadi fitri, suci. Putih memang identik dengan suci, itulah sebabnya ketupat lebaran menjadi semacam “keharusan” selalu ada dalam hidangan Idul Fitri.

Bentuknya nan penuh, berisi, padat, dan latif melambangkan bahwa seorang muslim nan telah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa disertai berbagai ibadah lainnya akan memperoleh keindahan. Estetika tersebut berupa keikhlasan hati dan keimanan nan terpelihara.

Dalam menjalan ibadah puasa, seorang muslim pun melakukan ibadah lainnya seperti zakat, sedekah, tadarus Al-Quran, tarawih, dan menjaga diri dari hal-hal nan membatalkan puasa. Hal tersebut merupakan lambang dari bentuk ketupat nan padat dan berisi. Sementara estetika terproyeksikan dari sikap dan tutur kata seorang muslim.

Ketupat lebaran tidak hanya sebagai makanan khas Idul Fitri semata. Lebih dari sekadar makanan khas, ketupat ini bisa menjadi lambang dari ketakwaan dan keimanan seorang muslim terhadap Tuhannya, Allah SWT. Ketupat lebaran merupakan sebuah tradisi budaya leluhur nan harus dimaknai dari segi filosofis, bukan sekadar diwariskan secara turun temurun sebagai sebuah kekayaan masakan semata.