Penyakit Struktural

Penyakit Struktural

Fakta nan terjadi dampak korupsi sungguh menyedihkan. Korupsi siapa sih nan tidak kenal kata ini? Bahkan nan paling memalukan ialah bila korupsi disangkut pautkan dengan nama bangsa Indonesia. Yang hingga kini belum dapat tuntas mengatasi korupsi.

Ada aneka bentuk korupsi nan paling generik terjadi, antara lain :



1. Kecurangan, penggelapan, penipuan, pemerasan

Korupsi jenis ini cenderung bersifat individu. Biasanya mereka nan berkesempatan melakukan hal ini ialah seorang pimpinan dari suatu forum atau instansi atau perusahaan nan dipimpinnya.

Bentuknya antara lain dengan menggunakan fasilitas kantor atau forum nan dipimpinnya buat keperluan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Seperti menggunakan mobil kantor buat keperluan pribadi, memakai telepon kantor buat urusan keluarga, dll. Atau melakukan mark up aturan kantor atau melebihkannya sehingga residu kelebihan itu dapat dikantongi sendiri.



2. Nepotisme, kolusi, kroni

Ini ialah jenis-jenis korupsi nan banyak terdapat di negara sedang berkembang mau pun nan belum berkembang.



3. Sogok atau suap

Penyogokan atau penyuapan, ialah nan paling generik terjadi di masyarakat. sehingga hampir sulit dibedakan dengan korupsi. Penyuapan biasanya dilakukan dengan uang atau barang.

Antara lain berbentuk hadiah seperti parcel, voucher, barang-barang mewah, beasiswa, dan lain-lain. Sehingga bentuk penyuapan ini dapat lebih tersamar dan sulit buat dikenali. Bahkan hampir dianggap hal nan biasa sebab demikian luasnya ruang lingkup suap di dalam lini kehidupan masyarakat.



Sebab Orang Melakukan Korupsi

Karena koruptor tak dilahirkan dari rahim ibunya tetapi muncul kemudian, maka ada sebab-sebab eksklusif nan membuat orang melakukan tindakan korupsi, yaitu:

  1. Adanya nafsu atau ingin dapat hayati enak dan bermewah-mewahan.
  1. Lemahnya peraturan nan ada sehingga dengan mudah dapat disiasati oleh para koruptor.
  1. Kurang memiliki pemahaman terhadap nilai moral dan agama.
  1. Lemahnya kontrol sosial dan budaya terhadap para koruptor. Misalnya maling ayam lebih cepat dihajar dan dihukum daripada koruptor nan berpenampilan mentereng.
  1. Memiliki kekuasaan politik.
  1. Birokrasi nan panjang dan berliku.
  1. Gaji nan tak memadai.


Akibat Korupsi
  1. Sangat berbahaya bagi segala aspek kehidupan manusia. Baik dari segi politik,sosial, budaya, ekonomi dan birokrasi.
  1. Korupsi akan memunculkan rasa individualis nan tinggi, egoisme dan tiadanya ketulusan dalam suatu interaksi atau relasi.
  1. Korupsi menimbulkan disparitas nan sangat menyolok antara si kaya dan si miskin.
  1. Korupsi sangat berbahaya bagi baku moral di dalam masyarakat, saat mereka menganggap korupsi ialah suatu hal nan biasa. Terutama bagi pemahaman generasi muda.

Begitu besarnya bahaya korupsi bagi kehidupan manusia, sehingga semua orang harus ikut berperan aktif dalam memberantasnya. Pemerintah juga diharuskan tegas dalam menindak kasus korupsi dan menghukum para koruptor. Serta memberikan gaji nan layak untuk para pegawai negeri sipil sehingga dapat meminimalisir terjadinya korupsi.

Demikian juga dengan para pembuat peraturan perundang-undangan di dalam gedung DPR/MPR. Inilah saatnya buat membuat undang-undang antikorupsi nan efektif dan tepat sasaran.

Demikian pula dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama, juga harus proaktif mengingatkan masyarakat tentang bahaya korupsi bagi masa depan bangsa. Juga media nan dapat ikut berperan dengan cara membentuk opini agar publik terpanggil buat memerangi korupsi.

Dengan adanya sinergi dan komitmen nan solid dari setiap lapisan masyarakat, bukannya tak mungkin negara ini akan bebas dari belitan korupsi. Sehingga Indonesia di masa depan akan terhindar dari kerusakan parah dampak korupsi .



Penyakit Struktural

Sejak reformasi, Kejaksaan Agung, sebelum terbentuknya KPK mulai memanggil satu per satu konglomerat, para eksekutif bisnis dan anggota dewan dan partai politik nan dicurigai terlibat dalam penyalahgunaan uang negara. Para pemilik dan direktur bank nan dikenal sebagai orang-orang berhasil pun kini berurusan dengan aparat penegak hukum.

Masih dalam ingatan penyidikan nan dilakukan beberapa waktu lalu. Penyidkan nan dilakukan aparat Kejaksaan Agung berkaitan erat dengan dugaan penyelewengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) nan disebut-sebut sebagai skandal korupsi terbesar di abad ini, sebab mengakibatkan kerugian sekitar Rp 140 triliun.

Di luar itu pemerintah baru saja mengumumkan langkah pemberantasan KKN. Yang menonjol dari kebijakan dalam hal nan satu ini ialah penghentian kontrak-kontrak atau kolaborasi bisnis dengan anak-anak dan cucu mantan presiden Soeharto.

Kita melihat bahwa waktu itu pemerintahan Habibie tetap mempertahankan momentum agar pemberantasan korupsi tak lagi dianggap isu dan ikhtiar basi. Kita sangat sepakat dengan konsistensi itu. Akan tetapi kita juga ingin mengingatkan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit struktural.

Karena ini penyakit struktural, diperlukan keberanian dan kejujuran luar biasa baik dari mereka nan diperiksa dan digugat, maupun dari nan memeriksa dan menggugat. Soalnya nan memeriksa dan terperiksa orang-orang dari rezim nan sama.

Sebagai penyakit struktural, gejala-gejala korupsi dapat dilihat dengan sangat kasat mata. Yang diperlukan sekarang ialah apakah kecurigaan masyarakat dapat dijadikan alasan buat pengusutan.

Untuk mempertahankan momentum pengusutan korupsi sebaiknya tak hanya terbatas pada konglomerat saja, tetapi juga para pejabat baik nan sudah pensiun maupun nan masih aktif. Sine qua non kecurigaan bila para pejabat memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan serba kemewahan lainnya.

Jangan sampai kita Cuma mengumpat masa lalu nan sekarang menyebut diri manusia masa kini dan berkhotbah tentang moral dan kejujuran.

Korupsi ialah penyakit struktural. Karena itu penjahatnya tentu selain manusia masa lalu juga manusia masa kini. Jangan sampai kita terjebak pada apologi buat melupakan masa lalu dan memulai nan baru tanpa menghiraukan sangkut-pautnya dengan kemarin.



Korupsi Bak Ketiak Ular

Luar biasa hebatnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) nan terjadi di negeri ini. Bayangkan. Inilah pengumuman resmi pemerintah, bahwa sejak Mei 1998, Kabinet Habibie telah menyelesaikan 27.865 kasus KKN di 12 departemen atau kementerian dengan nilai lebih dari Rp 1, 906 triliun dan US$133,69 juta. Jumlah nan fanatastis. Kita pun memberitakannya tetapi tak puas.

Tidak puas, karena niscaya lebih banyak lagi kasus nan belum atau tak terungkap. Tidak puas, karena penyelewengan uang negara hanya disebut sebagai statistik. Berhenti sebagai agregat. Statistik perlu, tetapi inilah statistik nan tak punya makna, bahkan hanya menimbulkan skeptisime.

Sebab, tak jelas siapa nan korupsi, dalam kasus apa, berapa nilainya, dan diapakan itu kasus. Tidak jelas cara penyelesaiannya. Alangkah hebat KKN terjadi, hampir 28.000 kasus, tetapi kita tidak mendengar seorang pun tersangka nan diadili. Maka pengumuman pemerintah itu, bagaikan tong kosong nan bunyinya nyaring. Nyaring benar, namun hampa sahih pula isinya.

Langkah hukum, bukan langkah administratif, apalagi langkah politis. Katakanlah, seseorang mencuri uang negara, lalu mengembalikannya ke kas negara. Soal ini dianggap selesai secara administratif. Uang negara diselamatkan, itulah argumennya.

Padahal maling tetaplah maling, nan harus dihukum sekalipun curiannya dikembalikan. Terkesan kuat, nan terjadi ialah upaya melindungi orang, dan bukan negara sebagai sebuah sistem. Padahal, sistemlah nan harus diselamatkan, bukan orang per orang.

Memberantas KKN, kita tahu perintah MPR. Lebih dari itu, ia melupakan tuntutan nan berasal dari bawah. Maka, sekadar mengumumkan, lebih merupakan langkah politis, nan telah kehilangan efektivitas. Cara-cara verbal semacam ini, tak mempan lagi. Jauh panggang dari api. Rakyat sudah tahu mana lipstik mana bibir, mana lips service mana tindakan hukum.

Korupsi bagai ketiak ular. Panjang berlanjut; tak putus-putusnya. Maka, diperlukan tindakan nyata, yaitu penggal itu ketiak. Bikin putus. Bukan dengan omongan, tetapi dengan tindak konkret di muka hukum.

Sebab, dihadapan hukumlah semua orang menjadi sama. Ibilah buah simalakama untuk pemerintah. Tetapi inilah pula ujian bagi pemerintahan nan baru kelak. Tidak peduli siapa pun nan menjadi presiden, dan siapa pun nan menjadi oposisi. Buktikan, bisakah sapu higienis menyapu lebih bersih?



Akibat Korupsi Kian Dahsyat

Akibat korupsi sudah menjadi kata tanpa makna. Tidak ada lagi ketakutan menyebut nama itu. Juga tak ada lagi kebencian tatkala kata itu inheren pada orang atau institusi. Tidak ada lagi rasa bersalah ketika seseroang melakukan korupsi. Karena itu, kata korupsi sekarang diperhalus menjadi penyimpangan.

Di depan Kedap Sempurna DPR pada tahun 2000 lalu, ketua BPK Satrio Budihardjo (Billy) Joedono menyebut tanpa aktualisasi diri sebuah angka. Anggota DPR nan mendengar tentang angka itu menyambut tanpa kesan juga. Padahal angka nan disebutkan Billy sebenarnya sangat mencengangkan, yaitu telah terjadi korupsi sebesar Rp 209,430 triliun terhadap aturan belanja negara tahun 1999/2000 dan tahun buku 1999.

Uang nan doselewengkan itu mencapai 45,96% dari total anggaran! Luar biasa! Tetapi, itu tadi. Korupsi, nan diekspresikan dalam angka maupun kata, sudah tak berarti apa-apa. Hampir tak ada disparitas lagi antara korupsi jutaan, miliaran, dan triliunan.