Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani merupakan indikator pencapaian atau kesuksesan di sektor pertanian, secara holistik merupakan tujuan nan ingin dicapai dari pembangunan nasional.

Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan pengembangan pertanian serta kemajuan penerapan teknologi nan tentu saja di bidang pertanian dan tentu saja tugas penyuluh pertanian sebagai pendamping petani berupaya mencapai tujuan itu

Secara generik memberikan penyuluhan kepada petani tentang penerapan teknologi nan baik dan tepat, bersama petani meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap nan biasa disingkat dengan PKS merupakan tugas penyuluh pertanian. Namun demikian lebih dari itu, sesungguhnya tugas penyuluh pertanian demikian komplit nan menuntut tanggung jawab sepenuhnya.



Penyuluh Pertanian

Keberhasilan suatu tujuan memang tak terlepas dari peran banyak pihak, begitu juga dengan seorang penyuluh pertanian. Ditengah makin ketatnya akselerasi pengamanan ketahanan pangan nan menurut para pakar setiap tahun selalu kurang memenuhi sasaran tak ada nan menyangka bahwa ada sosok nan berperan krusial di tengah lingkungan petani, nan sehari-hari berteman dengan petani. Ya, siapa lagi kalau bukan penyuluh pertanian.

Bertugas sebagai seorang penyuluh pertanian tidaklah mudah. Berteman dan bersosialisai dengan khalayak generik menuntut kesabaran nan tinggi. Masing-masing petani punya ciri nan berbeda, baik itu dari segi sosial budaya, taraf pendidikan, keterampilan, hingga kemampuan daya adopsi teknologi.

Pendidikan dan kemampuan pengenalan seorang penyuluh menjadi teruji manakala harus berhadapan dengan semua itu. Kehandalan dan ketangguhan di lapangan menjadikan seorang penyuluh benar-benar di butuhkan sebagai pemandu di lapangan, sungguh suatu tugas penyuluhan pertanian nan tak mudah.

Peningkatan kemampuan seorang penyuluh idealnya harus selalu dipacu. Hal ini sangat di tuntut dikarenakan laju informasi nan sedemikian cepat saat ini, sementara kemampuan daya adaptasi petani dengan teknologi nan terus berkembang saat ini sangat signifikan perbedaan.

Dituntut peran dan tugas penyuluh pertanian nan mampu menjembatani hal ini. Oleh sebab itu meningkatkan kemampuan penyuluh baiknya di lakukan secara berkala dan menyeluruh sehingga seorang penyuluh selalu siap tempur dilapangan.

Penyuluhan pertanian di Indonesia berkembang melalui beberapa tahap. Dalam periode sebelum tahun 1960, penyuluhan pertanian dilaksanakan berdasarkan pendekatan “tetesan minyak” melalui petani-petani maju dan kontak tani.

Metode nan digunakan terutama melalui kursus tani mingguan bagi petani dewasa, wanita dan pemuda. Selain itu dilaksanakan juga kunjungan keluarga dan propaganda program peningkatan produksi.

Dalam periode 1975-1990, sistem latihan dan kunjungan (LAKU) mendominasi sistem kerja penyuluh pertanian di Indonesia terutama di daerah-daerah produksi padi.

Sistem ini diperkenalkan dan dilaksanakan dengan dukungan Bank Global melalui Proyek Penyuluhan Tanaman Pangan (NFCEP) tahun 1975 dan diikuti oleh Proyek Penyuluhan Pertanian Nasional (NAEP I dan NAEP II).

Tujuan kedua proyek tersebut pada intinya ialah buat meningkatkan produksi komoditi pertanian tertentu, dimulai dengan hasil pertanian primer yaitu padi nan masih menerapkan teknologi nan kurang produktivitasnya, dengan jalan mendiseminasikan teknologi usahatani, nan dikenal dengan Panca Usaha dan Bilangan Usaha.

Penyuluh pertanian, nan pada waktu itu dikenal dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), dilatih buat mengajar petani dan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi nan telah disusun dalam paket-paket teknologi.

Sistem ini merupakan sistem kerja nan berdasarkan manajemen waktu nan ketat dan mengalihkan teknologi dimana petani hanya dianggap sebagai pengguna teknologi nan dihasilkan lembaga-lembaga penelitian.

Khusus mengenai program BIMAS, keberhasilannya ditentukan oleh beberapa hal sebagai berikut:

  1. Didukung oleh political will yang kuat langsung dari Presiden nan diturunkan sampai ke Kepala Desa. Setiap minggu Provinsi lokasi Bimas Padi harus mengirimkan laporan mengenai perkembangan aplikasi Bimas Padi ke Departemen Pertanian dan ke Bina Graha.
  2. Sifatnya sentralistis, pelaksana dan petani peserta Bimas di daerah harus mengerjakan apa nan diinstruksikan oleh Pemerintah nan umumnya sudah dalam bentuk paket, termasuk paket teknologi usahatani (Panca Usaha dan Bilangan Usaha).
  3. Petani mendapatkan subsidi.
  4. Delivery system diorganisasikan dalam bentuk Catur Wahana dan receiving mechanism -nya ialah kelompok tani.
  5. Kelembagaan nan mengelola program Bimas seragam.
  6. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) berfungsi optimal sebagai basis (homebase) penyuluhan pertanian nan dibagi dalam Wilayah Kerja BPP (WKBPP), Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (WKPP) dan Wilayah Kelompok (Wilkel).
  7. Anggaran besar, tersedia sinkron dengan kebutuhan di lapangan.
  8. Didukung oleh prasarana dan wahana nan memadai.
  9. Didukung oleh penyuluh pertanian nan nisbi masih muda sehingga mobilitasnya tinggi dan mempunyai otoritas nan tinggi.
  10. Menggunakan sistem kerja LAKU sebagai sistem kerja para penyuluh pertanian.

Sistem Bimas dilaksanakan hanya pada beberapa komoditi eksklusif nan dikoordinasikan oleh Sekretariat Badan Pengendali Bimas di pusat dan di daerah oleh Satuan Pembina Bimas Provinsi dan Satuan Pelaksana Bimas Kabupaten. Sekretariat Badan Pengendali Bimas di Pusat juga berfungsi sebagai satuan administrasi pangkal para penyuluh pertanian.

Pada kondisi di atas, para penyuluh pertanian semuanya dikerahkan buat mensukseskan Program Bimas dalam rangka swasembada beras, sehingga program peningkatan produksi komoditas di luar beras tak berkembang sebagaimana nan diharapkan.

Walaupun Departemen Pertanian merekrut tenaga penyuluh pertanian spesifik buat menangani komoditas non beras, nan berstatus dipekerjakan di daerah, ternyata juga tak memberikan hasil nan optimal sebab tak didukung oleh perangkat-perangkat seperti pada Program Bimas, termasuk penyediaan dananya.

Dalam perkembangan selanjutnya, Sistem Kerja LAKU pun mengalami kemunduran, petani nan hadir dalam rendezvous dua mingguan di hamparan makin berkurang. Laporan studi Bank Global tahun 1995 menggambarkan makin banyak petani nan kurang puas dengan sistem ini. Penyuluh pertanian tak lagi dianggap sebagai sumber informasi buat membantu memecahkan masalah nan dihadapi petani dalam usaha taninya.

Pada tahun-tahun berikutnya Pemerintah mengembangkan pendekatan penyuluhan pertanian partisipatif diantaranya model Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu, model nan dikembangkan oleh KUF, Delivery, P4K dan DAFEP.

Dalam pelaksanaannya, ternyata dari masa ke masa penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan tak berdasarkan sistem dan prosedur nan standar nan diatur dalam peraturan perundang-undangan nan kuat.



Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

Kegiatan penyuluhan pertanian ialah kegiatan terencana dan berkelanjutan nan harus diorganisasikan dengan baik. Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan mengefisienkan aplikasi kewenangan, tugas dan fungsi, manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari kelembagaan penyuluhan pertanian Pemerintah, petani dan swasta.

Secara generik masalah nan dihadapi kelembagaan penyuluhan pertanian ialah sebagai berikut:

  1. Fungsi penyuluhan pertanian di provinsi belum berjalan optimal sebab mandat buat melaksanakan penyuluhan pertanian tak tegas.
  2. Beragamnya bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota menggambarkan beragamnya persepsi Kabupaten/Kota tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota.
  3. Belum semua Kecamatan memiliki BPP. Adapun BPP nan ada sekarang ini kurang difungsikan dengan baik oleh Kabupaten/Kota, bahkan di beberapa Kabupaten/Kota dialihfungsikan buat kegiatan lain.
  4. Kurang difungsikannya BPP mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian kurang terencana dan tak diprogramkan sinkron dengan kebutuhan di lapangan. Kondisi ini juga menyebabkan kurang atau tak tersedianya biaya operasional penyuluhan pertanian di Kecamatan/Desa.
  5. Dengan diserahkannya personil, perlengkapan, pembiayaan dan dokumen (P3D) dari Pemerintah ke Provinsi/Kabupaten/Kota, maka kepemilikan aset kelembagaan penyuluhan pertanian beralih ke Provinsi/Kabupaten/Kota. Dalam kenyataannya penggunaan aset ini tak sinkron dengan keperluan buat menyelenggarakan penyuluhan pertanian. Akibatnya penyuluh pertanian tak mendapatkan dukungan wahana penyuluhan pertanian nan memadai sehingga kinerjanya menurun.
  6. Pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota banyak nan tak mempunyai latar belakang penyuluhan pertanian. Hal ini menyebabkan pengelolaan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian sering tak sinkron dengan prinsip-prinsip penyuluhan pertanian, sebab pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan pertanian kurang memahami arti dan peran strategis penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian di wilayah kerjanya.
  7. Sistem penyuluhan pertanian nan disepakati bersama belum ada. Hal ini menyebabkan tak jelasnya interaksi antara kelembagaan penyuluhan pertanian di taraf Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, sehingga struktur dan prosedur pembinaan dan tata interaksi kerja juga menjadi tak jelas.
  8. Kabupaten/Kota belum sepenuhnya menjalankan kewenangan wajib dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian sinkron peraturan perundang-undangan nan berlaku. Hal ini menyebabkan masih banyaknya Kabupaten/Kota nan belum menyusun program penyuluhan pertanian, belum melakukan pembinaan terhadap penyuluh pertanian dan minimnya biaya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota.
  9. Kelembagaan penyuluhan pertanian nan dimiliki dan dioperasionalkan baik oleh petani maupun oleh swasta, belum dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah sebagai kawan kerja sejajar buat melayani petani.