Politik Belah Bambu
Tahukah Anda bagaimana sejarah tentang perlawanan Sultan Hasanudin si Ayam Jantan Timur, pahlawan dari Sulawesi Selatan? Kawasan timur kepulauan Nusantara merupakan wilayah terlama nan dikuasai oleh Belanda. Tujuan primer dominasi VOC di kawasan ini ialah rempah-rempah nan terutama dihasilkan di kepulauan Maluku.
Daerah Penghasil rempah-rempah di Maluku selama hampir 100 tahun menjadi ajang perebutan di antara bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Upaya perebutan monopoli perdagangan rempah-rempah itu juga menyeret kerajaan-kerajaan lokal di sekitarnya ke dalam perebutan pengaruh, dan salah satunya nan paling sengit ialah perlawanan Sultan Hasanudin nan dijuluki Ayam Jantan dari timur.
Kerajaan Gowa
Sultan Hasanudin dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 12 Januari tahun 1631. Beliau mati di usia nan masih muda, 39 tahun, di kota nan sama pada 12 Juni 1670. Sultan Hasanudin ialah salah satu raja Gowa ke-16 nan memiliki nama kecil I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.
Beliau kemudian mendapatkan gelar Sultan Hasanudin Tumenanga Ri Balla Pangkana. Pada usia 24 tahun, naik takhta menggantikan ayahnya, Sultan Malikussaid, nan memerintah kerajaan Gowa dari tahun 1639–1653. Sultan Hasanudin memerintah dari tahun 1653–1669.
Sultan Hasanudin memiliki saudara perempuan nan bernama I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne. Ia dipersunting Sultan Bima Ambela Abul Chair Sirajuddin dan menjadi permaisuri di Bima.
Gelar Ayam Jantan dari timur di berikan Belanda kepada Sultan Hasanudin nan dalam bahasa Belandanya disebut Haav van de Oesten dikarenakan keberanian dan kegigihannya saat melawan VOC Belanda nan ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Makassar.
Konfrontasi VOC Belanda dengan kerajaan Makassar mencapai puncaknya ketika Sultan Hasanudin naik takhta. Pada saat itu, VOC bermaksud buat menguasai perdagangan rempah-rempah di Timur Nusantara.
Gowa ialah kerajaan maritim besar di timur Nusantara nan menguasai jalur distribusi perdagangan. Pada tahun 1666, Belanda memerintahkan Laksamana Cornelis Speelman unutuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di timur Nusantara. Akan tetapi, Gowa menjadi batu sandungan bagi VOC Belanda, sebab Sultan Hasanudin dengan sangat gigih berusaha menyatukan kekuatan dari kerajaan-kerajaan kecil di timur Nusantara buat melawan VOC Belanda.
Perlawanan Sultan Hasanudin
Upaya VOC buat menguasai kegiatan perdagangan rempah-rempah di Maluku mendapat tentangan dari Sultan Hasanudin, penguasa Kesultanan Gowa. Selain itu, satu-satunya kerajaan maritim di bagian timur kepulauan Nusantara nan menjadi saingan VOC juga bersikeras agar kawasan itu memiliki pelayaran nan bebas.
Sejalan dengan sikapnya itu, Hasanuddin bukan hanya membiarkan wilayahnya menjadi pusat perdagangan rempah-rempah “gelap” di mata VOC, tetapi juga mengizinkan para pedagang Portugis berdagang di wilayahnya.
Pada tahun 1636, Belanda melakukan blokade terhadap Makassar. Sultan Hasanuddin kemudian melakukan pembalasan dengan merebut Buton sebab penduduk itu juga mengadakan komplotan dengan VOC. Akibatnya, pecah perang terbuka antara VOC dan Gowa nan diakhiri dengan kesepakatan bahwa Gowa harus meninggalkan Buton.
Pada tahun 1666, perang antara VOC dan Gowa berkobar lagi setelah dua kapal Belanda nan kandas di perairan Sulawesi dirampas penduduk Gowa dan awaknya dibunuh. Belanda membalas dengan menyerang Makassar. Selama pertempuran sengit melawan pasukan Gowa, VOC mendapatkan donasi dari Aru Palaka. Bangsawan Bugis ini membantu Belanda dengan tujuan membebaskan Bone nan dikuasai oleh Gowa.
Setelah pertempuran sengit nan menelan korban jiwa nan besar di kedua belah pihak, akhirnya kekuatan gabungan VOC-Bone sukses mengalahkan Gowa pada tahun 1667. Pada 18 November 1667, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian Bungaya. Dalam perjanjian itu, Makassar dipaksa mengakui monopoli pedagangan VOC dan mengusir pedagang Eropa lainnya dari wilayahnya, memberikan sejumlah wilayah nan dikuasainya, serta membatasi pelayaran mereka.
Karena perjanjian Bungaya sangat merugikan, perlawanan Sultan Hasanudin si Ayam Jantan dari Timur melawan VOC berkobar lagi pada April 1668. Namun akhirnya, pada Juni 1669, Gowa dipaksa menyerah. Dampak kekalahan itu, Gowa pun harus benar-benar melaksanakan perjanjian Bungaya.
Politik Belah Bambu
Strategi politik nan banyak dilakukan oleh Belanda pada masa kolonialisme ini terhitung sukses buat mengalahkan kerajaan Gowa. Arung Palakka dari Buton datang kepada kompeni dan menyatakan keberpihakannya buat membantu menyerang Gowa. Tentu saja keinginan Arung Palakka ini disambut dengan bahagia oleh Belanda sebab Belanda telah banyak mengalami kerugian dalam perang buat menaklukkan Gowa.
Sultan Hasanudin merasa sedih sebab berarti akan terjadinya perang saudara. Walaupun begitu, persiapan buat perang dengan Belanda sudah disiapkan. Benteng-benteng nan hancur sudah diperbaiki, prajurit-prajurit sudah disiapkan, persenjataan pun sudah di tambah. Begitu pula di pihak Belanda, sebuah armada besar sudah disiapkan buat menyerang Gowa.
Kapal Belanda De Walvis pada tahun 1662 memasuki wilayah perairan Makasar tanpa permisi. Penjaga pantai mencegat dan perang bahari pun terjadi. Sebanyak enam belas meriam di rampas. Mendengar hal itu Belanda marah dan meminta meriam-meriam tersebut dikembalikan.
Kemudian, pada tahun 1664, Belanda dengan politik adu dombanya mengajak Sultan Buton, Sultan Ternate dan Arung Palakka berjumpa di Batavia dan membujuk mereka buat menyerang Gowa.
Rencana Belanda ini diketahui oleh Sultan Hasanudin. Untuk menghindari perang saudara, Sultan Hasanudin bersedia berdamai dengan syarat meminta Belanda supaya Buton, Seram, dan Bone tak dianakemaskan. Permintaan Sultan Hasanudin ini ditolak oleh Belanda sebab Belanda sudah sangat marah dan berniat menghancurkan Gowa.
Untuk menghadapi Belanda, Sultan Hasanudin mengatur dengan menundukkan kerajaan nan mendukung Belanda, yaitu Buton. Untuk itu, Sultan Hasanudin mengerahkan 700 kapal perang lengkap dengan 20.000 prajurit Gowa dengan komando oleh Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu. Sultan Bima dan Raja Luwu menyerang.
Kerajaan Buton
Pada akhir Oktober 1666, Kerajaan Buton sukses ditaklukkan oleh pasukan Alimuddin. Akan tetapi, tak lama berselang, pasukan Belanda nan dipimpin Admiral Speelman dan Arung Palakka sukses membebaskan Buton.
Pahlawan Nasional
Sesudah mengalami kekalahan nan hebat nan dialami kerajaan Gowa dan pindahnya Sultan Hasanudin dari benteng Somba Opu menuju Benteng Kale Gowa, aksi hulubalang VOC nan memimpin perang Gowa buat memecah belah rakyat Gowa semakin menjadi.
Setelah Speelman menerapkan anggaran "pengampunan umum” nan isinya siapa saja nan ingin menyerah akan diampuni oleh kompeni Belanda, para pengikut Sultan Hasanudin banyak nan menyerah. Sekutu Sultan Hasanudin Karaeng Lengkese dan Karaeng Tallo pun ikut menyatakan menyerah dan mau mengikuti perjanjian Bungaya.
Sultan Hasanudin berikrar tak akan pernah mau bekerja sama dengan VOC Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669, Sultan Hasanudin turun sebagai raja Gowa ke-16 dan selanjutnya digantikan oleh putranya nan bernama I Mappasomba Daeng Nguraga nan bergelar Sultan Amir Hamzah.
Setelah 16 tahun berjuang melawan Belanda dan berusaha mempersatukan Nusantara, Sultan Hasanudin menarik diri dari kehidupan kerajaan. Kemudian, Sultan Hasaudin banyak menghabiskan waktunya mengajarkan Agama Islam serta menanamkan rasa patriotisme dan persatuan di kalangan rakyat Makassar.
Setahun setelah turun takhta, tepatnya tanggal 12 Juni 1670 atau 23 Muharram 1081 Hijriah, Sultan Hasanudin mati di usianya nan masih muda, 39 tahun. Berdasarkan tradisi Kerajaan Gowa, Sang Sultan dimakamkan di pemakaman para raja Gowa, yaitu di Benteng Kale Gowa di Desa Tamalate.
Oleh Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden RI No.0087/TK/Tahun 1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan Hasanudin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional sebab jasa-jasanya dalam melawan penjajahan kolonialisme .
Tidak hanya itu, agar semangat patriotisme dan keberanian Sang Sultan selalu dikenang, nama Sultan Hasanudin banyak diabadikan di jalan-jalan hampir setiap kota di Indonesia. Namanya diabadikan pula di Bandara Hasanudin, Universitas Hasanudin, dan Komando Militer (KODAM) XIV nan memiliki slogan “abbatireng ri pollipukku” nan artinya 'setia pada negeriku'.
Demikianlah cerita sejarah perlawanan Sultan Hasanudin si Ayam Jantan dari Timur. Semoga perjuangannya membela tanah air bisa menumbuhkan jiwa patriotisme bangsa Indonesia.