Sistem Bagi Hasil Perkebunan Rakyat
Gunung Raya ialah sebuah kecamatan di Kabupaten Kerinci provinsi Jambi, nan pernah dilanda gempa berkekuatan 7,0 SR pada oktober 2009. Gempa nan sangat kuat itu mengakibatkan kehancuran nan cukup signifikan bagi kecamatan nan cukup luas itu. Ada sekitar 1.243 rumah dan bangunan lainnya hancur berkeping-keping atau rata menjadi tanah. Ribuan orang penduduk di sana terpaksa mengungsi sebab kehilangan loka tinggal mereka.
Tidak hanya kecamatan Gunung Raya nan hancur dampak gempa Kerinci, tiga kecamatan di kabupaten Kerinci pun menjadi target gempa nan dahsyat itu. Tiga kecamatan lain seperti Danau Kerinci, Batang Merangin, dan Keliling Danau juga hancur lebur terkena akibat gempa. Namun kerusakannya boleh dibilang ringan, tak seperti nan terjadi di kecamatan Gunung Raya.
Namun kini kecamatan Gunung Raya sudah pulih kembali. Seluruh warga bersama aparat pemerintah nan ada sudah membangun kembali infrastruktur kecamatan tersebut. Bahkan Oktober 2010, di kecamatan Gunung Raya diadakan Jambore ranting, nan dibuka langsung oleh Azwir Anhar selaku pembina pramuka di taraf kecamatan. Jambore ini dikuti oleh siswa SD, SMP, dan SMA dengan mengadakan kamping bersama sekaligus mengenang dan menafakuri setahun gempa Kerinci.
Sistem Bagi Hasil Perkebunan Rakyat
Satu hal nan menjadi karakteristik khas masyarakat kecamatan Gunung Raya ini ialah perjanjian bagi hasil perkebunan rakyat. Perjanjian pengusahaan tanah ini sudah dikenal di Indonesia dan sudah menjadi hal nan lumrah.
Misalnya perjanjian bagi hasil atas tanah nan diusahakan di Sumatera Barat disebut dengan "Memperduai", di pulau Jawa dikenal dengan "Moro atau Martelu", di Jawa Barat dikenal dengan sebutan "Nengah", di Sulawesi dikenal dengan sebutan Teseng. Adapun di kabupaten Kerinci, tepatnya di kecamatan Gunung Raya dikenal dengan sebutan Nduoi atau Nginoi.
Dalam perjanjian tersebut nan disepakati secara konvensional, yaitu hukum adat, cukup saling mengerti dan saling memahami tanpa adanya perjanjian surat-surat secara hukum perdata, maka perjanjian Nginoi pun dilaksanakan.
Perjanjian Nginoi berisikan tentang hukum-hukum nan disepakati secara lisan tentang penggarapan sebidang tanah nan disewakan pada penggarap. Orang nan menyewa tanah tersebut harus menggarap tanah dengan biaya dan tenaga nan dihasilkan sendiri. Ketika panen tiba, maka hasil garapan tersebut harus dibagi rata atau tergantung kesepakatan sebelumnya.
Misalnya ada nan membagi 2:1, dua bagian buat pemilik tanah dan satu bagian buat penggarap. Hal ini memang sangat merugikan bagi penggarap tanah sebab dia nan bekerja, dia nan mengeluarkan modal, tapi hasilnya harus dibagi dua.
Namun, inilah hukum adat nan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Meskipun Perda Undang-undang Tanah pasal dua tahun 1960 menyebutkan tentang hak-hak dan kewajiban penggarap dan pemilik tanah agar terasa adil. Tetap saja Perda tersebut diabaikan masyarakat. Mereka lebih patuh pada hukum adat nan mereka junjung tinggi meski dilihat secara kasat mata pun sangat merugikan penggarap.
Hal ini tak hanya terjadi di kecamatan Gunung Raya saja, juga terjadi di pulau Jawa nan terbilang sudah maju dan sudah mengerti hukum. Namun, tetap saja masyarakat desa masih memberlakukan hukum adat mengenai bagi hasil tahan nan digarap dengan sistem "Nengah". Lebih parah lagi jika si penggarap tanah atau sawah meminjam uang pada rentenir setempat dengan "ijon"-nya nan mewajibka membayar kembang utang dengan hasil panen.
Nah inilah karakteristik masyarakat Indonesia nan konservatif dan tak paham hukum.