Abdul Qadir Al-Jaelani
Apakah Anda mengenal tokoh Sufi nan paling berpengaruh? Tasawwuf ialah sebuah jalan nan dipilih buat menemukan Tuhan dan hakikat kehidupan. Orang nan bergelut di bidang tasawwuf disebut Sufi. Sufi ialah orang nan merelakan segala pikiran dan kehidupannya hanya buat mengejar sesuatu nan bersifat keilahian (ketuhanan).
Istilah keagamaannya ialah taroka ad-dun'ya wa hubbu al-akhirat nan berarti meninggalkan hal-hal nan bersifat duniawi buat mengejar hal-hal nan berhubungan dengan hari akhir atau akhirat, yaitu global setelah kematian. Jalan nan ditempuh oleh para sufi ialah jalan nan penuh makna, sarat cobaan dan tantangan. Jika lemah iman, kita akan terhenti di tengah jalan.
Jika sudah menentukan bahwa jalan kita ialah tasawwuf, kita harus benar-benar meninggalkan segala sesuatu nan bersifat duniawi sebab hakikatnya global ini hanyalah loka singgah sementara. Akhiratlah tujuan akhir kita.
Banyak sekali tokoh sufi nan sangat termashur dalam global kesufian. Umumnya, mereka ialah para sufi nan tak hanya mencari atau menempuh jalan sufi buat dirinya sendiri, tetapi mengamalkan ilmunya kepada orang-orang nan hayati sesudah masanya sehingga namanya tetap hayati walaupun mereka sudah tiada. Berikut ini ialah beberapa tokoh sufi nan termashur.
Jalaluddin Rumi
Maulana Jalaluddin Rumi lahir di Afghanistan pada 1207 M. Rumi menghabiskan masa kecilnya dengan menimba ilmu ke berbagai negara, di antaranya Baghdad, Arab, Turki, Suriah, dan negara-negara lainnya. Jalaluddin Rumi ialah seorang tokoh sufi nan berasal dari Persia. Beliau ialah penyair sufi dan penyair terbesar dari Persia.
Karya-karyanya sangat banyak dan holistik karyanya tersebut berisi muatan nilai ketuhanan nan dituangkannya secara puitis. Selain itu, beliau mengajarkan bagaimana seharusnya kehidupan manusia itu berjalan. Jalaluddin Rumi terkenal sebagai empunya tarian sufi nan sangat terkenal di Timur Tengah hingga saat ini.
Al-Gahzali
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali. Lahir di Thus (Persia) sekitar 1058 M. Beliau diberi gelar nan sangat istimewa sebab kedalaman ilmunya. Gelar tersebut ialah "Hujjatul Islam". Al-Ghazali mengarang banyak sekali kitab.
Kitab-kitab al-Ghazali banyak nan menjadi pelajaran wajib di pesantren-pesantren Indonesia. Di antara kitab-kitabnya nan termashur ialah Ihya' Ulumuddin, nan menjadi pegangan primer para santri di Indonesia.
Abdul Qadir Al-Jaelani
Syekh Abdul Qadir al-Jaelani ialah salah satu tokoh sufi termashur di dunia. Beliau lahir di Baghdad pada 1077M. Beliau ialah keturunan Rasulullah SAW. Syekh Abdul Qadir al-Jaelani merupakan tokoh nan diagungkan pada masanya. Beliau sangat disegani oleh para ulama, syekh, maupun pakar agama.
Beliau mempunyai karisma nan sangat tinggi. Kedalaman dan keluasan ilmunya membuat beliau selalu disebut-sebut dalam setiap doa umat Islam. Bahkan, hingga saat ini.
Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari
Nama lengkapnya ialah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Sejak kecil, tokoh sufi Ibnu Atha’illah ini dikenal getol belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya nan paling dekat ialah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama nan produktif. Tak kurang dari 20 karya nan pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu nan paling terkenal ialah kitab Al-Hikam . Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya nan ditulis ialah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad . Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hayati dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam obrolan nan berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah ialah sosok ulama nan tak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok nan dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang nan meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang nan ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah nan pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya primer Ibnu Atha’illah, nan sangat populer di global Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan primer di hampir seluruh pesantren di Nusantara. Adapun pemikiran-pemikiran dalam tarikatnya adalah:
- Pertama, tak dianjurkan kepada para muridnya buat meninggalkan profesi global mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan nan layak dalam kehidupan nan sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
- Kedua, tak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia ialah salah satu tokoh sufi nan menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf nan berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf nan dikenal cukup moderat.
- Ketiga, zuhud tak berarti harus menjauhi global sebab pada dasarnya zuhud ialah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Global nan dibenci para sufi ialah global nan melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan global ialah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan nan tidak kunjung habis, dan hawa nafsu nan tidak kenal puas.
- Keempat, tak ada halangan bagi kaum salik buat menjadi miliuner nan kaya raya, asalkan hatinya tak bergantung pada harta nan dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tak bersedih ketika kehilangan mal dan tak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
- Kelima, berusaha merespons apa nan sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual nan dialami orang nan hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif nan banyak dialami para salik.
- Keenam, tasawuf ialah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sinkron dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek krusial yakni berakhlak dengan akhlak Allah Swt, senantiasa melakukan perintah-Nya, bisa menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
- Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat ialah salah satu tujuan dari tasawuf nan bisa diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang nan akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan bisa diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Abu Nawas
Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu nan asing. Abu Nawas dikenal terutama sebab kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia ialah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hayati di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).
Selain cerdik, tokoh sufi ini juga dikenal dengan kenyentrikannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan ruhaniahnya nan sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai taraf spiritual nan cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi nan tiada banding.
Masa mudanya penuh nan kontroversi nan membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh nan unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa humanisme dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.