Depdiknas dalam Proses Panjang Pendidikan
Jembatan ‘Indiana Jones’ nan ada di Lebak, Banten, seolah menggetarkan global pendidikan dan pembangunan di Indonesia. Beritanya nan sudah sampai ke manca negara dan dicuplik oleh beberapa kalangan sebagai pembuka seminar atau diskusi nan berkaitan dengan pendidikan, belum juga membuat jembatan tersebut dibenahi. Di mana Depdiknas ?
Pihak Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) sendiri mungkin tak dapat berbuat apa-apa sebab pembangunan jembatan tersebut harus menunggu aturan pembangunan daerah Lebak nan termasuk salah satu daerah tertinggal. Semua pihak nan peduli juga baru dapat mampu memompakan semangat buat segera ada tindakan dari pihak pemerintah. Pihak pemerintah daerah juga bukannya tak ada usaha tapi memang mekanisme penerimaan dana masih agak panjang dan penuh birokrasi. Bila aturan buat renovasi gedung DPR cepat sekali cair, mengapa aturan buat sebuah jembatan nan masih berada tak terlalu jauh dari Jakarta harus menunggu lama?
Banyak hal nan tak dimengerti oleh masyarakat bahwa pengucuran dana tersebut butuh waktu dan banyak meja nan harus dilalui. Sebagai pihak nan termasuk bertanggung jawab terhadap pendidikan pihak Depdiknas tentunya tak tinggal diam. Keterbatasanlah nan membuat Depdiknas seolah mandul dalam menyikapi keadaan infrastruktur wahana pendidikan termasuk wahana nan mendukung pendidikan seperti jembatan nan ada di Lebak tersebut. Melihat kondisi Indonesia saat ini, perjuangan mendapatkan pendidikan bukan saja dialami oleh anak-anak di Lebak, Banten tapi juga hampir di seluruh pelosok negeri.
Dalam buku Indonesia Mengajar terlukislah betapa masih banyak anak negeri nan belum banyak tersentuh pendidikan modern nan mencerahkan. Tugas Depdiknas memang tak ringan. Perkembangan dan akselerasi pendidikan dimasing-masing wilayah tak sama dan membutuhkan begitu banyak pemikiran, tenaga, dan biaya dari Depdiknas. Pengaruh teknologi dan akulturasi budaya nan semakin tinggi di beberapa tempat, juga membuat perubahan budaya dan pergeseran nilai-nilai. Hal ini juga menjadi pemikiran pihak Depdiknas. Apapun itu asalkan pihak Depdiknas tak diam melihat semua kenyataan tersebut, itu artinya masih ada asa perubahan nan lebih baik ke depannya.
Depdiknas - Depdiknas Bukan Dewa Sakti
Depdiknas bukan dewa pendidikan bertangan sakti dan dengan tangan saktinya dapat mengubah semua benda menjadi emas permata sehingga dengan emas permata itu, dana pendidikan didapatkan. Depdiknas bukan dewa seperti kisah imajinatif itu. Depdiknas berusaha membuat peraturan nan berkaitan dengan pendidikan. Misalnya, maraknya pendidikan inklusi nan berkaitan dengan anak-anak berkebutuhan spesifik atau semakin banyak orang tua nan tak mengirim anak mereka ke sekolah formal melainkan menjalankan homeschooling atau sekolah rumah.
Untuk menanggapi kedua hal tersebut, pihak Depdiknas membuatkan acuan dan panduan pendidikan agar anak-anak tak menjadi korban dan agar orang tua paham bagaimana menyikapi kebutuhan pendidikan anak sekaligus memenuhi sertifikat atau ijazah nan dibutuhkan anak dikemudian hari. Kolaborasi antara orang tua nan menjalankan rumah sekolah dan Depdiknas tersebut benar-benar tertuang dalam warta acara nan berkaitan dengan apa-apa nan menjadi kewajiban Depdiknas dan apa-apa nan menjadi kewajiban pihak orang tua sebagai penyelenggara pendidikan.
Artinya pihak Depdiknas telah cukup mengerti dan mau memahami kebutuhan acara penyelenggaraan pendidikan nan diselenggarakan oleh masyarakat. Banyaknya ruang kelas nan tak layak sebagai loka belajar, bukannya tak menjadi pemikiran Depdiknas. Namun keterkaitan pembangunan tersebut dengan pembangunan nan ada di daerah masing-masing juga menjadi hal nan kadang menghambat penanganan ruang-ruang kelas bermasalah tersebut. Menurut warta akan ada 141 ribuan ruang kelas nan akan dibenahi. Diharapkan bahwa kualitas ruang kelas tersebut memenuhi baku sehingga tak lapuk sebelum waktunya.
Depdiknas bekerja sama dengan pihak sekolah berusaha menjadi pengawas pembangunan tetapi memang agak sulit bila supervisi nan ketat itu tak diiringi oleh niat baik pihak pemborong nan telah ditunjuk sebagai pelaksana pembangunan. Banyak nan berpikir sinis dan menyalahkan pihak Depdiknas nan telah membuat kurikulum nan kurang sahih sehingga produk pendidikan di Indonesia banyak nan menjadi koruptor. Acuan keberhasilan nan dinilai dengan angka telah membuat otak manusia Indonesia menilai segala sesuatu dari angka.
Keadaan ini membuat banyak orang gelap mata dan akhirnya membeli angka. Guru, orang tua dan murid termasuk para pegawai nan ada di Depdiknas pada akhirnya bermain dengan angka. Angka inilah nan sering dipandang sebagai momok pendidikan. Kecerdasan seseorang dinilai dengan angka. Kelulusan juga dinilai dengan angka. Semua mengacu kepada angka. Depdiknas memahami hal ini dan terus berupaya mengubah kerangka berpikir angka ini. Sebagian sekolah telah berusaha buat tak memberikan evaluasi kepada anak berdasarkan angka saja tetapi acuan evaluasi seperti ini juga masih mengandung kekurangan.
Terkadang pihak guru agak kesulitan menjabarkan keberhasilan anak melalui kata-kata nan lugas dan tak menyakitkan anak ataupun orang tua. Hal ini sebab apa nan digambarkan dengan angka terkadang agak jauh berbeda dengan apa nan digambarkan lewat kalimat. Memang masih jauh perjalanan menuju pendidikan nan mencerahkan. Pihak Depdiknas bukannya tak berpikir keras bagaimana membuat pendidikan di Indonesia benar-benar mencerahkan dan memanusiakan manusia.
Adanya perubahan dalam hal nan berkaitan dengan ujian nasional ialah bukti bahwa pihak Depdiknas tak diam melihat kenyataan nan berkembang di masyarakat. Adanya 5 jenis soal nan berbeda, proses evaluasi terhadap anak nan telah diubah, acuan kelulusan anak dengan kerangka berpikir baru ialah hal-hal nan terus dipantau dan diperbaiki oleh pihak Depdiknas. Sertifikasi guru dan tuntutan agar guru terus belajar dan meningkatkan kualitas keilmuannya ialah hal lain nan terus dipantau oleh pihak Depdiknas.
Kalau diawal-awal aplikasi sertifikasi guru masih banyak hal nan harus dibenahi, sekarang pihak Depdiknas memperketat semua hal nan berkaitan dengan sertifikasi guru ini. Berbagai kecurangan memang terus ditemukan. Tapi hal itu bukannya sesuatu nan harus menghentikan langkah mencapai sesuatu nan lebih baik. Pihak Depdiknas merasa bertanggung jawab membenahi semua itu walaupun secara bertahap. Depdiknas bukan dewa sakti dalam cerita khayal. Proses panjang pendidikan harus dilalui dengan tahapan nan terukur dan terlihat perubahannya walau memakan waktu lama.
Depdiknas dalam Proses Panjang Pendidikan
Semua pihak menyadari bahwa pendidikan ialah proses panjang nan melalui banyak onak dan duri. Depdiknas dengan orang-orang cerdas nan mempunyai pandangan visioner terus berusaha membuat arah pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik dan sanggup bersaing dengan produk pendidikan dari negara lain. Apa nan sekarang terjadi dengan semakin naiknya pamor sekolah-sekolah kejuruan ialah hasil dari proses nan panjang dari apa nan telah dikerjakan oleh pihak Depdiknas bekerja sama dengan banyak pihak nan mempunyai visi dan misi nan sama.
Produk-produk nan telah dihasilkan oleh SMK tersebut cukup membanggakan dan keberhasilan ini tak dapat dilihat sebagai keberhasilan pihak sekolah saja. Depdiknas berperanan krusial di sana. Adanya RSBI dan SBI atau sekolah-sekolah berstandar internasional nan diharapkan dapat mempercepat peningkatan mutu pendidikan ialah salah satu upaya Depdiknas menyejajarkan mutu pendidikan di Indonesia dengan mutu pendidikan di negara lain nan lebih maju. Walaupun sekarang RSBI dan SBI malah menjadi momok dan cibiran dari banyak pihak, Depdiknas tetap konfiden bahwa ada alur nan baik dari keberadaan RSBI dan SBI tersebut.
Apapun nan berkaitan dengan pendidikan memang bukan proyek Sangkuriang atau proyek Bandung Bondowoso. Proyek pendidikan ialah proyek nan membutuhkan waktu seumur hidup. Selama pemugaran dan perubahan ke arah nan lebih baik tetap dilakukan, apapun nan telah dilaksanakan oleh Depdiknas dan pihak-pihak nan berkaitan dengan pendidikan, patut dihargai walaupun tetap dikritisi.