Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar
Aceh mendapat julukan istimewa sebagai Serambi Mekah. Itu bukan hanya sebuah julukan melainkan sebuah tonggak sejarah atau milestone , di mana buat pertama kalinya agama Islam masuk ke Indonesia setelah melewati Aceh. Kerajaan Aceh di Indonesia bercorak agama Islam.
Dipimpin oleh seorang Sultan Iskandar Muda, kerajaan ini berkembang dengan sangat pesat. Kejayaan demi kejayaan pun diraihnya. Faktor wilayah pun menjadi penggiring kesuksesan kerajaan nan terletak di Pulau Sumatra bagian utara ini.
Pada masa itu, jalur perdagangan internasional melalui Sumatra menjadi jalur nan sangat ramai dilewati oleh berbagai bangsa nan tak sekadar berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran agama. Jalur pelayaran perdagangan nan ramai ini sangat memberikan pengaruh pada kehidupan Kerajaan Aceh pada aspek ekonomi, sosial, budaya, hingga politik.
Pada abad ke-16, Sultan Iskandar Muda sukses mengepakkan sayap ke luar Aceh buat membangun kolaborasi dalam perdagangan ke negara Turki, Belanda, dan Inggris. Kerajaan Aceh di Indonesia dikabarkan berdiri tepat setelah runtuhnya Kerajaan Samudra Pasai sekitar abad ke-14.
Dalam Bustanussalatin karya Nuruddin Ar-Raniri pada 1637 M, disebutkan bahwa Kerajaan Aceh berdiri setelah sukses melepaskan diri dari Kerajaan Pedir. Kutaraja nan kini bernama Banda Aceh dahulu menjadi ibu kota kerajaan Aceh. Berjayanya Kerajaan Aceh tak lepas dari pengembangan pola dan pendidikan militer nan dibangunnya dengan sangat apik.
Karena ketangguhan militernya, mereka sukses menyingkirkan penjajah dan pemikiran imperialisme Bangsa Barat nan menjerat masyarakat Serambi Mekah. Keadaan ini juga seimbang dengan sistem pemerintahan nan sistematik dan menomorsatukan kajian ilmu pengetahuan sehingga dapat mengadakan interaksi diplomatik dengan berbagai negara.
Dari interaksi diplomatik, lama kelamaan dimanfaatkan oleh Belanda dalam rangka menguasai wilayah Kerajaan Aceh. Pada tahun 1873, saat Belanda memenangkan persaingan dengan bangsa barat atas Indonesia, Belanda mulai melancarkan agresi demi agresi ke Aceh. Kegagalan atas agresi pertama pada interaksi diplomatiknya melahirkan perang nan disebut Perang Aceh.
Perang ini berlangsung cukup lama dan bertahap. Kekuatan Kerajaan Aceh dalam mempertahankan kemerdekaannya terbukti mampu menghalau segala macam agresi nan diluncurkan Belanda. Sejak tahun 1887 hingga 1993, Perang Aceh terus berkecamuk. Namun, tidak sedikit pun Belanda mampu menduduki Aceh.
Kegagalan demi kegagalan nan dituai Belanda sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan para Sultan di Kerajaan Aceh. Siapa saja mereka?
Sultan Ali Mughayat Syah
Raja pertama ini memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1514-1528 M. Di bawah kepemimpinannya, ia melakukan beberapa penyerangan seperti pada saat Portugis menduduki Malaka dan penyerangan terhadap Kerajaan Aru nan terletak di Pantai Timur Sumatra Utara. Kerajaan Aceh juga membentangkan sayap kekuasaannya pada waktu itu hingga ke wilayah Pasai dan Daya di Sumatra Utara.
Sultan Salahuddin
Putra dari Sultan Ali Mughayat Syah ini otomatis menggantikan kedudukan sang ayah ketika beliau wafat. Ia mulai memimpin sejak tahun 1528-1537 M. Pada masa kepemimpinannya, kejayaan Kerajaan Aceh mulai menurun. Sultan Salahuddin tak memiliki taktik mempertahankan kejayaan dan hanya duduk di tahtanya saja. Oleh sebab itu, serta merta ia digantikan oleh saudaranya, Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar.
Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar
Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar memerintah tahun 1537-1568 M. Perombakan demi perombakan dilakukannya demi mengembalikan kejayaan Kerajaan Aceh seperti semula, bahkan lebih hebat. Perombakan di pemerintahan menjadi titik beratnya. Karena, pemerintahan nan baik akan membantunya menjalankan kepemimpinannya.
Sultan Alauddin berusaha melakukan ekspansi kekuasaan dengan menyerang Kerajaan Malaka namun usaha ini gagal. Selanjutnya, ia mendapat hadiah dengan sukses ditaklukkannya wilayah Kerajaan Aru. Sepeninggal Sultan Alauddin Syah, Kerajaan Aceh berangsur-angsur mengalami masa suramnya.
Perebutan kekuasaan dan pemberontakan kerap terjadi di Kerajaan Aceh. Beruntung, datang seorang Sultan Iskandar Muda nan meredam gejolak di Tanah Rencong.
Sultan Iskandar Muda
Tahun 1607-1636 M pemerintahan Sultan Iskandar Muda menunjukkan kegemilangannya. Di tangannya, Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan nan besar dan sangat berpengaruh dalam global perdagangan Islam. Pada masa itu, Kerajaan Aceh menjadi loka transit para pedagang Islam dari negara barat.
Untuk dapat menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan wilayah penghasil lada, Sultan Iskandar Muda menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya. Selain itu, Kerajaan Aceh juga menduduki beberapa wilayah seperti Aru, Kedah, Pahang, Indragiri, dan Perlak.
Kegemilangan Sultan Iskandar Muda ini juga diiringi oleh kemunculan dua orang pakar tasawuf nan sangat terkenal di Aceh. Mereka ialah Syeikh Ibrahim As-Syamsi dan Syeikh Syamsuddin bin Abdullah As-Samatrani. Tidak lama sepeninggal Sultan Iskandar Muda, tahtanya digantikan oleh Sultan Iskandar Thani nan tak lain ialah menantunya.
Sultan Iskandar Thani
Sultan Iskandar Thani memimpin Kerajaan Aceh di Indonesia pada tahun 1636-1641 M. Selama menjalankan pemerintahan, ia meneruskan cara Sultan Iskandar Muda dalam memimpin. Pada masa pemerintahannya ini, lahirlah seorang ulama besar nan sangat dihormati oleh masyarakat Aceh dan keluarga sultan khususnya nan bernama Nuruddin Ar-Raniri.
Buku berjudul Bustanussalatin nan berisi sejarah tentang Aceh tercipta dari tangannya. Buku ini menjadi surat keterangan banyak sejarawan sepanjang masa. Sepeninggal Sultan Iskandar Thani, kepemimpinan Kerajaan Aceh digantikan oleh putri Sultan Iskandar Muda. Gelar wanita ialah Putri Sri Alam Permaisuri. Ia mulai memimpin Kerajaan Aceh sejak tahun 1641 M sampai 1675 M.
Kerajaan Aceh termasuk dalam wilayah nan cukup subur. Tidak heran jika perekonomian Aceh berkembang sangat cepat. Lada merupakan hasil pertanian nan terbilang cukup berhasil menyokong kerajaan dan masyarakat luas.
Keberhasilan dalam meluaskan wilayah kekuasaan menambah daftar pasokan lada nan cukup berlimpah, sehingga banyak bangsa barat dan bangsa-bangsa lain seperti Arab, Turki, Persia, Cina , India, dan Jepang nan ingin membina interaksi dagang dengan Aceh.
Pantai Timur dan Barat Sumatra menyumbang cukup banyak lada nan memungkinkan Aceh mengekspornya hingga ke mancanegara. Sementara, Aceh mengimpor barang-barang kebutuhan sekunder dan tertier seperti sutera porselen dari Cina dan Jepang, minyak wangi dari Timur Tengah dan Eropa, serta kain dari India.
Karena kepesatan dalam perekonomian dan pemerintahan nan kental dalam agama, melahirkan sistem feodalisme dan agama Islam di Kerajaan Aceh. Bermunculanlah kaum alim ulama nan termasuk dalam golongan Tengku dan golongan kaum bangsawan nan termasuk dalam golongan Teuku.
Kerajaan Aceh di Indonesia mulai mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Iskandar Thani. Kemunduran ini terjadi atas beberapa penyebab, seperti kudeta antara pewaris tahta kerajaan, makin meluasnya kekuasaan Belanda di Sumatra dan Selat Malaka, serta runtuhnya Minangkabau, Tapanuli, Siak, Mandailing, Bengkulu, dan Deli oleh penjajah Belanda.
Pada tahun 1824, Traktat London ditandatangani. Traktat ini menjelaskan tentang penyerahan kekuasaan kepada Belanda dalam menguasai kawasan Inggris di Sumatra. Dan, Belanda akan memberikan segala bentuk kekuasaan perdagangannya di India dengan tak menandingi Inggris dalam menguasai Singapura. Trakta ini tentu menyulitkan Kerajaan Aceh dalam bergerak sehingga kemunduran pun ditemuinya.