Tradisi Jemput Marapulai

Tradisi Jemput Marapulai

Bali dikenal sebagai Pulau Dewata nan merupakan salah satu loka wisata terbaik di Indonesia, bahkan di dunia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Denpasar merupakan ibu kota provinsi nan terletak di bagian selatan Pulau Bali. Mayoritas pemeluk agama di Bali merupakan umat Hindu.

Hal ini bisa dilihat dari setiap arsitektur bangunan maupun gedung-gedung nan terdapat di seluruh penjuru Bali. Terlihat adanya perpaduan unsur Hindu di setiap desainnya. Selain itu, kebudayaan Hindu nan sudah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali dirasakan pula sebagai suatu unsur nan memperkuat adanya pencerahan akan rasa memiliki dan melestarikan setiap adat serta tradisi yang ada di Bali.

Salah satu tradisi kebudayaan di Bali nan terkenal adalah Ngaben. Bagi masyarakat Bali, Upacara Ngaben merupakan momen bahagia. Sebab dengan melaksanakan Ngaben, anak-anak atau orang tua telah melaksanakan kewajibannya sebagai anggota keluarga.

Bagi anak-anak nan telah dewasa, Upacara Ngaben dianggap sebagai salah satu bentuk terima kasih kepada orang tuanya nan meninggal. Oleh karena itu, bagi sanak keluarga nan ditinggalkan, Upacara Ngaben disambut dengan suka cita, jauh dari isak tangis. Sebab mereka percaya, isak tangis hanya akan menghambat perjalanan roh menuju nirwana.

Namun, tak semua orang nan meninggal bisa langsung di-aben. Ada juga nan dikubur terlebih dahulu sebab alasan belum memiliki cukup biaya. Upacara ini memang membutuhkan biaya nan cukup besar (mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah) sebab pelaksanaannya memerlukan berbagai perangkat upacara (upakara).

Oleh karena itu, Upacara Ngaben boleh dilaksanakan beberapa tahun setelah seorang sanak keluarga meninggal. Bahkan buat menghemat biaya, Ngaben juga dapat dilaksanakan secara massal.



Tradisi Pangkas Gigi di Bali

Kali ini aku akan membahas tentang tradisi lain di Bali nan juga unik, yaitu tradisi pangkas gigi di Bali. Pada praktiknya, mereka tak sahih benar memotong gigi, tetapi mengikir atau mengasah atau meratakan gigi depan mereka.

Di dalam Lontar Dharma Kahuripan, Ekapratama, dan Lontar Puja Kalapati, upacara pangkas gigi disebut " atatah". Sampai kini ada tiga istilah di Bali nan lazimnya digunakan buat menyebut Upacara Pangkas Gigi, yaitu "matatah", "mepandas", "mesangih".

Kata " atatah" berarti pahat. Istilah matatah ini dihubungkan dengan suatu tata cara aplikasi upacara pangkas gigi yaitu kedua taring atas dan empat gigi seri pada rahang atas dipahat tiga kali secara simbolis sebelum pengasahan (perataan) giginya dilakukan lebih lanjut. Rupanya dari hal itulah muncul istilah matatah.

Mengenai istilah "Mesangih", rupanya dimunculkan dari mengasah gigi seri dan taring atas dengan pengasah yaitu kikir dan sangihan - pengilap, sehingga gigi seri dan taring menjadi rata dan mengkilap. Kata mesangih ialah bahasa Bali biasa dan Bali halusnya disebut Mepandes. Maka dari itulah muncul tiga istilah upacara pangkas gigi di Bali.

Upacara pangkas gigi merupakan salah satu bagian dari upacara Manusa-Yadnya nan patut buat dilaksanakan oleh umat Hindu. Upacara ini mengandung pengertian nan dalam bagi kehidupan umat Hindu, yaitu sebagai berikut.

  1. Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia nan telah mendapatkan pencerahan, sinkron dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya nan artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab kudus Bhagavadgītā.
  2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, sebab telah memperoleh kesempatan buat beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakikat penjelmaan sebagai umat manusia.
  3. Secara spiritual, seseorang nan telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila nan bersangkutan meninggal dunia, Ātma nan bersangkutan akan berjumpa dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).

Dari pengertian ini didapatlah bahwa upacara pangkas gigi ialah suatu upacara krusial dalam kehidupan umat Hindu, sebab bermakna menghilangkan kotoran diri (nyupat) sehingga menemukan hakikat manusia sejati dan terlepas dari belenggu kegelapan, pengaruh Sad Ripu dalam diri manusia.

Dalam kepercayaan masyarakat Bali, upacara adat metatah bertujuan membunuh enam musuh dalam diri manusia nan dianggap kurang baik bahkan sering dianggap sebagai musuh dalam diri sendiri. Enam musuh itu nan disebut dengan Sad Ripu, meliputi hal-hal berikut.

  1. Kama (hawa nafsu nan tak terkendalikan).
  2. Loba (ketamakan, ingin selalu mendapatkan nan lebih).
  3. Krodha (marah nan melampaui batas dan tak terkendalikan).
  4. Mada (mabuk nan membawa kegelapan pikiran).
  5. Moha (kebingungan dan kurang mampu berkonsentrasi sehingga seseorang tak bisa menyelesaikan tugas dengan sempurna).
  6. Matsarya (iri hati atau dengki nan menyebabkan permusuhan).

Upacara pangkas gigi nan biasa dilakukan masyarakat Bali bertujuan untuk:

  1. menghilangkan kotoran diri dalam wujud kala, bhuta, pisaca, dan raksasa dalam arti jiwa dan raga diliputi oleh tabiat Sad Ripu sehingga bisa menemukan hakikat manusia nan sejati;
  2. untuk bisa berjumpa kembali dengan bapa dan ibu nan telah berwujud suci;
  3. untuk menghindari sanksi di dalam neraka nanti nan dijatuhkan oleh Bhatara Yamadipati berupa menggigit pangkal bambu petung; serta
  4. untuk memenuhi kewajiban orang tua kepada anaknya buat menjadi manusia nan sejati.

Prosesi pangkas gigi hanya merupakan simbolisasi saja. Gigi nan ada bukan dipotong tetapi diratakan dengan menggunakan kikir. Ada 6 gigi atas nan diratakan, termasuk gigi taring, ke enam gigi inilah nan melambangkan Sad Ripu.

Hanya memakan waktu sekitar 10-15 menit buat melakukan prosesi ini, dan nan melakukannya haruslah seorang nan pakar nan disebut sangging. Para sangging biasanya orang nan telah diinisiasi menjadi Pinandita nan memang memiliki keterampilan buat itu.

Tata cara dalam aplikasi upacara pangkas gigi ialah sebagai berikut.

  1. Yang diupacarai terlebih dulu mabhyakala dan maprayascita. Mabhyakala adalah suatu upacara dengan mempersembahkan sesaji, nan biasa dilakukan umat Hindu Bali pada hari-hari krusial dalam hidupnya, seperti meotonan (memperingati hari kelahiran sinkron kalender Bali, 6 bulan sekali), metatah, dan sebelum menikah. Sementara maprayascita adalah mensucikan diri, barang, ruangan dengan menggunakan wahana banten (sesajen).
  2. Setelah itu, dilanjutkan dengan muspa (mencangkupkan telapak tangan dan menempelkan pada kening) ke hadapan Siwa Raditya (Perwujudan Sang hyang widhi sebagai pelebur) memohon kesaksian.
  3. Selanjutnya naik ke loka upacara menghadap ke hulu. Sangging mengambil cincin nan dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha, barulah kemudian diperciki tirta pesangihan.
  4. Upacara dilanjutkan dengan para sanggih mensucikan peralatannya.
  5. Orang nan diupacarai diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah. Metatah atau memotong/mengasah dua buah taring dan empat buah gigi seri pada rahang atas. Bila sudah dianggap cukup, diberi pengurip-urip.
  6. Setelah itu, orang nan diupacarai dipersilakan berganti baju buat kemudian melakukan serangkaian sembahyang.

Setelah melaksanakan upacara metatah, terdapat pantangan nan berkaitan dengan mitos-mitos nan dipercaya masyarakat Bali. Misalnya, dilarang keluar rumah selama 3 hari dan dilarang ke dapur selama 3 hari pula. Terdapat beberapa kepercayaan tentang pantangan ini. Berkaitan dengan pantangan pergi ke dapur, secara logika juga masuk akal.

Jika orang nan baru saja melakukan metatah, tak diperbolehkan makan berbagai makanan nan justru bermacam jenisnya dihidangkan layaknya rumah nan baru saja melaksanakan hajatan. Karena setelah dikikir, tentunya gigi menjadi lebih ringkih dan sensitif.



Tradisi Membeli Lelaki dalam Adat Minang

Setiap daerah memiliki majemuk tradisi sendiri-sendiri, nan disebut juga adat istiadat. Biasanya, adat itu dipakai dalam berhubungan dengan sesama kerabat, sesama daerah, dan nan sering dipakai oleh kebanyakan masyarakat ialah dalam pernikahan.

Pernikahan dianggap dapat mewakili tradisi dan adat istiadat. Sampai saat ini, pernikahan lah nan dijadikan simbol adat. Hal itu disebabkan pernikahan diberbagai loka memiliki corak nan berbeda-beda.

Jika menikah pada satu loka dan nan menikah tersebut berasal dari daerah, mempelai tersebut akan menggunakan adat nan sinkron dengan tradisi di daerah kelahirannya atau kelahiran orangtuanya. Misalnya, pernikahan orang Padang di daerah Jakarta. Orang padang tersebut tentu tak akan mengenakan baju adat Betawi sebagaimana tempatnya tinggal saat itu, tapi dia akan mengenakan baju pernikahan adat Minang.

Berbicara tentang orang Minang nan kebanyakan pergi merantau ke berbagai tempat, mereka selalu membawa tradisi mereka di mana pun mereka berada. Selalu ada perkumpulan-perkumpulan orang Minang, hampir di seluruh penjuru negeri.

Hal itu menandakan betapa banyaknya orang-orang Minang nan tersebar. Sebut saja kota Jakarta, Bandung, Surabaya, bahkan di kota seperti Yogya pun orang Padang selalu ada.

Uniknya lagi, walau mereka menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, mereka tak pernah menghilangkan karakteristik khas mereka sebagai orang Minang. Bahasa mereka tak pudar, tata cara dan tradisi mereka tetap melekat, dan nan terpenting, perasaan kekeluargaan mereka sebagai orang Minang inheren kuat dan saling berhubungan. Begitu latif persatuan nan ditimbulkan dari kekuatan adat.

Orang Minang pun sebenarnya terdiri dari beberapa suku nan juga berbeda. Mereka juga memiliki adat spesifik nan berbeda. Orang Solok dan orang bukit tinggi berbeda. Namun, dalam adat kebudayaan secara garis besar sama. Mungkin hanya bhineka sedikit.

Sebenarnya, nan paling unik ialah adat pernikahan orang Minang dari Pariaman. Mereka berbeda sendiri, terutama dalam tradisi jemput marapulai . Artinya, menjemput pihak mempaelai pria. Secara harfiah, berarti membeli laki-laki. Wah, kok dapat ya?



Tradisi Jemput Marapulai

Ada asumsi bahwa laki-laki Pariaman laki-laki jualan. Mengapa begitu? Karena ketika mereka menikah, pihak perempuan lah nan membeli mereka. Hal ini berbeda dengan adat-adat lain nan ada di Indonesia, bahwa seharusnya mahar atau seserahan diberikan pihak laki-laki pada perempuan.

Akan tetapi, buat tradisi ini, terutama adat pernikahan ala Minang Pariaman, justru perempuan lah nan memberikan sejumlah uang kepada pihak laki-laki. Sebutannya bukanlah mahar sebab mahar tetap harus diberikan laki-laki kepada pihak perempuan. Namun, jumlah pemberian perempuan tersebut dapat dijadikan mahar.

Nilai seorang laki-laki ketika menikah pun tak sama tiap orang. Biasanya, bergantung dari kadar prestasi, pendidikan ataupun kekayaannya. Bila laki-laki tersebut kaya, harga jemputannya dapat melambung tinggi.

Pendidikan tinggi juga berpengaruh pada harga jemputan. Bayangkan kalau nan harus dijemput seorang laki-laki dengan pendidikan tinggi dan kaya, maka maharnya dapat ratusan juta. Rasanya tak masuk akal bila sampai harus menjemput laki-laki dengan jumlah sebesar itu.

Karena adat ini, sering pihak laki-laki dan wanita nan sudah saling mencintai tak dapat bersanding sebagai suami istri sebab tak adanya kata sepakat dengan para mamak pihak laki-laki. Ada juga pihak laki-laki nan kemudian bekerja sama dengan pihak wanita buat membayar lima puluh-lima puluh harga jemputan agar pernikahan dapat terlaksana.

Dalam ada Minang Pariaman, keputusan keluarga besar terhadap lamaran dan pernikahan amat sangat penting. Dalam waktu lamaran, ketika mamak dari pihak wanita menawar dan mamak dari pihak laki-laki bersikeras, dan tak menemukan titik temu, pernikahan nan sekiranya akan dilaksanakan dapat gagal total. Tidak terbayang berapa kesedihan nan harus ditanggung pasangan nan saling tertarik tersebut.



Tradisi Jemput nan Menyusahkan

Karena sistem beli laki-laki inilah, seringkali wanita nan tak memiliki kekayaan, atau hanya hayati seadanya minder dan tak berani mencari laki-laki dengan kehidupan nan lebih baik. Sebab itu, kebanyakan laki-laki nan memiliki kekayaan pastinya akan mendapatkan pasangan nan kaya juga. Hal itu disebabkan harga jualnya hanya dapat dibeli oleh pihak wanita nan kaya.

Namun, ada juga laki-laki Minang nan kemudian mencari wanita kaya buat dapat menumpang sukses. Adat menjemput ini dijadikan sebagai daya tawar terhadap diri laki-laki.

Akibat adanya adat tersebut, nan terlihat ialah sikap mata duitan. Misalnya, seorang wanita memiliki anak laki-laki, nan terbayang ialah menerima uang pemberian dari pihak wanita dan menganggap ketika memiliki anak wanita beban sebab harus mengeluarkan uang. Tradisi jemput nan sesungguhnya akhirnya bergeser dari tujuan sebenarnya.

Sebenarnya, tujuan jemput marapulai ini ialah demi menghargai keluarga laki-laki sebab ketika seorang laki-laki masuk ke dalam keluarga istrinya, maka sifatnya akan permanen. Karena adat Minang menganut sistem matrineal, yaitu sistem nan mengurut ke arah garis ibu, makanya dalam pernikahan para laki-laki masuk ke dalam keluarga wanita dan menjadi bagian darinya.

Uang jemputan itu pun fungsinya buat membantu pihak laki-laki jika ingin membuat pesta lagi. Niat nan baik ini bergeser nilai dampak sikap matrealistis dari para laki-laki Minang. Seolah tak memiliki harga diri, mereka melambungkan harga mereka setinggi-tingginya dan melupakan dasar kewajiban seorang laki-laki.

Beberapa di antaranya nan mengerti harkat dari adat dan tradisi menghormatinya, namun beberapa memberontak sebab tak suka denganadat Minang nan satu ini. Para lelaki nan merasa memiliki harga diri merasa bahwa adat membeli malah menjatuhkan diri mereka sebagai pihak nan meminta dan membuat mereka melenceng dari adat, bahkan memilih keluar dengan tak menikahi wanita dari Minang Pariaman.



Pro dan Kontra Tradisi Jemput Marapulai

Terlepas dari baik dan buruknya adat ini, pastinya ada karena mengapa dia muncul. Namun, harus dicatat dengan baik. Tradisi ini hanya berlaku bagi wanita dan laki-laki dari Kota Pariaman. Di luar ini, adat ini sama sekali tak berlaku, dan mentah.

Bila ada laki-laki Pariaman kebetulan akan menikahi gadis dari Kota Solok. Tadisi ini jadi mentah. Sering pihak mamak dari laki-laki menolak buat meniadakan adat ini dan memaksa pihak perempuan mengikuti cara mereka, kalau tak pernikahan bubar.

Tapi, berbeda dengan perempuan Pariaman. Bila perempuan Pariaman akan menikah dengan laki-laki padang diluar Pariaman, pihak perempuan menolak buat memakai tata cara jemput marapulai ala Pariaman dan memilih mengikuti pihak laki-laki nan tak memiliki tradisi ini. Seolah orang Pariaman tak mau rugi.

Kalau pihak lelakinya nan menikah, mereka memaksakan tata cara mereka, namun bila wanita dari Kota Pariaman nan menikah, mereka menolak melaksanakan tradisi ini sebab dianggap tak sah.

Mengikuti adat menjemput marapulai berarti mengeluarkan uang lebih. Hal ini dirasa amat berat bagi pihak perempuan, apalagi perempuan nan kondisinya pas-pasan. Kebanyakan orangtua nan keluarganya dari kalangan biasa menolak tatacara ini. Kalaupun tak menolak, mereka berharap agar pihak laki-laki memaklumi keadaan mereka. Untuk beberapa laki-laki Minang punadat nan satu ini dirasa memalukan.

Namun, bagi pihak orangtua laki-laki beserta mamak-mamaknya (paman), tradisi jemput marapulai tentu saja amat menguntungkan, sebab toh uang tersebut akan jatuh ke tangan keluarga mereka dan biasanya akan dibagi dengan orangtua dan mamak dari pihak laki-laki.

Bagaimana pun adanya sebuah adat, pro dan kontra selalu muncul. Tradisiawalnya dibuat bukan buat hal buruk. Yang menjadikan itu jelek sebab niat pada generasi berikutnya, atau bagi nan menjalaninya nan kemudian menggeser nilai adat tersebut. Adat jemput marapulai dalam pernikahan Minang ini ialah adat Minang Pariaman nan paling terkenal di seantero negeri.