Lahirnya Konsep surealistik
Untuk dapat memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia, dibutuhkan orang-orang atau tokoh sastrawan nan dapat meningkatkan kualitas tulisan mereka. Baik itu melalui kesusastraan Indonesia maupun kesusastraan daerah.
Berikut akan kita bahas dua tokoh sastrawan Indonesia nan bergerak di bidang kesusastraan daerah dan kesusastraan Indonesia keturunan Tionghoa nan memberikan perbedaan makna lokal budaya mereka ke dalam karya sastra nan mereka ciptakan.
Posisi St.Iesmaniasita dalam Kesusastraan Indonesia
Kesusastraan Indonesia sangat dipengaruhi perkembangan kesusastraan daerah. Salah satunya kesusastraan Jawa. Kita patut menghargai para tokoh sastrawan Indonesia nan berasal dari berbagai daerah nan telah memberikan sumbangan karya buat perkembangan sastra Indonesia modern.
Salah seorang pengarang wanita nan dianggap sebagai tokoh sastrawan Indonesia wanita pertama dalam kesusastraan Jawa ialah St. Iesmaniasita. Banyak karyanya nan tersebar di kalangan masyarakat nan dipublikasikan lewat majalah-majalah berbahasa Jawa. Selain itu, karyanya diterbitkan pula dalam antologi cerita pendek. Hasil karya berbentuk sanjak (dalam bahasa Jawa disebut geguritan atau guritan), cerita pendek, dan novel.
Nama St. Iesmaniasita merupakan nama pena. Nama pena atau nama samaran ini lebih dikenal daripada nama aslinya. St. Iesmaniasita mempunyai nama orisinil Sulistyo Utami. Ia lahir di Terusan, Mojokerto (Jawa Timur), pada 18 Maret 1933. Pendidikan terakhirnya di IKIP jurusan Antropologi Kebudayaan.
Berdasarkan catatan para pengamat sastra, St. Iesmaniasita telah menulis 82 cerita pendek, 13 novel, dan sekitar 514 geguritan. Beberapa di antara tulisan tersebut dimuat di majalah-majalah dan kemudian diterbitkan kembali dalam bentuk buku kumpulan cerita pendek, campuran cerita pendek dan geguritan, serta antologi geguritan.
Hasil Karya Kesusatraan Jawa St. Iesmaniasita
Adapun beberapa buku hasil karya St. Iesmaniasita ialah sebagai berikut.
1. Kidung Wengi Ing Gunung Gamping (Nyanyian Malam di Gunung Gamping)
Buku tersebut diterbitkan Balai Pustaka pada 1958. Isinya terdiri atas 8 buah cerita pendek.
2. Kringet saka Tangan Prakosa (Keringat dari Tangan Perkasa)
Buku nan terdiri atas cerpen Tandure Ijo Kumlawe, Calon Ratu, Kringet saka Tangan Prakosa, Dinane Isih Riyaya, dan Atine Bocah ini diterbitkan oleh Yayasan Penerbitan Jaya Baya pada 1974.
3. Kalimput Ing Pedhut (Tersaput Kabut)
Buku ini merupakan gabungan cerita pendek dan geguritan. Jumlah cerita pendek dalam buku ini ada 3 buah, sedangkan geguritan berjumlah 20 buah. Antologi Kalimput Ing Pedhut ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1976.
4. Geguritan (Antologi Sajak-Sajak Jawa)
Antologi ini diterbitkan oleh Pustaka Sasanamulya Surakarta pada 1975. Dalam antologi ini St. Iesmaniasita tak sendirian, tetapi menampilkan karya-karya sastrawan lain seperti Anie Sumarno, Moeljono Soedarmo, Muryalelana, N. Sakdani, Priyanggono, Rachmadi K., Sl. Soeprijanto, Sujono, Susilomurti, Tamsir AS., Trim Sutidjo, dan TS. Argarini. Semua penyair tersebut merupakan penyair seangkatan dengan St. Iesmaniasita.
Selain keempat buku tersebut, St. Iesmaniasita masih mempunyai naskah kumpulan cerita pendek nan juga digabungkan dengan geguritan. Naskah tersebut diberi judul Lintang Ketiga (Bintang di Musim Kemarau). Cerita pendek nan terhimpun dalam buku tersebut berjumlah 6 buah dan geguritan berjumlah 18 buah.
Lahirnya Konsep surealistik
Dewasa ini, mitologi menjadi sebuah alat nan digunakan oleh kaum sastrawan buat mengeksplorasi tema dan amanat nan hendak dicapai. Contohnya, dalam karya Seno Gumira nan berjudul Kitab Omong Kosong dan Wisanggeni , karya Goenawan Mohammad dalam Asmaradana , dan pada karya Shindunata nan berjudul Putri Cina dibeberkan banyak fakta-fakta mitologi nan kemudian melahirkan bentuk baru sebuah karya sastra.
Bentuk baru itu ialah konsep surealis nan menerangkan peristiwa-peristiwa nan mungkin konkret sengaja dipadu dengan keyakinan dan metafora nan takmesti sepenuhnya logis, atau biasa kita sebut dengan mitos atau mitologi.
Dalam Putri Cina , mitologi Cina dan Jawa merupakan bahan dasar nan digunakan Shindunata buat menguak fakta sejarah nan dialami kaum Cina di Tanah Jawa. Beberapa kerajaan di dalamnya, satu di antaranya ialah kerajaan Medang Kemulan, merupakan representasi sistem pemerintahan pada zaman Orde Baru.
Di sana dijelaskan bagaimana Prabu Amurco Sabdo nan seorang pemimpin menjadikan kaum Cina sebagai tumbal buat dijadikan wacana sebagai karena kebobrokkan masyarakat sehingga pada akhirnya kaum Cina menjadi bulan-bulanan nan secara serentak dijadikan objek pembabibutaan massa.
Hal tersebut serupa dengan peristiwa nan terjadi pada zaman pemerintahan Soeharto; ketika masyarakat Cina dirampok, diperkosa, dan dibunuh oleh rakyat pribumi sebab rakyat pribumi merasa kebahagiaan materi nan seharusnya didapatkan oleh mereka malah jatuh ke tangan masyarakat Cina nan notabenenya merupakan kaum pendatang. Apalagi, sebelumnya Indonesia pernah dijajah oleh masyarakat Cina.
Dalam hal ini, mitos menjadikan karya Sastra tak lagi menjadi fiksi nan membeberkan fakta, atau fakta nan diselipkan fiksi, melainkan sebuah bentuk karya nan baru, yakni penggabungan bersifat janggal antara fiksi dan fakta sejarah.
Di sini pula, agama tak lagi dijadikan sebagai sebuah panutan nan absolut mesti dipatuhi aturannya, seperti terdapat dalam kutipan ' Ia tidak mau lagi ke sana, sebab tidak ingin mengabdi kepada raja nan lain agamanya dengan dia.' (Shindunata,28) nan kemudian dipatahkan oleh kata ' MasyaAllah' yang keluar dari mulut Putri Cina nan sama seklai bukan merupakan kaum muslim, karena dalam bab selanjutnya dijelaskan kalau Putri Cina ialah seorang penganut agama Budha nan bersembahyang di Kelenteng. (Shindunata, 73)
Hal tersebut tentu saja membuktikan bahwa mitos menjadikan fakta menjadi kabur, begitu juga sebaliknya, fakta dapat saja mengubah mitologi. Seperti dalam novel Putri Cina ini, zaman tak lagi menjadi senyata zaman sekarang sebab di dalam novel tersebut diceritakan banyak hal nan berbau kekinian, seperti pendeskripsian kendaraan-kendaraan nan dibakar atau sistem pemerintahan nan hipokrit, sedangkan latar waktu nan dipakai ialah zaman lampau (zaman kerajaan) sehingga tak ada lagi batas antara logis dan nonlogis seperti nan biasa kita saksikan dalam novel-novel tanpa mitologi.
Di sisi lain, menurut Bambang Sugiharto, pola mitik ini membawa risiko lain juga. Dalam gaya tutur mitik nan cenderung deskriptif lugu, kekuatan puitik dan plastisitas bahasa Shindu jadi kurang tampil optimal, kendati pelukisan-pelukisan surealistiknya masih agak menolong.
Dan tak tergarapnya perkembangan karakter personal sebagai konsekuensi pola mitik, serta penokohan putri Cina sebagai simbol universal nan 'anonim', menyulitkan pembaca beridentifikasi secara afektif dengan satu tokoh, dan ini menyebabkan pembaca takbisa sungguh larut secara emosional dalam dinamika hayati batin si tokoh. Novel tersebut hanya dapat membawa pembaca ke dalam sebuah alam, loka mitos dan fenomena historis sedemikian bersinggungan. Sejarah seakan hanyalah panggung, loka mitos mementaskan dirinya.
Mitologi Menjadikan Karya Bersifat Filosofis
Melihat hal-hal tersebut, aku menjadi berpendapat bahwa karya sastra dengan banyak konsep mitologi di dalamnya hanya dapat menjadi karya nan sifatnya filosofis sehingga membuat pembaca mampu mendapatkan perenungan-perenungan dan kritik-kritik terhadap kehidupan konkret tanpa membiarakan perasaan afektifnya muncul sebagai dampak nan biasanya timbul dari alur karya sastra.
Sebab jika alur cerita tersebut diharapkan bisa memicu emosi pembaca, kemungkinannya sangat kecil hal ini bisa tercapai, karena pada fiksi mitologis, cerita-cerita berbau mitos nan dipaparkan menjadi tak kronologis karena dikaburkan oleh fakta sejarah nan dikehendaki sang pengarang.
Novel dengan konsep mitologis juga biasanya merupakan sebuah karya nan hendak menguak bukti diri eksklusif sehingga biasa menimbulkan konvensi masyarakat tentang tokoh nan dibicarakan.
Seperti dalam karya Asmaradana , Damar Wulan bukan lagi merupakan sosok lelaki nan setia terhadap cinta Anjasmara, melainkan telah menjadi ksatria nan rela berkorban demi kepentingan negaranya sehingga ia rela meninggalkan isterinya nan begitu setia padanya.
Sama halnya dengan konsep Gurdo Paksi dalam Novel Putri Cina yang sangat mementingkan keamanan negaranya sehingga ia lalai menjalankan tugasnya sebagai suami Giok Tien.
Sementara itu, novel ini pun ( Putri Cina ) memberikan pilihan kepada pembaca buat lebih merenungkan banyak hal nan bertengger di balik kisah-kisah mitologinya daripada mengusahakan pembaca agar lebih merasai apa nan dirasakan si tokoh dalam novel tersebut.
Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa karya sastra fiksi dengan mitologis dan fakta di dalamnya mampu membentuk sebuah konsep baru dari karya sastra, yakni karya sastra surealistik.