Rindu Sebagai Bentuk nan Agung
Dalam dua perihal mencintai orang, dalam bahasanya Ibn Qoyyim Al Jauziah, orang itu dapat majnun , dapat gila. Apalagi dalam perkara cinta nan sudah jatuh dalam kubangan rindu . Bagaikan syair nan dituliskan pada penjabaran tamana orang nan jatuh cinta dan mendendam rindu.
Diketuki semua pintus seluruh kota buat memanggil namanya. Alamaaak ... kenapa engga dihafal saja alamat orang nan dirindu itu? Daripada berabe terketuk rumah pemalak. Bukan rindu nan didapat, tapi dompet seisinya dapat lenyap. Tapi itulah hype -nya orang nan sedang wafat rindu. Hype- nya orang nan kadung wafat gaya sebab merasa tak punya arti apa-apa.
Rindu, Makan pun Tak Kenyang, Hayati Berasa Hampa, Tanpa Dirimu di Sisiku
Kalau makan enggak kenyang, makan saja lagi sampai kenyang. Namun, begitulah absurditas orang nan jatuh cinta dan mendendam rindu. Pada saat diserang rindu, sejatinya terdapat banyak sekali peristiwa nan berkaitan dengan peningkatan kadar emosi nan dinamakan desire dalam dirinya, dalam pelbagai sumber nan lain disebutkan pula kondisi semacam ini.
- Kerinduan - keinginan nan tak terpenuhi atau nan perpanjangan.
- Kebutuhan buat rindu - keinginan nan tak terpenuhi lama atau kebutuhan akan kerinduan, rasa lapar akan kehadiran nan dirindukan.
- Keinginan merindu - perasaan nan menyertai sebuah kondisi tak puas akan kondisi dirinya sendiri.
- Keinginan besar merindu, yen - kerinduan akan sesuatu atau melakukan sesuatu.
- Merana sebab rindu - rasa kerinduan nan mendalam.
- Mengangankan rindu - kerinduan nan tak realistis dan lebih kepada obyektifikasi angan-angan antara dirinya dengan sesuatu nan dia rindukan.
- Mengharapkan rindu - kerinduan nan membuat proyeksi sedih menjadikan pelakunya termenung, dan selalu berharap.
- Rindu bernostalgia - kerinduan akan masa lalu dari sesuatu nan pernah terjadi dalam hidupnya, dan asa apabila kejadian itu akan kembali lagi dia jelang selama hidupnya.
- Kerinduan penuh ketidakpuasan, discontent - sebuah kerinduan buat sesuatu nan lebih baik dari situasi nan dia hinggapi saat ini.
Rindu merupakan permasalahan humanisme nan selalu dibicarakan dan selalu diabaikan pada saat bersamaan. Membicarakan rindu pada masa modern ialah membicarakan ruang privat. Sebuah loka rendezvous nan diselubungi fantasi dibandingkan dengan muatan sosial nan krusial dari zaman ke zaman. Jika nan kita bicarakan ialah ketidakhadiran, keabsenan fisik dan dan virtuologis bahkan lebih dari itu, pengasingan dan pemenjaraan makna terhadap frasa ‘rindu’ dikarenakan ‘kurang penting’, ‘tidak serius’ dan terkesan ‘genit’ bagi perihidup manusia.
Rindu Sang Cinta
Pendapat nan jelas-jelas salah. Karena akar cinta dan rindu lebih tua dari setiap kehadiran eksponansi manusia dan permasalahan sosialnya. Sebagai contoh menilik kehadiran cinta secara spiritual, diwakilkan pada nama Tuhan sendiri. Misalkan dalam Islam. Kata Allah, berasal dari akar kata, Lahi , nan artinya Cinta. Dan mereka nan mencari Tuhan, sebenarnya orang-orang nan tengah mendendam rindu buat sekedar perjumpaan dengan Allah nan dia cintai. Belum lagi bila menilik pada aspek fisik.
Cinta telah bercecer secara artefak dalam bentuk seni budaya nan agung. Sebagai perwujudan manusia nan merindukan terjadinya perubahan dan pula dilambangkan dalam artefak itu. Sekadar menyebut beberapa diantaranya, bangunan Tajmahal di India nan merupakan persembahan cinta Absah Jeihan kepada istrinya Taj Mahal, patung Liberty nan merupakan persembahan cinta orang Lutetia pada orang Celtik di Newyork, taman tergantung di Babylonia nan merupakan persembahan Cinta raja Darius pada permaisurinya.
Tidak semua mengabaikan cinta dan rindu, setidaknya para neurolog telah meneliti kesamaan seseorang buat bersikap dan membentuk sebuah tindakan diatasnamakan pada cinta dan rindu. Seperti Hellen Fisher, nan telah membuat penelitian tentang cinta dari sistem diskriminasi tubuh manusia, nan berkaitan dengan fungsi otak, hormon, jaringan saraf, dan jantung.
Pun seorang peneliti bernama Enzo Emanuele melaporkan aktivitas molekul nan diberi nama nerve growth factor nan meningkat pada saat seseorang mendendam rindu lantas jatuh cinta, namun kembali normal setelah satu tahun menjelang. Lain padang lain belalang, cinta memiliki makna dan bahasa berbeda, namun memiliki kecenderungan dalam implementasinya.
Makna cinta dan rindu bisa merujuk pada aksi terbuka, subversif, tertutup, atau bahkan tertangguhkan sama sekali bergantung kepada situasi nan melatarinya. Karena bergantung kepada situasi, tak heran bila cinta, merupakan sebentuk konteks, daripada sebuah continum . cinta dan rindu tak pernah ditanyai darimana berasal, namun selalu disikapi bilamana telah datang. Cinta dan rindu sebagai konteks melulu dilewatkan dalam karya-karya sastra, sebuah situasi rindu, sebuah pelebaran terhadap kontur rindu, sebentuk dramatisasi mimetik nan dapat berakhir bahagia, tragis, komedis, antitesa, atau datar saja.
Ambil contoh, karya mas Shakespeare, sebelum si Romeo jatuh Cinta, bukankah dia sudah memendam rindu akan kehadiran sosok nan mengisi relung hatinya. Dan ketika si Juliet jatuh cinta, bukankah dia lantas membeberkan suatu kondisi rindu ultimat dengan merajuk pada siapa pun nan membeda-bedakan cinta hanya sebab masalah keluarga. “Montaque, Capulet, apalah arti sebuah nama,” ucap Juliet.
Rindu Sebagai Bentuk nan Agung
Adapun rindu nan bermakna agung dan tak sekedar lust atau gairah dari manusia kepada manusia lain, sebab pada mulanya rindu merupakan continum nan berawal dari pencarian heuristis para orang suci, para sufi, para pengembara, dilahirkan dalam karya-karya serius misalkan Matsnawi, buah karya Jalaluddin Rumi, nan membahas rindu ialah continum, sebuah bentuk eksplorasi tidak berjarak terhadap makna cinta kepada Yang maha Agung. Dia tak pernah melihat Tuhan, dia tidak pernah merasai Tuhan, dia tak pernah memastikan Tuhan, bahkan sekadar mencari bukti Tuhan.
Namun, seorang nan beriman, oleh karenanya melakuan negasi kehadiran dan penampakan, akan membuat dirinya seolah menjadikan Tuhan itu eksis dalam dirinya dan di luar sana. Pernah dalam suatu riwayat Tuhan pun bertanya pada malaikatnya, siapakah nan membuat langit bumi tergetar, ialah ketika seorang hamba merasa rindu pada Tuhannya, sementara dia sendiri tak pernah melihat-Nya dan merasakan-Nya dalam indera nan dia miliki.
Konsep manusia dengan Tuhan ialah konsep kerinduan puncak. Para pemikir keagamaan para resi dan para orang bijak telah mampu melakukan transfer energi kerinduan homogen itu pada ajaran-ajaran agung nan bermakna kontemplatif kemanusiaan. Lao Tse, Sakyawuni, Francis Asssisi, Catherine Sienna, Rumi, Gusdur, Emha Ainun Nadjib. Bahkan ada pula dalam rangka tokoh-tokoh wayang nan hendak diperankan, para dalang harus melakukan kontemplasi ultimat, membuka simpul rindunya kepada Tuhan, buat menyajikan lelakon nan dapat membuka pencerahan masyarakat akan kosmos dan kehadiran nan Maha Kuasa.
Pencari cinta Ilahi hanya mengetahui bahwa sejatina dia sedang menambahi sesuatu nan hebat dalam dirinya tanpa berkekurangan satu apapun. Dalam mencintai Tuhan tak akan di kenal kata akhir, dalam merindukan Tuhan selalu ada kemungkinan hebat padanya, tak pernah finish dan akan selalu mencari. Karena objektivikasi interaksi antara hamba dengan Tuhannya ialah pencarian terus menerus, seraya dalam pencarian itu pula di kenal istilah memahami hamba, maka memahami Tuhannya.
Oleh sebab itu, salah bila menguji orang beriman dengan permainan adakah alam lain setelah mati, sebab bila tak ada alam lain pun, jiwa orang nan beriman akan selalu mencari Tuhannya.