Lukisan Affandi
Bagi penggemar dan kolektor seni lukis, kurang lengkap rasanya jika mereka belum memiliki koleksi lukisan Affandi . Hal ini sebab Affandi merupakan salah satu maestro seni lukis global nan dimiliki oleh Indonesia. Dengan memiliki karya Affandi, sama halnya dengan memiliki sebuah seni lukis nan tak ternilai harganya.
Sebagian besar lukisan Affandi dibuat dengan menggunakan gaya ekpresionis. Gaya ini merupakan karakteristik khas dari Affandi nan sudah dikenal di taraf dunia. Bahkan banyak nan menganggap bahwa Affandi ialah satu-satunya pelukis Indonesia nan paling terkenal di taraf internasional.
Apalagi, perjalanan karier Affandi di global seni lukis sendiri cukup panjang. Kurang lebih, 50 tahun dari hidupnya didedikasikan buat menghasilkan berbagai karya nan fenomenal dan memiliki nilai seni tinggi. Bukan hanya itu, dedikasinya pun bukan hanya diwujudkan dengan menciptakan karya lukis semata. Namun jiwa sosialnya nan tinggi, menjadikannya tak segan buat berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan para pelukis nan usianya jauh lebih muda darinya.
Kisah Affandi
Affandi lahir pada tahun 1907 di Cirebon. Ayahnya ialah R. Koesoema nan berprofesi sebagai mantri ukur pada sebuah pabrik gula nan ada di kawasan Ciledug, Cirebon. Sebagai seorang nan lahir di masa penjajahan, Affandi kecil merupakan satu dari sedikit anak nan cukup beruntung sebab mampu menikmati bangku sekolah hingga tamat.
Pendidikan Affandi dimulai dari mengikuti HIS atau setingkat SD, MULO (setara SMP) dan terakhir menyelesaikan jenjang AMS nan dikenal dengan sebutan SMA/ SMK pada saat ini. Pada masa itu, apa nan dinikmati oleh Affandi ini tak banyak dirasakan oleh sebagian besar anak-anak seusianya.
Dengan bekal pendidikannya tersebut, Affandi sempat menjalani profesi terhormat di masa itu sebagai seorang guru. Selain itu, Affandi juga sempat bekerja menjadi seorang penyobek karcis serta pembuat papan reklame bioskop di Bandung. Namun demikian, kedua profesi tersebut tak sejalan dengan nuraninya nan memang sudah dialiri oleh darah seni lukis nan cukup kuat.
Akhirnya pada tahun 1933 dalam usia 26 tahun, Affandi memutuskan menikah dengan seorang wanita asal Bogor, Maryati. Dari perkawinannya itulah, lahir seorang putri nan memiliki talenta melukis seperti dirinya, yaitu Kartika Affandi.
Pada tahun 30an itu juga, Affandi membentuk sebuah serikat dengan beberapa mitra pelukis Bandung. Mereka menamakan dirinya kelompok Lima Bandung, nan terdiri dari Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, Wahdi serta Affandi sendiri sebagai pimpinannya. Kelompok ini pada nantinya memiliki peran nan cukup besar dalam perkembangan seni lukis di tanah air.
Sebab, dalam kegiatannya kelompok ini bukan hanya memikirkan kelompoknya saja. Namun, mereka juga membuka diri buat belajar serta bekerjasama dengan sesama pelukis lainnya. Termasuk pelukis nan tak menjadi anggota dari Kelompok Lima Bandung tersebut.
Affandi Dan Politik
Meski mengaku sebagai pelukis bodoh, namun bukan berarti Affandi tak terlibat dalam kegiatan politik. Dimulai dari kegiatan pameran tunggalnya di tahun 1943 nan dilaksanakn di Gedung Poetera Djakarta. Dimana pada waktu itu, penjajahan Jepang sedang berkuasa di tanah air.
Affandi menjadi bagian dalam perjuangan merebut kemerdekaan, dengan bergabung bersama Empat Serangkai nan menjadi pimpinan Seksi Kebudayaan Poetera atau Poesat Tenaga Rakjat. Di sini Affandi dipercaya menjadi tenaga pelaksana dengan S. Soedjojono nan bertindak sebagai penanggung jawabnya, buat berhubungan langsung dengan Bung Karno sebagai pemimpin perjuangan.
Pada saat kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, di berbagai loka banyak dijumpai tulisan nan berbunyi “Merdeka atau Mati”. Kalimat ini merupakan kutipan dari pidato Bung Karno, pada saat hari lahir Pancasila 1 Juni 1945. Dalam menyambut moment tersebut, Affandi ditugaskan buat membuat poster nan memiliki makna tertentu.
Pada tahun 50an, Affandi bersama Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dipilih buat mengikuti pemilihan Konstituante. Mereka maju menjadi calon dari PKI buat menjadi wakil orang-orang nan tak memiliki partai. Affandi juga terpilih menjadi sala seorang pemimpin pusat Lekra, sebuah organisasi kebudayaan nan berada di bawah koordinisasi PKI. Dalam organisasi tersebut, Affandi duduk di bagian seni rupa bersama dengan Basuki Resobowo, Henk Ngantung dan lainnya.
Meski demikian, Affandi tetaplah seorang artis nan memiliki harga diri dan prinsip nan kuat. Ketika isu mengenai anti Amerika begitu gencar disuarakan, pada tahun 60an Affandi tetap bersedia buat memenuhi undangan mengadakan pameran di gedung USIS, Jakarta. Padahal, gedung tersebu merupakan gedung nan dimiliki oleh Amerika, nan notabene merupakan pihak nan berseberangan dengan paham komunis nan dianut oleh PKI.
Dalam memilih tokoh idola pun, Affandi memiliki keunikan. Jika sebagian besar orang memilih tokoh idola pewayangan mereka biasanya berdasar penampilan atau kelebihan nan dimiliki sang okoh tersebut. Misalnya mengidolakan Arjuna sebab ketampanannya, Werkudara sebab kegagahannya atau juga Kresna sebab kebijakannya.
Namun, Affandi justru lebih memilih buat menjadikan sosok Sokrasana sebagai idolanya. Padahal, tokoh Sokrasana tersebut merupakan tokoh nan memiliki penampilan dan paras nan buruk. Hanya saja, dibalik penampilannya nan kurang menarik tersebut, Sokrasana memiliki kesaktian nan cukup disegani. Dan Affandi menganggap bahwa Sokrasana merupakan penggambaran atas dirinya nan diakuinya tak memiliki kelebihan secara fisik.
Lukisan Affandi
Sepanjang hidupnya, sekitar 2000 lukisan Affandi dapat ditemukan tersebar di berbagai loka di seluruh penjuru dunia. Hal ini sebab Affandi sudah pernah melakukan pameran di beberapa benua seperti Asia, Eropa, Amerika atau juga Australia. Pengakuan atas kehebatannya pun datang dari University Of Singapore nan menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa pada tahun 1974.
Padahal, Affandi mengaku tak pernah mengenal mengenai berbagai macam teori nan berkembang dalam global seni lukis. Menurutnya, melukis merupakan suatu cara buat menggambarkan isi hati dan perasaan seseorang melalui media tulisan. Sehingga seni lukis bukanlah sebuah media nan dibatasi oleh teori akademis.
Itulah mengapa, Affandi tak pernah menyatakan diri sebagai pelukis dengan genre tertentu. Meski banyak orang nan menganggap bahwa lukisan Affandi lebih diwarnai corak bertema ekpresionis atau abstrak, yaitu sebuah lukisan nan buat memahaminya dibutuhkan pengetahuan spesifik sebab memang tak menggambarkann sebuah obyek secara nyata. Inilah salah satu bukti nan menunjukkan kesederhaan Affandi dalam memandang seni lukis.
Affandi pun tak segan mengajak masyarakat buat merasa dekat dengan seni lukis. Hal ini bukan hanya dilakukannya pada saat menggelar berbagai macam pameran. Dibangunnya museum Affandi pun merupakan cara nan dianggapnya dapat mendekatkan seni lukis pada masyarakat.
Kota Yogyakarta dipilihnya sebagai loka pendirian museum nan sering digunakannya buat melukis dan menyimpan berbagai macam hasil lukisan Affandi. Tepat di pinggir sungai Gajah Wong, di tepi jalan primer kota Yogyakarta museum tersebut berdiri gagah dengan penuh kesederhanaan. Kota Yogyakarta dipilih sebab kota ini merupakan kota pelajar, dimana banyak mahasiswa dari berbagai macam kota datang ke loka itu buat menuntut ilmu.
Dan di museum itu pulalah, artis nan pernah menerima Bintang Jasa Primer dari pemerintah pada tahun 1978, Affandi memilih buat menghabiskan hari tuanya. Dan disini pula, menjadi lokasi peristirahatan abadinya, setelah meninggal pada bulan Mei 1990.