Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia
Sejarah kebudayaan Islam merupakan istilah nan biasa digunakan dalam global akademis seluler buat menggambarkan praktik-praktik budaya buat masyarakat historis Islam. Sebagai agama nan berasal dari abad ke-7 Arabia, bentuk awal kebudayaan muslim ini didominasi oleh Arab. Seiring dengan perluasan kerajaan Islam nan pesat, pada sejarah kebudayaan Islam terjadi asimilasi dari budaya Balkani, Bangladesh, Berber, Bizantium, India, Indonesia, Melayu, Mongol, Pakistan, Persia, Romawi, Spanyol, Sisilia, Turki, dan Yunani- Romawi.
Pada sejarah kebudayaan Islam, budayanya sendiri masih dalam perdebatan. Pemeluk agama Islam hayati di banyak negara dan komunitas nan berbeda. Sehingga susah buat membatasi poin-poin kesatuan budaya di kalangan umat Islam, selain pengamalan agama Islam. Antropolog dan sejarawan tetap mempelajari Islam sebagai suatu aspek dari dan pengaruh terhadap kebudayaan pada suatu daerah nan didominasi agama Islam ini.
Sejarah kebudayaan Islam secara generik mencakup segala praktik nan telah dikembangkan seputar agama Islam. Hal nan menjadi bagian dari sejarah kebudayaan Islam termasuk Al Quran sebagai bacaan doa sholat dan nan tak berkaitan dengan Al Quran misalnya pembagian global dalam Islam. Hal ini mencakup tradisi Baul dari Bengal.
Peran Walisongo dalam Sejarah Kebudayaan Islam
Sejarah kebudayaan Islam di Indonesia sendiri sangat dipengaruhi oleh keberadaan walisongo. Walisongo menjadi simbol penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Pada masa penyebaran agama Islam oleh walisongo, masa tersebut merupakan akhir penguasaan agama Hindu dan Buddha dalam budaya nusantara. Dan Sejarah kebudayaan Islam di Indonesia pun dimulai. Sebenarnya, sebelum walisongo sudah ada seorang tokoh nan melakukan penyebaran agama Islam di Indonesia. Nama tokoh tersebut ialah Syekh Jumadil Qubro, beliau anak dari Putri Kelantan Tua atau Putri Saadong II nan bernama Puteri Selindung Bulan.
Sebenarnya, banyak tokoh lain nan mempunyai sumbangsih dalam sejarah kebudayaan Islam sebagai penyebar agama Islam di nusantara. Tetapi, walisongo memiliki nilai lebih sebab pengaruhnya sangat luas dalam sejarah kebudayaan Islam di Jawa. Kesembilan wali tersebut tak melakukan penyebaran agama Islam di saat nan besamaan, namun satu sama lalin berkaitan erat. Ada nan memiliki interaksi guru dan murid. Mereka melakukan asimilasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan nusantara nan sudah mengakar pada tradisi masyarakatnya sehingga lahirlah sejarah kebudayaan Islam di Indonesia.
Dalam melakukan penyebaran Islam, para walisongo tersebut memiliki peran nan unik dalam sejarah kebudayaan Islam di Indonesia. Misalnya, Maulana Malik Ibrahim nan bertindak sebagai tabib bagi Kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri dijuluki “paus dari Timur” oleh para kolonialis dan Sunan Kalijaga berkarya dalam kesenian dengan memakai perbedaan makna Hindu dan Buddha nan dipahami masyarakat Jawa.
Sejarah Kebudayaan Islam di Beberapa Daerah di Indonesia
Sejarah Kebudayaan Islam di Kalimantan diawali dari ajaran Islam nan masuk dari dua jalur, yaitu Malaka dan Jawa. Pada masa itu, Kalimantan masih dikenal sebagai Borneo. Malaka dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Pasai dan Perlak. Dakwah pun semakin menyebar seiring Malaka jatuh dan dijajah oleh Portugis sehingga komunitas Islam dan para mubaligh melakukan eksodus dan bermukim di pesisir Barat Kalimantan.
Jalur kedua dari sejarah kebudayaan Islam di Kalimantan ialah pengiriman para mubaligh dari Pulau Jawa. Puncak dari ekspedisi dakwah di Kalimantan ini ialah dengan berdirinya Kerajaan Demak. Banyak mubaligh nan datang ke Borneo dari Demak sehingga lahirlah Kerajaan Islam Banjar. Tokoh ulama asal Kerajaan Islam Banjar ini antara lain ialah Syek Muhammad Arsyad al Banjari. Selain beliau, banyak juga tokoh-tokoh ulama besar nan berasal dari Kerajaan Islam Banjar.
Sejarah kebudayaan Islam di Sulawesi dipicu oleh interaksi antar ribuan pulau di nusantara. Interaksi tersebut didasari oleh faktor ekonomi dan politik serta kepentingan kerajaan. Dengan adanya interaksi tersebut, maka dakwah ajaran Islam pun masuk ke Sulawesi nan juga dikenal sebagai Celebes. Mengacu pada catatan perusahaan dagang nan datang ke Sulawesi pada 1540, terungkap bahwa di beberapa daerah di Sulawesi telah terdapat pemukiman Muslim. Jalan dakwah pun terus berlanjut sampai memberi pengaruh pada raja-raja Kerajaan Goa.
Sultan Alaidin al Awwal ialah Raja Goa pertama nan menganut agama Islam pada 1603. Begitu pula Karaeng Matopa, Perdana Menteri atau Wazir Besar beliau. Dua orang inilah nan menorehkan sejarah kebudayaan Islam di Goa. Padahal, sebelum dakwah Islam sampai ke Sultan Alaidin, Tonigallo nan merupakan ayahnya telah lebih dahulu menerima dakwah tersebut. Tetapi, Tonigallo risi jika dia masuk Islam, maka kerajaannya akan takluk di bawah pengaruh kerajaan Ternate. Hal ini disebabkan Sultan Ternate telah terlebih dahulu menganut ajaran Islam.
Sejarah kebudayaan Islam di Kerajaan Goa, mencatat Datuk Patimang, Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Khatib Tunggal sebagai ulama nan terkenal di masa pemerintahan Sultan Alaidin. Mereka terkenal oleh pemahaman dan kegiatan dakwahnya. Hal ini bisa dengan mudah diketahui dari gelar datuk nan menjadi predikat mereka. Datuk ialah para mubaligh dan ulama asal Minangkabau nan melakukan penyebaran agama Islam di Makassar. Dari pusat-pusat dakwah nan didirikan oleh Kerajaan Goa, perjalanan pun berlanjut ke wilayah lain hingga ke Kerajaan Wajo Sopeng, Bugis, Luwu, Paloppo, Sidenreng, dan Tanette.
Sejarah Kebudayaan Islam di Maluku dimulai lebih dahulu ketimbang Makassar dan kepulauan lain. Hal ini disebabkan sebab Maluku banyak dikunjungi para pedagang seantero global sejak lama berkat keterkenalannya akan hasil bumi nan melimpah. Agama Islam masuk ke KerajaanTernate sejak 1440. Kerajaan ini merupakan kerajaan terbesar di Kepulauan Maluku. Ketika Portugis menginjakkan kaki di Ternate pada 1512, Bayang Ullah nan merupakan raja Ternate saat itu ialah penganut agama Islam.
Kerajaan Tidore juga menoreh sejarah kebudayaan Islam di kepulauan Maluku ini. Wilayah teritorial Kerajaan Tidore cukup luas nan mencakup pesisir Barat kepulauan Papua, sebagian kepulauan Seram dan sebagian wilayah Halmahera. Selain itu , ada pula Kerajaan Bacan dengan Raja Zainulabidin sebagai raja pertama nan memeluk Islam pada tahun 1521. Masih pada tahun nan sama, berdirilah Kerajaan Jailolo nan pemerintahannya dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam.
Sejarah kebudayaan Islam di Papua masuk dari kerajaan di Kepulauan Maluku nan daerah kekuasaannya mencakup bagian dari Pulau Papua. Administrasi pemerintahan Kerajaan Bacan membawahi banyak kepala-kepala suku di wilayah Misool, Waigeo, dan beberapa daerah lain. Masih di periode nan sama, banyak kepala-kepala suku di pulau ini menganut agama Islam sebagai pengaruh dari dakwah oleh Kerajaan Bacan. Namun, perkembangan Islam di pulau ini tak terlalu besar.
Sejarah kebudayaan Islam di Nusa Tenggara dimulai pada awal abad ke-16. Ajaran Islam ikut berlayar ke Nusa Tenggara berkat interaksi baik antara Sumbawa dengan Kerajaan Makassar. Hal ini bisa dilacak dengan meneliti makam Sultan Bima. Beliau ialah orang nan pertama kali memeluk Islam namun bisa dikatakan bahwa seluruh penduduk Bima sudah menjadi Muslim sejak awal.
Selain Sumbawa, sejarah kebudayaan Islam juga masuk ke Lombok melalui orang-orang Bugis nan datang dari Sumbawa. Perpaduan budaya nusantara nan sudah lebih dahulu dipengaruhi oleh Hindu dan Buddha menjadi penambah corak sejarah kebudayaan Islam.
Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia
Sejarah kebudayaan Islam masuk ke wilayah Indonesia diperkirakan sudah terjadi sejak abad pertama tahun hijriyah atau abad ke tujuh atau delapan masehi. Pernyataan ini didasarkan pada bukti ditemukannya batu nisan pada makam wanita Islam pada tahun 475 H atau 1082 M.
Penemuan batu nisan dari Fatimah Binti Maimun tersebut diyakini bahwa pada masa tersebut sejarah kebudayaan Islam di Indonesia sudah mulai berkembang. Keyakinan ini diperkuat dengan adanya laporan nan dibuat musafir Maroko, Ibnu Batutah pada saat berkunjung ke Samudera Pasai saat melakukan perjalanan menuju Cina di tahun 1345 M.
Menurut Batutah, saat berkunjung ke Indonesia pada masa tersebut, agam Islam dengan mahzab Syafi’i sudah berkembang di Indonesia selama satu abad. Itulah mengapa, berdasar fakta nan ditemukan dan diperkuat oleh literatur perjalanan tersebut, dapat dipastikan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke XIII.
Dalam perjalanannya, ada beberapa daerah nan dikunjungi oleh Ibnu Batutah di Indoensia. Di kawasan Sumatera, Batutah berkunjung di beberapa daerah seperti kawasan Peureulak di Aceh Timur. Kemudian berlanjut hingga mendirikan kerajaan Islam pertama yaitu Samudera Pasai di Aceh Utara.
Di kawasan Jawa, Ibnu Batutah banyak menyusuri kawasan pesisir utara pulau Jawa. Dari Jawa ini, perjalanannya dilanjutkan menuju Maluku nan sebelumnya menjadi pusat kerajaan Hindu, yakni kerajaan Majapahit.
Masa Kesultanan
Pada masa kesultanan, ada beberapa daerah nan tak terpengaruh kebudayaan Hindu-Budha. Misalnya di daerah Aceh, Minangkabau atau Banten. Di kawasan tersebut, sejarah kebudayaan Islam lebih banyak mewarnai kehidupan masyarakat setempat. Di kerajaan-kerajaan nan ada di kawasan tersebut, agama Islam demikian kuat mengakar sampai Indonesia meraih kemerdekaan. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan nama-nama Islam serta peninggalan nan mengandung nilai keislaman.
Sejarah kebudayaan Islam di Jawa pada masa kerajaan ini berkembang dengan pesat berkat jasa para wali nan dikenal dengan nama walisongo. Mereka menyebarkan ajaran Islam dengan menggunakan pendekatan budaya masyarakat Jawa nan masih kental dengan ajaran Hindu Buddhanya. Dengan cara ini, Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat dan menjadi sebuah cara pandang baru nan dianut oleh masyarakat di jaman kerajaan.
Di samping itu, peran dari raja Majapahit turut memberikan andil dalam perkembangan sejarah kebudayaan Islam di Jawa. Majapahit pada saat itu, merupakan sebuah kerajaan terbesar nan menguasai sebagian besar kawasan di nusantara serta memiliki pengaruh nan sangat kuat di Indonesia.
Prabu Kertawijaya, raja terakhir Majapahit memberikan kemudahan pada rakyatnya buat memeluk Islam setelah mendengar klarifikasi dari Sunan Ampel dan SUnan Giri. Keduanya menjelaskan bahwa antara Islam dan Hindu memiliki kecenderungan yaitu sebagai agama nan sama-sama menyembah pada Tuhan. Yang membedakan keduanya, ialah cara melakukan ibadah saja.
Itulah mengapa, setelah mendengar klarifikasi tersebut, Prabu Kertawijaya memberikan kemudahan pada rakyatnya. Mereka diberi kemudahan buat memeluk agama baruu tersebut. Hanya saja, dengan syarat bahwa agama baru tersebut harus diyakini dengan pencerahan serta tanpa adanya paksaan maupun unsur kekerasan dari pihak manapun juga.
Masa Penjajahan
Para pedagagn barat memiliki karakter berbeda dari pedagang Arab, Parsia maupun India nan memeluk Islam. Sebab, para pedagang barat ini selain melakukan misi perdagangan mereka juga bermaksud menyebarkan misi agama Kristen dengan cara kekerasan. Hal ini terutama dilakukan dengan mengedepankan keunggulan di bidang persenjataan.
Tujuannya ialah buat memonopoli bidang perdagangan di Indonesia nan memang dikenal kaya akan rempah-rempah. Meski demikian, di awal kedatangan para penjajah di Indonesia tersebut mereka belum terlalu ikut campur pada masalah agama Islam. Sebab, pengetahuan para pedagang barat pada Islam di saat itu masih sangat rendah disamping mereka juga belum mengenal sistem sosial Islam.
Itulah mengapa di tahun 1808, pemerintah Belanda membuat peraturan pada para bupati. Dimana para bupati ini diperintahkan buat tak mengganggu masalah keagamaan. Dan para pemuka agama juga diberikan keleluasaan buat memutuskan masalah di bidang perkawinan atau hak waris. Hal ini dipertegas dengan adanya anggaran nan dibuat pada tahun 1820.
Namun pada tahun 1867, pemerintah Belanda mulai turut ikut mencampuri masalah agama. Hal ini dilakukan dengan memberikan perintah pad apara bupati serta wedana, agar memberikan supervisi pada para ulama. Tujuannya, agar para ulama tersebut tak melakukan kegiatan apapun nan berseberangan dengan anggaran nan sudah ditetapkan oleh Gubernur Jendral.
Selanjutnya, di tahun 1882, peran dari para ulama semakin dibatasi. Hal ini dengan adanya peraturan bahwa para ulama hanya diberikan kewenangan buat mengurusi masalah eksklusif saja. Misalnya di bidang perkawinan, kewarisan, perwalian maupun masalah wakaf.
Keberanian pemerintah Belanda buat mengurusi masalah sosial nan berhubungan dengan Islam semakin konkret dengan datangnya Snouck Hurgronye, nan memang ditugaskan buat menjadi penasihat masalah Pribumi dan Arab. Hal ini sebab Snouck Hurgronye memiliki pengalaman masalah tersebut saat dirinya berada di Arab, Jawa maupun Aceh.
Masa Kemerdekaan
Di masa kemerdekaan ini, Islam tumbuh bukan hanya menjadi sebuah kekuatan moral dan budaya. Namun Islam sudah berkembang menjadi sebuah tolol ukur kekuatan politik tersendiri.
Pengakuan peran Islam di Indonesia sudah nampak pada rumusan pembukaan Undang-undang Dasar 1945 nan menjadi tongak pendirian sebuah bangsa. Di dalam rumusan tersebut, nafas Islam begitu mempengaruhi setiap sisi poin-poin primer pembukaan undang-undang tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, kekuatan Islam diwujudkan dengan munculnya banyak partai politik serta organisasi kemasyarakatan nan berlandaskan Islam. Bahkan jika dilihat dari sejarah pendirian beberapa organisasi tersebut, ada beberapa diantaranya nan didirikan sebelum Indonesia merdeka dan masih ada hingga saat ini serta menjadi kekuatan politik nan cukup memiliki pengaruh besar.
Beberapa organiassi nan berdiri sejak Indonesia belum merdeka dan masih ada hingga saat ini antara lain Nahdhatul Ulama nan didirikan pada 1926 dan Muhammadiyah nan berdiri pada 1912. Selain kedua organisasi tersebut masih ada beberapa organisasi kemasyarakatan Islam nan didirikan pada saat itu. Misalnya Jamiah Khair nan berdiri pada 1905, Persyarikatan Ulama (1911), Persatuan Islam (1920) dan Partai Arab Indonesia (1934). Namun organisasi nan tersebut setelah Muhammadiyah tersebut pada saat ini sudah tak lagi nampak keberadaannya.
Dua organisasi terbesar umat Islam, Nahdhatul Ulama serta MUhammadiyah pada saat didirikan memiliki pemikiran nan sama. Khususnya buat menghadapi masuknya perusakan aqidah nan dilakukan oleh penjajah pada rakyat nan masih awam terhadap agama. Itulah mengapa, Muhammadiyah nan didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan serta Nahdhatul Ulama nan didirikan oleh K.H Hastim Asy’ari manunggal membentuk sebuah lembaga.
Lembaga tersbeut diberi nama Majelis Islam A’la Indonesia atau Majelis Islam Tertinggi di Indonesia. Forum ini berdiri di Surabaya pada tahun 1937. Dengan adanya forum tersebut, maka umat Islam akan memiliki pandangan nan sama tanpa melihat asal usul mereka pada saat menghadapi penjajah.
Dan ketika Jepang masuk ke Indonesia forum ini kemudian dibubarkan dan berganti nama menjadi Masyumi atau Majelis Syura Muslimin Indonesia. Tujuan pembubaran tersebut ialah buat meningkatkan persatuan umat Islam di Indonesia. Selain itu, pemerintah Jepang berharap dengan pendirian forum ini maka umat Islam di Indonesia akan memberikan donasi kepada Jepang.