Hidup Kahlil Gibran
Sejarah Kahlil Gibran banyak salah dipahami oleh mereka nan baru pertama kali membaca buku novel karya Kahlil Gibran. Banyak nan menyangka bahwa Kahlil Gibran ialah warga kawasan Timur Tengah dan majemuk Islam. Padahal, pujangga nan popularitas dan kepujanggaannya disetarakan dengan William Shakespeare, ialah warga Amerika Serikat.
Kemajemukan
Khalil Gibran itu berasal dari Libanon. Ia lalu dibawa oleh keluarga merantau hingga ke Amerika Serikat. Sejarah Khalil Gibran dengan kehidupannya nan begitu berwarna ini membuat karya-karyanya menjadi sangat berwarna juga. Ia memahami kehidupan ini dengan caranya. Ia tahu bahwa ia terlahir dari keluarga miskin dan dalam perjalanan hidupnya ia harus berusaha dan berjuang terus agar mampu bernapas dengan lega dan berjalan dengan santai. Puisi-puisinya ialah citra dari perasaannya nan terdalam.
Bagi seorang artis seperti Khalil Gibran, tidak ada sisi nan paling menarik selain menggambarkan apa nan dipikirkannya lewat karyanya. Ketika ia ditinggal oleh kekasih hatinya menikah sebab ia sendiri merasa tak sanggup bersama dengan sang pujaan hati, ia membuat sebuah puisi dengan kata-kata nan menyiratkan keagungan cinta. Ia mengatakan bahwa cinta nan agung
ialah ketika kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya. Kepedulian seseorang nan begitu mencintai seseorang nan tidak mungkin diraihnya.
Khalil Gibran melanjutkan kisah tentang keagungan cinta ini dengan mengatakan bahwa ketika seseorang nan dicinta tak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia, itulah kesetiaan cinta. Walaupun pedih, tetap mengakui kalau cinta itu masih ada. Walaupun tidak sanggup berjalan dengan nan lain sebab tidak dapat mengkhianati cinta, hayati tetap dijalani walau tanpa cinta. Ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih dapat tersenyum sembari berkata 'Aku turut berbahagia untukmu ...', itulah keagungan cinta.
Tidak banyak orang nan dapat melupakan cinta begitu saja. Ada orang nan patah hati, lalu setelah mengetahui bahwa cintanya tidak mungkin lagi dapat berlabuh, ia mencari cinta nan lain. Ia tahu bahwa cinta nan lain ini tidak akan dapat menggantikan cintanya nan tulus. Namun, hayati harus terus berjalan dan ia tidak mau sendirian. Akhirnya, ia membaut satu keputusan, ‘Lebih baik dicintai dan berusaha membalas cinta nan mencintai daripada tak merasakan cinta sama sekali.’
Ada juga nan menjaga cinta itu hingga ia benar-benar berjumpa lagi dengan cintanya. Ia tidak ingin orang nan mencintainya tetapi tak dicintainya merana sebab tidak merasakan cinta nan sesugguhnya. Penantian itu kadang terbayarkan dengan kehadiran cinta sejati itu lagi walaupun telah sempat hilang. Cinta itu bagaikan mutiara nan hilang nan telah kembali. Namun, ada juga nan akhirnya tak menemukan cinta sejatinya dan tetap hayati dalam balutan cinta tanpa melabuhkan cinta itu kepada siapapun. Inilah nasib nan diambil oleh Khalil Gibran.
Kisah cintanya membuatnya berbesar hati dan menuangkan semua perasaan itu ke dalam puisi tentang cinta. Ia belajar tentang cinta, mendalami cinta, dan hayati dengan cinta dengan caranya. Ia tidak mau bermain dengan cinta sebab ia tahu bahwa cinta itu butuh pengorbanan. Ia akhirnya tak hanya menulis tentang cinta dua insan, laki-laki dan wanita, ia juga menulis tentang cinta dalam kemajemukan dunia.
Pengaruh lingkungannya nan kebanyakan orang Islam dan budaya Timur Tengah, membuatnya berpikir seperti orang Islam. Tidak heran banyak nan menyangkanya seorang muslim. Ia begitu arif dan begitu latif menggambarkan tentang kehidupan ini. Banyaknya jenis manusia nan telah ditemuinya dan banyaknya negeri nan telah didatanginya, membuatnya mengerti bahwa kehidupan ini memang berwarna dan majemuk.
Tanpa kelapangan hati, tidak akan mungkin dapat merasakan estetika cinta Tuhan kepada umatNya. Ia nan mengatakan bahwa seharusnya doa itu tak dipanjatkan ketika sedang bersedih saja. Namun, doa itu terlantukan ketika sedang merasa bahagia dan bahagia, tentu sangat paham dengan apa nan ia ucapkan itu. Sikap bersyukur nan ia coba ajarkan kepada dirinya sendiri dan orang-orang nan mencintai karyanya, membuatnya tak menjadi pecundang dalam kehidupan. Ia menjadi tegar dan tak cengeng dengan apapun nan dialaminya.
Pecinta Cinta
Bisa dikatakan bahwa Khalil Gibran ialah pencinta cinta. Cinta nan diungkapkannya dalam semua karyanya ialah cinta nan begitu bervariasi. Cinta pada pekerjaan, cinta pada ayah dan ibu, cinta pada anak, cinta pada diri sendiri, cinta pada Tuhan, dan cinta pada kehidupan. Tidak heran kalau begitu banyak orang nan mencintai Khalil Gibran. Ia memang patut dicinta sebab ia telah menyebarkan cinta.
Siapa nan menaburkan cinta, ia akan menuai cinta. Itulah hukum alam pada kekekalan masa. Semua perbuatan baik itu akan kembali dengan kebaikan nan berlimpah dan berganda. Sebaliknya, perbuatan buruk itu akan menimbulkan kejelekan pada nan melakukannya. Mungkin saja bahwa kejelekan itu akan datang setelah beberapa lama sebab Tuhan berharap bahwa umatNya nan melakukan kejelekan itu akan bertaubat dan Dia akan mengampuni sehingga azabNya tak diturunkan.
Namun, bila sang umat tetap pada jalan nan jelek, maka tunggulah bahwa azab Tuhan itu sangat pedih. Hati nan telah dututup. Afeksi nan tidak tercurahkan lagi. Tuhan telah membiarkan apapun nan ingin ia lakukan. Semua kerusakan, semua kemungkaran. Hingga pada saatnya, semua kekejaman hati dan jiwa itu terbayarkan dengan cara nan sangat mengenaskan. Alangkah tak baiknya ketika wafat dalam keadaan baru berhubungan badan dengan seorang pelacur atau wafat setelah menegak minuman keras lima botol atau wafat setelah membunuh dan memperkosa orang. Sungguh bukan kematian nan indah.
Orang biasanya membaca sejarah Kahlil Gibran melalui bagian belakang buku karyanya. Namun tentu pemaparan itu teramat sedikit buat mengetahui sejarah pujangga nan memiliki nama orisinil Gibran Kahlil Gibran bin Mikhael bin Saâd tersebut. Kisah hidupnya jauh lebih menarik dari hanya melihat sekilas siapa dirinya denga fakta nan sangat sedikit itu.
Walau karya Kahlil Gibran ini sudah banyak mengisi koleksi perpustakaan maupun koleksi pribadi para penggemar novel, namun ketika mereka ditanya tentang sejarah kehidupan Kahlil Gibran, tak semua orang mampu menjawabnya. Padahal, mengetahui sejarah seorang penulis termasuk salah satu cara buat mengetahui kualitas buku nan ditulisnya. Selain itu, dengan mengetahui latar belakang penulis, kita akan memiliki citra tentang bahasan dan gaya bahasa nan digunakan. Karena, latar belakang seorang penulis memiliki pengaruh dalam pemilihan. Dan Kahlil Gibran memiliki latar belakang sangat unik sebagai seorang penulis novel terkenal.
Hidup Kahlil Gibran
Dalam sejarah tentang Kahlil Gibran tercatat sebagai penulis nan tak pernah mengenyam pendidikan formal selama hidupnya. Pujangga nan lahir pada 6 Januari 1883 itu, sejak kecil sudah akrab dengan kesulitan ekonomi. Jangankan buat memikirkan sekolah bahkan buat biaya makan saja, Gibran kecil tak mampu mendapatkan asupan nan layak. Gibran lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di wilayah Bsharri, Libanon daerah utara. Latar belakang keluarga nan menganut Kristen Marnoit, menjadikan pola pemikiran Gibran banyak diwarnai oleh pendidikan para pendeta.
Sejak umur 12 tahun keluarga Gibran hijrah ke New York, Amerika Serikat. Kepindahan ini terjadi setelah harta keluarga Gibran dirampas negara setelah ayahnya nan bekerja sebagai pengumpul pajak, dituduh melakukan penggelapan pajak. Gibran berangkat ke Amerika bersama Ibu, Peter adik laki-lakinya, serta Mariana dan Sultana, keduanya ialah adik perempuan Gibran.
Di Amerika keluarga ini tinggal di kawasan spesifik orang Libanon di Amerika. Di sini, Gibran muda mendapatkan pendidikan formal di sekolah spesifik imigran. Dari sekolah inilah, insting seninya mulai tumbuh dengan mengikuti kegiatan kesenian. Pada usia 15 tahun, Kahlil Gibran akhirnya dapat kembali pulang ke Libanon. Saat itu, dia mendapat kesempatan buat melanjutkan pendidikannya pada sebuah sekolah nan dikelola yayasan agama. Dari sinilah, kemampuannya dalam menulis mulai terlihat dan berkembang sangat pesat. Akibatnya Kahlil Gibran dijuluki sebagai “syair kampus” oleh rekan-rekan dan para pengajarnya.
Pada usia 19 tahun, Gibran kembali lagi ke Boston dan bersekolah di sana pada tahun 1904. Di negeri Paman Sam itulah, pertama kalinya Gibran menggelar pameran lukisannya di Boston. Kahlil Gibran mati sebagai salah seorang pujangga besar pada 12 April 1931 di New York.