Serat Centhini Kental dengan Islam
Sastra merupakan warisan kebudayaan bangsa. Tidak hiperbola memang, sebuah tulisan dapat mewakili sebuah peradaban nan ada pada saat tersebut. Serat Centhini ialah salah satu contohnya. Ia ialah sebuah Karya Sastra terbesar dalam sejarah Kesusastreraan Jawa Baru. Serat Chenthini, menghimpun berbagai ilmu pengetahuan serta kebudayaan Jawa. Ini dimaksudkan agar kebudayaan Jawa tak Punah dan teroganisir dengan baik dalam satu buku.
Sejarah dan Sinopsis Serat Centhini
Pada abad ke-19, tiga orang abdi dalem kasunanan Surakarta menulis karya sastra ini. Mereka ialah Kyai Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Ahmad Ilhar). Mereka bertiga diperintahkan oleh seorang putra mahkota saat itu buat menulis hal ini. Putra mahkota tersebut bernama Kanjeng Gusti Adipati Anom Amangku Nagara III, nan kemudian menjadi Sunan Paku Buwana V.
Karya sastra nan ditulis ini merupakan sebuah kisah perjalanan. Kisah ini menceritakan riwayat hayati dari seorang keturunan dari Sunan Giri nan melarikan diri pada saat diserang oleh Sultan Agung dan Pangeran Pekik dari Surabaya.
Dalam pelariannya, Syaikh Amongraga banyak mendapatakan pelajaran perihal agama Islam dan juga hal-hal nan menyangkut humanisme lainnya. Dalam Serat Centhini, penulis banyak sekali menyebutkan kitab-kitab Islam klasik, nan masih digunakan sebagai pegangan di pesantren saat ini.
Serat Centhini dibuat sebagai sebuah kompendium dalam Hidup. Para penulis diharuskan memasukan unsur-unsur filosofi Jawa dan juga Islam dalam karya sastra ini. Bahkan buat menyusun cerita ini, para abdi dalem sampai menemuai banyak orang mulai dari petapa, pemuka agama, juga pandai besi di seluruh tatar Jawa.
Seperti kisah perjalanan lainnya, Serat Centhini sendiri memiliki alur nan cukup baik. Kisahnya dimulai ketika tiga putra dari Sunan Giri Berpencar dari Tanah Jawa. Mereka Berpencar sebab kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Pangeran Pekik dan Sultan Agung.
Ketiga putra Sunan Giri tersebut ialah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti. Jayengresmi melakukan perjalanan spiritual ke sekitar Majapahit, Blitar, Pekalongan. Bahkan, perjalanan Jayengresmi membawa ia ke Tanah Sunda. Di mana ia menjelajah daerah seperti Bogor, Gunung Salak, dan lain-lain.
Dalam Perjalanannya, Jayengresmi menemukan banyak hal nan membuatnya matang secara spiritual. Di sini, ia banyak belajar dari para petapa, filsuf, dan juga mahluk gaib. Selain itu, Jayengresmi banyak belajar dari alam. Ia banyak mengetahui tentang candi, Syekh Siti Jenar, pembuatan kain, penanggalan, dan lain-lain.
Akhir cerita, sebab ilmunya tersebut, Jayengresmi dikenal sebagai Syekh Amongraga. Dalam perjalanan, ia berjumpa Ni Ken Tambangraras nan menjadi istrinya kelak. Setelah melalui perjalanan nan cukup jauh dan berarti, akhirnya Jayengresmi berjumpa kembali dengan keluarganya, namun tak lama. Ia pun harus meninggal.
Serat Centhini Kental dengan Islam
Dalam Serat Centhini, kita akan menemukan banyak sekali filosofi Islam nan bercampur dengan kebudayaan Jawa. Ini terlihat dari banyaknya tulisan perihal ajaran Islam di dalamnya. Serat Centhini bahkan memberikan porsi nan banyak tentang cara shalat, wudhu, zat Allah, Asmaul Husana, dan juga beberapa pengatahuan dasar Islam Lainnya.
Meskipun karya ini merupakan rangkuman dari peradaban Jawa waktu itu, namun di dalamnya kita dapat mendapatkan bagaimana kentalnya hal-hal Islam. Bahkan dalam karya ini, Serat Centhini menyebut delapan kitab Islam Klasik, yaitu:
- Kitab Semarakandi, menunjuk kitab Bayân ‘Aqîdah al-Ushûl karya Ibrahim as-Samarqandi.
- Kitab Durat, yaitu Kitab Ad-Durrah karya Yusuf al-Sanusi al-Hassani.
- Kitab Talmisan (juga disebut Kitab Tilmisani) ialah karya Umar bin Ibrahim al-Tilmisani nan berisi komentar atas Kitab Durah.
- Kitab Asanusi, karya al-Sanusi nan juga merupakan komentar atas Kitab Durah.
- Kitab Sail, menunjuk pada Kitab Masâ’il karya Abu al-Laits as-Samarqandi. Kitab ini juga dikenal dengan nama Bayân’ Aqîdah al-Ushûl.
- Kitab Patakul Mubin, yaitu kitab Fath al-Mubîn karya Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri.
- Kitab Tasdik menunjuk pada kitab Bayân at-Tasdîq.
- Kitab Juwahiru menunjuk pada Kitab Al-Jawâhir ats-Tsaniyah fî Syarh as-Sanusiyyah, ditulis oleh Abdullah as-Sughayir Suwaidan.
Banyaknya unsur Islam dalam kitab ini memang tak mengherankan. Karena beberapa penulisnya merupakan lulusan pesantren. Kyai Yasadipura I merupakan seorang lulusan pesantren Kedhu. Ia belajar di sini selama tujuh tahun. Bahkan, Kyai Yasadipura belajar agama Islam sampai ke Mekkah.
Selain itu, Serat Centhini menunjukan kalau masyarakat Jawa pada saat itu memang kental dengan agama Islam. Dari keraton hingga masyarakat Jawa biasa pun telihat sangat taat dalam memluk Islam.
Ada sebuah Cerita nan menujukan bagaimana Islma menjadi sebuah unsur nan kental dalam kehidupan di Jawa pada saat itu. Dalam Surat Chentini, diceritakan Syekh Amongraga memberikan nasihat pada istrinya, yaitu Ken Tambang Raras. Nasihat Syekh Amongraga tersebut ialah sebagai berikut.
Syariah bersama dengan tarekat merupakan loka buat menanam makfirat dan hakikat sebagai perwujudan wiji nugraha (benih anugerah). Benih harus ditanam di loka nan baik. Jika ditanama di loka nan buruk maka akan menghasilkan sesuatu nan buruk pula. Syariah sebagai dasar agama harus dipegang kuat dan dijalankan dengan baik. Mencari kesempurnaan hayati tanpa didasari syariah akan sangat membahayakan.
Perjalanan cinta Serat Centhini akan terasa hambar tampaknya, jika sebuah kisah tak ada bumbu cinta di dalamnya. Serat Centhini juga memiliki romansa di dalamnya. Romansa antara Jayengresmi dan Tembangraras juga dituliskan secara apik dalam karya sastra ini.
Hubungan cinta meraka juga seperti layaknya interaksi kedua sufi dalam menemukan jalan. Mereka banyak berdiskusi dan juga mencari jawaban perihal makna cinta, filosofi kehidupan, dan juga hal-hal lainnya. Bahkan buat menemukan kesempurnaan dalam bercinta, Jayengresmi sampai menghabiskan waktu spesifik selama 40 malam dengan istrinya.
Selama 40 Malam ini, Jayengresmi dan istrinya bersemdi, menemukan jawaban tentang cinta, nafsu, dan kehidupan. Mereka juga saling berdiskusi satu sama lain. Ada sebuah kalimat terkenal nan dilontarkan oleh Jayengresmi terhadap istrinya, yaitu:
“Namun hatimu sudah dalam hatiku dan hatiku dalam hatimu, kau dengarkah keduanya berdebar-debar gugup sebab asmara? Padahal kegugupan ialah halangan sanggama”
Bait di atas seakan-akan menjadi sebuah representasi cinta pada zaman Jawa Kuno. Bait tersebut memperlihatkan bagaimana cinta dalam perspektif kebiasaan tradisional dan juga dari perspektif nilai keraton.
Berbeda dengan cinta modern nan lebih terbuka, cinta nan diperlihatkan dalam Serat Centhini ini merupakan sebuah cinta nan masih terkekang oleh kebiasaan dan adat. Meskipun cerita cinta ini banyak beraroma Jawa, namun sebenarnya hakikat cinta secara sudut pandang Islam pun diceritakan dalam buku ini.
Salah satunya, ialah bagaimana peran perempuan dalam rumah tangga. Cara melakukan interaksi suami istri, arti pernikahan, dan juga cinta dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai nan ditanamkan dalam buku ini hampir sama dengan nila-nilai nan diajarkan oleh Agama Islam.
Saking menariknya, buku Surat Chentini ini juga diterjemahkan oleh seorang warga asing. Ia ialah Elizabeth D. Inandiak, seorang penulis dan penyair Perancis nan mencoba buat menerjemahkannya. Selain menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Elizabeth juga mencoba buat menerjemahkan karya sastra ini ke dalam Bahasa Prancis.
Tidak Bisa Dipungkiri, bahwa Serat Centhini memiliki pesan dan juga cerita nan kuat. Di dalamnya, kita dapat mengetahui bagaimana kehidupan manusia Jawa pada abad tersebut, secara tradisi, dan juga pola Hidup. Serat Centhini juga memberikan pemahaman terhadap kita tentang bagaimana konsep dan penerapan agama Islam nan begitu kental dalam Tanah Jawa.